Chereads / lover secret / Chapter 16 - Enam belas

Chapter 16 - Enam belas

Sesuai perjanjian, Kanaya datang ke tempat yang ditentukan bersama Pak Iwan. Mereka hanya datang berdua, karena penculik itu mengancam akan membunuh Kayla jika ia melihat ada petugas.

Gudang rongsokan untuk tempat penukaran sandera tersebut sudah lama tidak digunakan. Tempat itu juga sepi dan jauh dari pemukiman. Kanaya menatap sekeliling dengan waspada. Hari yang berganti malam membuat suasana tempat tersebut berubah remang-remang. Hal ini kurang menguntungkan, karena pembunuh bisa tiba-tiba muncul dan menyergap ia dan Pak Iwan.

Perlahan, wanita itu mendorong kursi roda Pak Iwan. Kursi roda tersebut digunakan selain karena kondisi beliau yang belum sepenuhnya pulih, juga memudahkan untuk melarikan diri.

'Di mana dia? Kenapa tidak ada siapa pun di sini?' keluh Kanaya dalam hati.

'Apa jangan-jangan dia berencana mempermainkan kami?'

***

Di tempat lain, yang tidak seberapa jauh, Sabrina dan yang lain terus menatap layar. Tadi, sebelum pergi, mereka telah memasang kamera berukuran sangat kecil pada kursi roda dan bandul kalung Kanaya. Dengan begitu, mereka bisa mengawasi gudang tersebut.

Beberapa petugas menggeleng, karena tidak melihat kemunculan  seorangpun di tempat itu.

"Tetap waspada! Kita tidak boleh lengah!" perintah Sabrina pada mereka semua.

Mereka mengangguk patuh. Hingga satu jam kemudian, tetap tidak ada tanda bahwa pembunuh itu akan datang.

***

Sosok yang mereka incar berdiri mengawasi dengan teropong. Seulas senyum muncul di wajah. Ia harus bersabar agar semua berjalan lancar.

Matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan.

'Sudah satu jam. Sekarang waktunya untuk bermain,' ucapnya dalam hati sembari bersiul senang.

***

Asap tebal tiba-tiba menyelimuti ruangan tersebut. Kanaya dan Pak Iwan terbatuk-batuk seraya mencoba menghalau asap yang memedihkan mata.

Mendadak, muncul sosok bermasker yang menyerang Kanaya. Detektif wanita itu berusaha untuk membela diri, tetapi gerakannya semakin lemah, karena asap tersebut.

***

Sabrina dan yang lain segera bergegas menuju ke gudang tersebut saat melihat serangan asap di kamera pengawas yang mereka pasang. Asap itu menghalangi pandangan mereka, tetapi itu justru membuat mereka menyadari sesuatu pasti terjadi di sana.

Setiba di tempat itu, asap sudah berkurang dan mereka hanya menemukan Kanaya yang tidak sadarkan diri.

Mereka segera membawa Kanaya ke rumah sakit.

***

Pak Iwan duduk di kursi roda dengan tubuh gemetar.

"A-pa yang kauinginkan? Tolong lepaskan aku!" pintanya.

Sosok bertopeng dan berjubah hitam itu terbahak.

"Katakan padaku! Kenapa aku harus melepasmu? Setelah berbuat begitu banyak kejahatan dan menyebabkan kematian banyak orang, kenapa aku harus melepasmu?"

"A-ku ... a-ku bisa membayarmu. Sebutkan saja berapa banyak yang kauinginkan? Aku pasti akan memberikan berapapun yang kau inginkan."

Sosok itu berdiri menunduk di depan kursi roda.

"Sayangnya, semua itu tidak bisa membeli nyawamu," desisnya.

Lalu sembari bersiul menyenandungkan  sebuah lagu, ia kembali berdiri tegak dan berjalan ke belakang kursi.

"Hari ini aku sangat bahagia. Kau tahu kenapa? Karena akhirnya kau akan menyusul teman-temanmu ke neraka!"

***

Sabrina berdiri tidak sabar.

"Bagaimana kamera yang ada di kursi roda? Apa ada petunjuk?" tanyanya.

Anak buahnya menggeleng.

"Kamera itu sudah rusak. Kurasa pembunuh sudah tahu tentang keberadaan kamera tersebut," jawabnya.

"Bagaimana bisa? Tidak ada yang tahu kecuali kita."

Sabrina lalu melihat sekeliling.

"Sial! Selama ini, dia mengawasi gerak-gerik kita. Pasti ada kamera tersembunyi di kantor kita ini," tukasnya marah.

