Senja. Keindahan senja memang menakjubkan. Kanaya hanya tertegun menatap lukisan langit tersebut dengan tatapan kosong. Dulu kadang ia menikmati senja bersama Kayla saat senggang. Gadis kecil itu selalu bertanya kenapa sang ibu begitu menyukai senja.
"Karena putri ibu dilahirkan saat senja," jawab Kanaya kala itu. Kayla terkekeh dan berkata untung dirinya tidak merah seperti senja. Senyum di wajah Kanaya berganti air mata sewaktu teringat gadis kecil yang mengatakan itu kini sudah tidak ada. Putri kecilnya. Kaylanya sudah pergi untuk selamanya.
Sabrina yang baru saja masuk di pelataran rumah setelah memarkir mobil menghela napas panjang saat melihat Kanaya sedang duduk melamun sembari berurai air mata. Wajah tirusnya nampak begitu pucat.
Gadis itu kemudian duduk di samping sang sahabat. Ia hanya diam dan ikut menatap senja.
"Aku tadi ke rumah kalian, tapi kosong. Ternyata benar, kau ada di sini," tukas Sabrina setelah beberapa saat. Rumah itu adalah rumah yang ditinggali Kanaya sebelum menikah dengan Adrian.
"Terlalu sulit untukku berada di sana. Rumah itu dipenuhi bayangan Kayla. Lagipula aku dan Adrian akan segera berpisah," jawab Kanaya lirih.
"Lalu kau juga mengundurkan diri?"
Kanaya diam dan mengangguk.
"Aku harus bertanggung jawab," sahutnya singkat.
"Aku mengerti hal itu, tetapi soal Adrian, tidakkah kau merasa Adrian sengaja memanfaatkan hal ini untuk berpisah denganmu?"
"Itu tidak mungkin! Adrian begitu menyayangi Kayla. Dia pasti juga terpukul. Mungkin ini langkah terbaik, karena aku yang salah dengan semua yang terjadi pada Kayla," tukas Kanaya sambil terisak.
Sabrina menggeleng.
"Berhentilah berkata seperti itu! Jangan menyalahkan dirimu sendiri lagi! Kurasa semua ini adalah rencana pembunuh itu. Semenjak awal, dia tidak berniat melepas Kayla. Pembunuh itu ingin menghancurkan kita dan dia berhasil," tukasnya.
"Tangkap dia untukku, Sabrina!" seru Kanaya pelan.
***
Cuaca di malam hari nampak cerah, tetapi itu tidak mengurangi mendung di wajah Sabrina.
Luca yang sedang menggandeng tangan gadis itu menghela napas panjang.
"Kita ke sini agar kau tidak sedih, tapi wajahmu justru makin muram," ucap pemuda itu.
Taman hiburan malam tersebut nampak meriah. Aneka permainan dan makanan dijajakan sepanjang jalan.
"Tempat ini mengingatkan aku pada Kayla. Dulu dia senang sekali setiap datang ke sini," sahut Sabrina pelan.
"Ternyata salah mengajakmu ke sini, aku justru membuatmu sedih."
Sabrina tersenyum kecil. Dia tahu Luca ingin menghiburnya dengan mengajak dia ke sini.
"Tidak apa, aku senang, kok. Hanya saja aku jadi teringat Kayla, juga Kanaya dan Adrian. Tidak disangka kisah mereka akan berakhir dengan kesedihan dan perpisahan," ujarnya.
Luca hanya diam dan mengangguk. Ia tidak terlalu mengerti tentang hubungan. Reina benar. Banyak hal baru yang harus dia pelajari.
"Ayo kita naik permainan ini!" ajak Luca sembari menggamit tangan Sabrina. Keduanya berjalan menuju ke komedi putar.
***
Puas bermain, sepasang sejoli tersebut kemudian berjalan menuju jembatan. Banyak orang menyalakan kembang api serta menggantungkan kertas kepada lampion yang kemudian diterbangkan.
"Apa yang mereka lakukan?" tanya Luca.
"Harapan. Mereka menuliskan itu pada keetas dan menerbangkannya ke langit. Apa kau ingin mencoba?"
Pemuda itu mengangguk. Sabrina tersenyum kecil melihat Luca nampak begitu antusias. Saat berada di tempat ini, Luca terlihat seperti anak kecil yang bersemangat dengan mainan baru. Sabrina merasa penasaran apa orang tua pemuda itu tidak pernah memperhatikan Luca.
Luca sudah selesai menulis dan ia serta Sabrina menerbangkan lampion tersebut ke angkasa. Mereka berdua kemudian membeli dan menyalakan kembang api.