"Bagaimanapun kita harus menemukan Pak Iwan. Jangan sampai terlambat dan jatuh korban lagi! Geledah dan cari kamera pengawas di jalan menuju  gudang!" perintah Sabrina pada anak buahnya yang masih menyisir di gudang tersebut.

'Semoga kami belum terlambat!' pinta Sabrina dalam hati sembari bergegas kembali ke gudang tua tersebut untuk membantu.

***

"Mereka tidak akan bisa menemukanmu dalam keadaan hidup," tukas sang pembunuh sembari menatap layar yang memperlihatkan para petugas sedang menyusuri tempat di sekitar gudang.

"Tetapi, aku cukup bermurah hati karena mereka akan menemukan jasadmu," timpalnya lagi.

Air mata mengalir deras di wajah keriput sang lelaki tua.

"Ja-ngan! Ku-mo-hon! Lepaskan aku! Ampuni nyawaku! Aku masih ingin hidup!"

"Kau tidak pernah peduli pada nyawa orang lain, selain dirimu sendiri. Untuk itu, kau memang pantas untuk mati!" bisik sang pria bertopeng di telinga Pak Iwan. Kemudian didorongnya kursi roda tersebut hingga ke pinggir bangunan kuno bertingkat tinggi itu.

"Selamat tinggal!" ujar pria bertopeng lagi sembari mendorongnya hingga terjatuh ke lantai dasar.

Pak Iwan tergeletak bermandikan darah. Sesaat kemudian, ia mengejang dan tewas dengan mata terbuka lebar menyiratkan ketakutan.

***

Keesokan pagi, Kanaya terbangun dari tidak sadarnya.

"Kayla! Kayla! Di mana Kayla?" tanya wanita itu kepada petugas yang berjaga.

"Detektif Sabrina sedang mencari dia dan Pak Iwan. Anda harus tetap tenang!" ucap petugas yang masih muda tersebut.

Kanaya menggeleng. Air mata mulai mengalir di wajah pucat tersebut.

"Kayla! Aku harus mencari Kayla!" ujarnya sembari bergegas.

Petugas berusaha menghalangi dan menahan kepergian Kanaya, tetapi wanita itu tetap memaksa pergi.

"Lepaskan aku! Aku harus menemukan putriku!" teriak Kanaya kepada para petugas medis yang ikut membantu menahan kepergiannya. Wanita itu terus meronta saat orang-orang memegang tangannya dengan kuat.

Keributan tersebut terhenti oleh suara dering ponsel. Seorang perawat segera memberikan telepon genggam tersebut kepada Kanaya.

"Kelihatannya kau berani bermain-main denganku. Aku harus memberimu pelajaran, agar kau tidak lagi berusaha untuk menjebak dan menangkapku," seru suara di seberang.

"Jangan! Ku-mo-hon lepaskan putriku! Aku minta maaf, benar-benar minta maaf padamu, tapi kumohon jangan ... ja-ngan lu-kai pu-tri-ku!" pinta Kanaya sembari tersedu.

Hanya kesunyian di seberang yang menjawab Kanaya. Wanita itu lalu kembali memohon untuk melepaskan anaknya sembari terus menangis.

***

Sabrina menatap jenazah Pak Iwan yang sudah dingin tersebut. Semua berantakan dan pria itu meninggal dengan cara begitu mengerikan. Kepala beliau retak dan darah terus keluar dari telinga serta hidung. Mata yang terbeliak ketakutan itu bahkan tidak bisa terpejam rapat.

Jenazah beliau baru ditemukan pagi itu oleh seorang gelandangan yang ingin menumpang tidur di bangunan gedung kuno tanpa penghuni tersebut. Bangunan itu sudah reot. Pembunuh itu pasti bukan orang biasa mengingat dia bisa membawa Pak Iwan dengan kursi roda ke tempat ini.

"Berapa banyak tempat tidak berpenghuni di daerah ini, selain gudang dan gedung ini?" tanya Sabrina kepada seorang pria paruh baya yang tinggal tidak jauh.

"Cukup banyak, dulu tempat ini lumayan ramai. Banyak pabrik dan perkantoran, tetapi semenjak pusat kota dipindahkan, daerah ini menjadi sepi. Orang-orang memilih pindah, sedang pemerintah setempat tidak lagi peduli," tutur lelaki bertubuh bungkuk tersebut.

Sabrina lalu menyuruh anak buahnya untuk menelusuri tempat-tempat kosong lain yang berdekatan dengan gudang dan gedung tersebut. Ia menduga si pembunuh mungkin bersembunyi di salah satu kediaman yang tidak berpenghuni.

***

Sabrina segera bergegas ke rumah sakit untuk menemui Kanaya. Wanita itu panik karena pembunuh menelepon dan mengancam.

"Sabrina, bagaimana? Apa ada jejak keberadaan Kayla?" tanya Pak Boby yang juga menjenguk Kanaya di rumah sakit.

Gadis itu menggeleng.

"Hanya Pak Iwan yang ditemukan meninggal. Tim masih berusaha menemukan Kayla," ucapnya pelan.

Pak Boby menghela napas berat sembari menggeleng putus asa.

Kanaya masih terisak saat menceritakan ancaman yang diterima.

"Ba-gai-mana jika dia be-nar-benar melakukannya? Bagaimana jika dia benar-benar ...." Suara Kanaya makin lirih dan nyaris tidak terdengar.

"... membunuh Kayla?"

"Jangan berkata seperti itu! Yakinlah Kayla pasti baik-baik saja!" tukas Sabrina sembari memeluk erat Kanaya.

BRAK!

Pintu ruang rawat tersebut dibuka dengan marah. Adrian melangkah masuk dengan cepat.

"Lihat! Ini akibat dari perbuatanmu! Kau sudah mempertaruhkan nyawa Kanaya dan membuat dia dalam bahaya! Sudah cukup! Aku tidak bisa lagi memaafkanmu, Wanita Tidak Punya Hati!" bentaknya pada Kanaya.

Istrinya itu hanya diam dan terus menangis. Sabrina menatap marah pada Adrian.

'Lelaki ini hanya tahu cara menyalahkan Kanaya,' tukasnya kesal.

***

Mata Luca terbuka lebar. Tidak peduli dengan kepalanya yang masih pusing, ia bergegas bangun. Segera pemuda itu melihat kalender yang tergantung di dinding. Sudah beberapa hari berlalu semenjak ia menelepon Sabrina. Semoga dirinya belum terlambat.

"Kau mau ke mana?" tegur Reina saat melihat Luca yang sudah rapi saat keluar dari kamar.

"Aku akan mencari anak itu," sahut Luca singkat.

"Bukankah sudah kubilang, kau tidak boleh pergi? Kita akan terlibat masalah jika berurusan dengan kasus ini."

"Kau selalu mengatakan agar aku peduli pada orang lain, tapi sekarang kenapa kau malah melarang aku pergi?" tukas Luca tidak sabar.

"Kau juga tahu alasannya. Organisasi bukanlah sesuatu yang bisa kita hadapi."

"Aku tidak peduli! Aku pergi sekarang!" sergah Luca sembari bergegas.

Reina segera menyusul sembari mengeluarkan suntikan dari saku. Saat ia hendak menusukkan pada leher pemuda itu, tiba-tiba Luca berbalik dan mencekal tangannya erat.

"Aku tidak suka kau terus berbuat seperti ini, Rei. Kau memang teman masa kecil dan sudah kuanggap adik, tetapi bukan berarti kau bisa berbuat seperti ini hanya untuk membuat aku tidak pergi," desisnya.

Pemuda itu kemudian meraih suntikan tersebut, membanting dan menginjaknya hingga pecah, lalu bergegas pergi.

Reina terpaku. Kini ia hanya bisa berharap semua baik-baik saja.

***

Luca melangkah pelan ke arah taman. Ia mencoba untuk menenangkan diri setelah kemarahan yang ditunjukkan kepada Reina. Terkadang, ia merasa, meski lebih muda Reina seperti seorang kakak atau seorang ibu yang begitu overprotektif padanya.

'Kenyataannya memang dia yang mengajarkan banyak hal padaku. Aku masih seperti anak kecil yang belajar mengenal dunia,' keluh Luca dalam hati. Seandainya dulu musibah tidak terjadi, mungkin mereka berdua bisa tumbuh dengan normal. Tidak akan ada Reina yang masih begitu muda, tetapi harus berperan dewasa dan melindungi dia.

Area taman sepi dan gelap, karena hari telah larut. Lampu penerangan tidak mampu menerangi seluruh taman. Membuat tempat itu hanya memedarkan cahaya remang-remang. Luca mencoba menduga-duga di mana keberadaan Kayla saat ia melihat orang membuang sesuatu yang besar dan menimbulkan suara terjebur keras di kolam taman tersebut.

"Hei, siapa kau?" tegur Luca. Orang itu terkejut dan segera melarikan diri.

Luca hendak mengejar, tetapi ia sempat menoleh. Langkahnya terhenti saat menyadari apa yang dibuang oleh orang tersebut.