"Kau tahu apa yang kuminta?" tukas Luca sembari menoleh pada Sabrina. Gadis itu menggeleng.
Luca meletakkan batang kembang api, kemudian meraih dan menggenggam erat tangan Sabrina.
"Aku ingin apa pun yang terjadi nanti, apa pun yang dikatakan orang tentang aku, kau tetap percaya padaku," ujarnya sembari menatap lekat manik mata gadis itu.
Sabrina termenung bingung. Dia tidak mengerti apa maksud Luca. Namun, pemuda itu justru memeluknya tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Tanpa mereka berdua ketahui, seseorang mengambil gambar keduanya dari balik pepohonan.
***
Pak Hardiman tertawa terbahak. Apa yang diperlihatkan foto-foto tersebut sungguh di luar dugaan. Awalnya, dia tidak mau percaya saat mendengar Luca menjalin hubungan dengan seorang gadis, tetapi ternyata itu hal yang benar. Siapa yang menduga sosok yang dia ciptakan menjadi pembunuh ternyata bisa jatuh cinta?
"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya pria di sebelahnya.
"Kita akan memanfaatkan ini agar Luca mau kembali pada kita," ujar Pak Hardiman sembari tetap tertawa.
***
Hari tengah beranjak siang. Reina sibuk menata kue-kue di kotak yang akan diantar Luca. Semalam, ia tidak bisa tidur. Rasa cemburu terus saja mengganggu saat mengetahui Luca pergi dengan Sabrina. Perasaannya kepada pria muda itu begitu dalam dan tidak bisa dia singkirkan.
Tayangan berita di televisi yang sedang dinyalakan memperlihatkan seseorang bernama Pak Wira sedang membangun bisnis baru, tetapi bukan itu yang menarik perhatian Reina sehingga menghentikan kegiatan dan berdiri terpaku di depan layar. Sosok lelaki paruh baya yang bersama Pak Wiralah, yang menarik perhatiannya. Sosok yang dikenalnya. Ayah yang selama ini dia kira telah tiada.
***
Luca bergegas pergi mengantar pesanan. Hanya saja, ia masih bingung dengan Reina yang terlihat melamun. Bahkan tidak menyahut saat dia pamit pergi.
Pemuda itu tidak terlalu peduli dan melanjutkan pekerjaan. Pesanan-pesanan tersebut harus segera diantar.
Sebuah mobil mewah bercat hitam metalik berhenti tepat di depan Luca. Pak Hardiman bergegas keluar dan menyapa pemuda itu.
"Luca, lama tidak berjumpa. Bagaimana kabarmu?"
Luca hanya diam menatap mereka. Ia sama sekali tidak terkejut. Sebenarnya, sudah menduga hal ini akan terjadi, saat merasa ia tengah diikuti.
"Kelihatannya kau tidak terkejut melihat kami," tukas Pak Hardiman lagi sembari tersenyum.
Seulas senyum ikut muncul di bibir Luca.
"Orang-orangmu terlalu bodoh dalam mengawasi sesorang!" desisnya.
Pak Hardiman terbahak mendengar itu. Semenjak dulu, Luca adalah ciptaan yang sempurna baginya. Pintar dan cerdas serta naluri membunuh yang luar biasa adalah kelebihan pemuda itu. Luca selalu memiliki cara untuk mempermainkan dan melemahkan lawan.
"Kau ternyata masih tetap sama. Aku merasa sangat senang," tukas lelaki paruh baya itu lagi.
"Aku tidak mau lagi membunuh orang untukmu!" tegas Luca sembari menatap tajam.
Pak Hardiman menggeleng.
"Aku tidak akan memintamu melakukan itu. Namun, salah seorang temanmu membutuhkan bantuan."
Beliau kemudian mengeluarkan selembar foto.
"Dia harus membunuh orang ini. Namanya Pak Wira. Aku ingin kau membantu dia."
Luca menggeleng.
"Kurasa dia bisa melakukan itu sendiri. Selama ini semua berjalan lancar. Polisi juga tidak bisa menangkap dia."
"Masalahnya bukan itu, Luca. Kurasa dia ingin bertemu denganmu. Sudah waktunya kalian berjumpa kembali untuk melepas rindu. Dan aku tidak mau kau menolak, karena aku tahu soal rumahmu dengan Reina. Aku juga tahu soal detektif kekasihmu itu. Kecuali kau ingin salah satu dari mereka terluka, kau harus menurut padaku," ujar lelaki itu sembari tersenyum licik dan menepuk bahu Luca pelan.
***
Gedung pencakar langit tersebut nampak begitu tinggi menjulang. Saat melihat Pak Wira dan lelaki paruh baya yang dikenalnya keluar dari tempat tersebut, Reina segera berlari menghampiri.
"Ayah!" panggilnya keras.
"Ayah, ternyata kau masih hidup. Ini aku, Reina, putrimu."
Ia segera memeluk sang ayah, tetapi pria itu segera melepaskan diri dan mendorong menjauh.
"Siapa kau? Aku tidak mengenalmu. Sebaiknya kau pergi dari sini, Gadis Gila!" gertak lelaki paruh baya tersebut.
Reina hendak kembali mendekat, tetapi petugas keamanan segera menghalangi. Ia hanya bisa meratap sembari berulang kali memanggil ayah kepada sosok yang telah pergi dengan mobil mewah tersebut.
***
"Siapa dia, Nurdin? Apa benar dia putrimu?" tanya Pak Wira yang duduk di samping lelaki paruh baya itu.
Ayah Reina menggeleng.
"Tidak, aku tidak mengenal dia. Putriku sudah meninggal saat ia masih kecil," jawabnya.
Pak Wira mengangguk sembari menepuk pelan bahu lelaki itu.
"Baiklah, aku percaya padamu! Tetapi awas saja kalau kau mencoba menipuku!"
Pak Nurdin hanya mengangguk dalam diam.
'Maafkan Ayah, Nak!' tukasnya dalam hati. 'Tetapi Ayah sudah melepaskan kalian semua dari dulu. Ayah lebih memilih kehidupan ini daripada hancur bersama kalian.'
***
Hari masih pagi. Sabrina baru saja tiba di kantor saat atasan memanggil dia ke ruangan.
Setelah mengetuk pintu dan diijinkan masuk, gadis itu bergegas memasuki ruangan. Ada seorang pemuda yang tidak ia kenal duduk bersama atasannya tersebut.
"Sabrina, perkenalkan ini Darren, rekan barumu. Ia yang akan menggantikan Kanaya untuk menangani kasus pembunuhan yang kau tangani," ujar Pak Boby sembari menunjuk ke arah lelaki muda tersebut.
Pria muda itu tersenyum ramah dan menjabat tangan Sabrina. Gadis berblaser hitam tersebut balas tersenyum meski sedikit sedih, karena posisi Kanaya telah digantikan.
Tidak berapa lama, Darren dan Sabrina keluar dari ruangan.
"Aku minta maaf," tukas Darren. "Aku tahu dari Pak Boby kalau kalian akrab, tetapi aku tidak bermaksud menggantikan Kanaya. Aku hanya ingin membantu. Saat mendengar apa yang terjadi, aku menawarkan diri untuk pindah ke sini."
Sabrina tersenyum kecil.
"Tidak apa. Aku tahu kau tulus ingin membantu. Terima kasih banyak," ucapnya seraya menepuk pelan lengan pemuda itu.
Suara deheman terdengar nyaring. Sabrina menoleh dan terkejut melihat Luca.
"Luca, sedang apa kau di sini pagi-pagi? Jangan salah-paham! Dia rekan kerjaku yang baru untuk menggantikan Kanaya," jelas gadis itu sedikit gugup.
Kekasihnya itu justru tertawa dan mengacak pelan rambut Sabrina, membuat gadis itu merasa tidak enak.
"Jangan cemas! Aku tidak salah-paham, kok! Aku tahu kau hanya mencintaiku! Tadi Reina menyuruhku kemari untuk mengantar kue. Baiklah, aku tidak akan mengganggu pekerjaan kalian lagi. Aku pergi dulu!"
Luca kemudian menoleh kepada Darren.
"Tolong jaga pacarku baik-baik!" ujarnya sembari bergegas keluar dari tempat itu.
Darren tertawa kecil melihat yang baru saja terjadi.
"Dia pacarmu? Kelihatannya dia sangat mencintaimu," ujarnya.
Sabrina hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Ia merasa sangat beruntung memiliki Luca.
***
Luca berulangkali melirik jam dinding dengan cemas.
'Ke mana Reina? Kenapa dia belum pulang juga?' ujarnya bertanya-tanya.
'Apa Pak Hardiman menangkap atau terjadi hal buruk padanya?'
Pemuda tersebut menyibak tirai jendela. Hari sudah mulai gelap, tetapi sosok Reina tidak juga terlihat.
Luca kembali duduk. Pikirannya masih tidak tenang dan ia memutuskan untuk mencari Reina.
Pintu depan tiba-tiba terbuka saat Luca tengah bersiap.
"Kamu sudah pulang? Dari mana saja?" tanya pemuda itu sembari keluar dari kamar.