***

Kanaya bertekad untuk pergi mencari Kayla. Ditemani Sabrina, kedua detektif itu bergegas hendak pergi dari rumah sakit.

Akan tetapi, di tengah perjalanan, orang-orang berkerumun. Para wartawan menyodorkan pengeras suara dan perekam pada mereka.

"Bagaimana bisa kalian membiarkan seseorang yang berada dalam perlindungan kalian tewas?" tanya salah seorang juru berita.

"Kita tidak bisa lagi mempercayai mereka. Di saat terdesak, mereka justru memberikan keluarga kita pada seorang pembunuh. Detektif seperti apa kalian?" teriak seorang pria.

"A-ku ... a-ku minta maaf," tukas Kanaya pelan.

"Permintaan maafmu tidak cukup! Kau sudah membuat ayahku tewas terbunuh hanya karena ingin menyelamatkan putrimu! Dasar egois!" teriak seorang pemuda.

Orang-orang itu terus saja marah, bahkan mendorong Kanaya hingga nyarus terjatuh.

***

"Ck, bagaimana kau mengatur anak buahmu? Lihat masalah yang terjadi!" ujar Pak Rahmat, seorang petinggi kepolisian kepada Pak Boby.

"Maafkan saya, Pak, tetapi ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Anak kecil itu dalam bahaya dan pembunuh telah menjebak kami," jawab Pak Boby.

Pria di depannya itu terdiam sesaat.

"Aku bisa mengerti, tetapi orang-orang dan keluarga Pak Iwan terus menyalahkan kita."

"Lalu haruskah kita diam berpangku-tangan dan membiarkan seorang gadis kecil tidak berdosa mati? Aku akui kami memang teledor, sehingga Pak Iwan meninggal, tetapi keputusan anak buahku menyelamatkan Kayla tidak bisa dipersalahkan!" tegas Pak Boby.

Beliau lalu bergegas keluar dari ruangan tersebut.

'Orang-orang terkadang menjadi kejam demi kepentingan mereka sendiri,' keluhnya dalam hati.

***

Para petugas keamanan rumah sakit segera melerai dan mengawal Kanaya dan Sabrina menuju mobil hingga kedua detektif tersebut pergi dari tempat itu.

Ponsel Sabrina berdering. Gadis itu segera mengangkat. Ia baru menyadari ada puluhan panggilan masuk di ponselnya.

Sabrina hanya diam saat mendengar kabar dari seberang. Wajahnya nampak berubah pias.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu juga di kantor? Apa rakyat datang dan merusak?" tegur Kanaya sembari menatap rekannya itu.

Sabrina menggeleng. Tubuhnya gemetar. Air mata juga mulai mengalir di wajahnya. Melihat itu, Kanaya semakin panik.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu yang buruk? Cepat beritahu aku!" desaknya.

Sabrina menghentikan mobil di pinggir jalan dan kembali menggeleng. Mulutnya membuka dan menutup, tetapi tidak ada yang keluar. Hanya air mata mengalir semakin deras.

Firasat Kanaya berubah tidak enak. Ia yakin sesuatu yang amat buruk pasti terjadi. Sesuatu yang membuat Sabrina bahkan tidak bisa berkata-kata.

"Kay-la ... Apa terjadi sesuatu pada Kayla?"

Sabrina masih diam dan terus menangis seraya menutup wajah.

"Sabrina!" ujar Kanaya sembari mengguncang tubuh rekannya tersebut.

"Katakan padaku! Kayla kenapa? Apa terjadi hal yang buruk padanya?"

"Kay-la ... Kay-la su-dah ditemukan, tetapi ... di-a su-dah meninggal," jawan Sabrina pelan.

"Tidak! Tidak! Kau pasti salah! Itu pasti bukan Kayla! Kau salah! Kalian semua salah! Kaylaku pasti masih hidup dan dia baik-baik saja! Jawab pertanyaanku, Sabrina! Kalian salah bukan?" ujarnya dengan suara makin melemah. Hingga tangisan itu kembali pecah.

***

Hari masih gelap, saat jasad Kayla diangkat dari kolam di taman tersebut. Kanaya yang baru saja tiba segera berlari dan memeluk buah hatinya yang telah tertidur abadi.

Sabrina hanya diam menatap sekeliling sembari menghapus air mata. Ia terkesiap saat melihat Luca duduk di salah satu bangku taman dan melihat mereka semua.

"Dia!" ujar Sabrina sembari mencegat seorang petugas dan menunjuk ke arah Luca.

"Sedang apa dia di sini?"

"Dia adalah orang yang menemukan Kayla," jawab petugas tersebut, kemudian segera berlalu dengan langkah terburu.