Reina hanya duduk diam sembari menangis. Wajahnya nampak pias.
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Apa mungkin Pak Hardiman mencari kamu?" tanya Luca bertubi-tubi.
Perkataan Luca membuat Reina berhenti menangis dan menatap pemuda yang duduk di depannya itu.
"Apa maksudmu? Kenapa Pak Hardiman mencari aku?"
Tatapan menyelidik lalu diarahkan Reina pada pria muda tersebut.
"Jelaskan padaku! Bagaimana bisa Pak Hardiman ...? Tunggu, jangan-jangan dia sudah menemukan kita? Dia sudah mengetahui keberadaan kita dan kalian sudah bertemu?" tanya gadis itu dengan nada mendesak.
Luca hanya diam dan mengangguk.
"Apa yang dia katakan? Apa yang diinginkan dari kita? Apa dia ingin membawa kita kembali atau mungkin memintamu untuk membunuh seseorang? Tidak, Luca! Kita sudah sejauh ini! Kau tidak boleh lagi menurut padanya!" sergah Reina sembari menggenggam erat tangan pemuda itu.
Luca mungkin tidak pernah mencintainya lebih dari adik dan sahabat, tetapi bagi Reina, lelaki itu segalanya. Keluarga. Dan cintanya.
***
Kanaya menggenggam erat pinggir surat tersebut. Akhirnya, semua berakhir. Pernikahannya dengan Adrian sudah resmi berpisah. Mereka kini bukan suami istri lagi.
Sewaktu Adrian berkata akan menceraikan setelah Kayla meninggal, Kanaya sudah bersiap. Ia berusaha untuk tetap tegar meski tahu mungkin tidak sanggup bertahan.
Kenyataannya, dia hanya membohongi hati. Dirinya tidak akan pernah siap untuk berpisah dengan Adrian. Karena rasa cinta yang terlalu dalam pada mantan suami tersebut.
***
Adrian menatap surat yang baru saja diterima. Hatinya terasa sedikit lega, karena bisa benar-benar lepas dari Kanaya. Kini, ia bisa membuka lembaran hidup baru bersama Shelly dan anak yang berada dalam kandungan gadis itu.
'Ini semua kesalahan Kanaya. Dia telah menghancurkan sendiri keluarga kami,' tukas Adrian saat teringat pada sang mantan istri. Andai saja wanita itu mau menurut, mungkin mereka masih bisa melanjutkan sandiwara pernikahan tersebut.
Juga Luca, tetapi Adrian sadar tidak mungkin menghadapi pemuda itu. Luca bukan lawan yang enteng. Resiko yang diambil terlalu besar untuk menjatuhkan pemuda itu.
'Mungkin lebih baik aku lupakan semua, yang penting ada Shelly yang tetap bersamaku,' tukasnya dalam hati.
Shelly yang melihat pria itu termenung di ambang pintu segera menghampiri dan memeluk dari belakang.
"Aku senang," bisiknya. "Aku senang hubungan kita akhirnya mengalami kemajuan. Aku tidak mau lagi hanya menjadi kekasih. Aku juga ingin menjadi seorang istri bagimu."
Adrian berbalik dan membelai lembut paras jelita tersebut. Sebuah ciuman mesra penuh kehangatan mendarat di bibir ranum yang merah merekah.
***
Darren dan Sabrina bersama-sama memeriksa laporan satu per satu.
"Pembunuh yang mengerikan," ucap Darren pelan.
"Bahkan setelah membunuh orang yang diincar, ia tetap tidak melepaskan sandera."
"Menurutku, sejak awal ia tidak berniat melepas Kayla," timpal Sabrina.
"Tapi kenapa? Apa kesalahan yang diperbuat gadis kecil itu? Anak tersebut tidak tahu apa-apa."
"Kayla mungkin tidak tahu apa-apa, tetapi sasaran dia sebenarnya adalah Kanaya. Ia membunuh Kayla untuk menghancurkan Kanaya."
Darren menggeleng.
"Kejam! Hanya orang sakit jiwa yang bisa melakukan hal sekeji itu."
Sabrina mengangkat kepala dari laporan yang dibaca dan terkejut melihat Kanaya berdiri di ambang pintu dengan tubuh gemetar.
"Kanaya," ujarnya sembari menghampiri.
"Maafkan kami! Kami tidak bermaksud ...."
"Ti-dak apa-apa. Aku kemari juga untuk mengetahui tentang kasus putriku. Aku tidak bisa tenang. Sendirian di rumah membuat pikiranku semakin kacau, karena itu aku kemari. Aku ingin melihat pembunuh itu tertangkap," potong wanita itu dengan suara bergetar.