Chereads / lover secret / Chapter 14 - Empat belas

Chapter 14 - Empat belas

"Aku ingin kau menukar Pak Iwan dengan nyawa putrimu," ucap suara di seberang.

"Aku tidak bisa! Mana mungkin aku melakukannya?" tukas Kanaya.

"Sudah kubilang, pilihan ada di tanganmu. Nyawa lelaki tua itu atau nyawa putrimu. Pikirkanlah! Apa nyawa orang yang tidak kaukenal lebih berharga daripada anakmu? Aku memberimu waktu sampai besok pagi. Jika besok, kau tidak memberikan jawaban yang menyenangkan aku, maka jangan harap bisa melihat putrimu lagi dalam keadaan hidup!"

"Aku ... Halo! Halo! Biarkan aku bicara dengan Kayla! Halo! Kumohon! Biarkan aku mendengar suara anakku! Halo! Halo!"

Tut ... tut ... tut ...!!!

Hanya nada sambungan terputus yang menjawab suara panik Kanaya. Perempuan itu jatuh terduduk sembari terisak.

'Kayla, Kayla, tenanglah! Ibu pasti membawamu pulang! Kau akan baik-baik saja!'

***

Sabrina bergegas kembali ke kantor, saat mendengar kabar tentang Kayla.

Setiba di sana, ia segera memeluk dan menghibur Kanaya yang masih menangis.

"Ki-ta ... ki-ta ha-rus melakukan sesuatu! Kita harus menukar Pak Iwan dengan Kayla," ucap Kanaya.

"Tentu saja kita akan melakukannya! Jangan cemas! Kayla akan kembali dengan selamat!"

Kanaya menggeleng.

"Aku sangat takut. Bagaimana jika pembunuh itu nekat? Bagaimana jika ia melukai atau ...?"

"Jangan berpikiran seperti itu! Yakinlah bahwa Kayla akan baik-baik saja!"

"Aku ingin bisa yakin tentang keselamatan Kayla, tetapi yang bersamanya adalah seorang pembunuh sadis. Bagaimana aku bisa tetap tenang?" tukas Kanaya sembari menatap Sabrina.

"Kau adalah seorang detektif, Kanaya, dan kau juga yang mengajarkan banyak hal padaku. Orang yang diincar pembunuh ini adalah Pak Iwan, bukan Kayla. Pola itu sudahx terlihat jelas sejak semula dan seperti yang kita tahu, pembunuh nyaris tidak pernah bertindak di luar jalur. Saat ini dia hanya memanfaatkan Kayla untuk mencapai tujuannya. Membunuh Pak Iwan."

Kata-kata Sabrina itu hanya ditanggapi anggukan lemah oleh Kanaya. Ia benar-benar berharap kata-kata Sabrina benar dan Kayla akan baik-baik saja.

***

Adrian merasa cemas dengan Kayla setelah menerima telepon dari Kanaya. Ia hendak pergi ke tempat sang istri. Berkas-berkas di meja juga sudah dirapikan. Tiba-tiba, pintu ruangan kantornya terbuka dan Shelly bergegas masuk.

"Kau mau ke mana?" tanya gadis beetubuh langsing itu.

"Aku harus pergi. Kanaya baru menelepon katanya Kayla menghilang. Aku cemas jangan-jangan terjadi hal buruk pada putriku," tukas Adrian cepat sembari bangkit berdiri dan bergegas menuju pintu.

"Apa hanya Kayla anakmu? Lalu yang di perutku ini, apa kau tidak peduli padanya?" ujar Shelly sembari memegang erat tangan Adrian.

"Shelly, aku harus pergi," pinta pria itu lagi dengan nada memohon.

Gadis itu menggeleng.

"Tidak! Tidak kuijinkan! Hari ini, kau sudah berjanji untuk menemaniku memeriksakan kehamilan."

"Shelly ...."

"Kita pergi sekarang atau aku akan memberitahu semua pada istrimu sekarang juga bahwa aku mengandung anak suaminya. Aku yakin itu akan menjadi pukulan berat baginya."

Adrian diam dan akhirnya mengangguk.

"Baiklah, aku akan pergi denganmu!"

Senyum sumringah kembali menghias wajah Shelly. Ia segera memeluk Adrian.

"Aku senang sekali," ujarnya. Kemudian ia menengadah dan menatap wajah pria di depannya itu. Adrian masih terlihat khawatir.

"Jangan cemas! Kayla pasti baik-baik saja. Lagipula, jika sesuatu terjadi, semua itu bukan salahmu. Semua adalah salah Kanaya."

Adrian mengangguk mendengar penuturan Shelly.

'Benar! Semua ini adalah salah Kanaya," tukas pria itu dalam hati.

***

Pak Boby menggeleng.

"Tidak! Tidak bisa! Sebagai atasan kalian, aku melarang kalian melakukan itu!" tegasnya saat Sabrina dan Kanaya datang menemuinya. Mereka meminta untuk diijinkan menukar Pak Iwan dengan Kayla.

"Tapi, Kayla dalam bahaya, Pak! Bukankah Anda juga dekat dengan Kayla? Cucu Anda juga sering bermain dengannya," sergah Sabrina cepat.

Atasannya itu tetap menggeleng.

"Aku tidak bisa mengijinkan. Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi. Keselamatan Pak Iwan adalah tanggung jawab kita. Jika terjadi sesuatu pada beliau dan disebabkan karena penukaran sandera ini, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada kita."

"Kita akan menjamin keselamatan Paj Iwan. Kita menjaga dan mengawasi dia dengan ketat. Tidak akan terjadi apa-apa pada beliau. Mungkin justru kita memiliki peluang untuk menangkap pelaku," desak Sabrina.

"Tetap saja itu terlalu beresiko. Jika semua tidak berjalan sesuai rencanamu, maka pembunuh itu yang akan memenangkan lagi pertarungan ini."

Sabrina terdiam. Pria paruh baya di depannya itu lalu menoleh pada Kanaya.

"Jangan cemas! Tunggu sampai dia menghubungi lagi dan kita bisa melakukan pelacakan! Kayla akan ditemukan dan semua akan baik-baik saja."

Kanaya menggigit bibirnya dan mengangguk sembari tetap tersedu. Pak Boby diam sembari menghela napas panjang. Benar-benar di luar dugaan situasi menjadi seperti ini.

***

"Paman, aku mau pulang," pinta Kayla pada lelaki itu. Ia sudah bosan bermain serta ingin bertemu ayah dan ibunya.

Pria itu tersenyum.

"Tunggulah, ibu Kayla pasti datang menjemput!"

Gadis kecil itu menggeleng.

"Aku mau pulang sekarang! AKU MAU PULANG!" teriaknya keras.

Kaki kanannya menghentak lantai dengan keras.

"Aku mau pulang! Aku mau pulang!" rengeknya berulang kali.

"DIAM!" bentak lelaki itu. Seketika Kayla berhenti berteriak. Mata beningnya menatap takut. Dia lalu mulai terisak.

"Pa-man bu-kan teman ibuku. Aku takut. Aku mau pulang!" pintanya dengan suara gemetar.

Pria itu menghela napas panjang, lalu tersenyum.

"Aku memang teman ibumu. Baiklah, jangan menangis lagi! Aku akan mengantarmu pulang, tapi kau minum susu ini dulu, baru kita pergi ke rumahmu. Kalau tidak, ibumu pasti marah," bujuknya.

Kayla mengangguk. Ia ingat ibunya selalu mengomel agar ia menghabiskan susu yang telah disajikan setiap pagi dan sore.

'Benar, ibu pasti marah jika aku tidak meminumnya.'

Kayla segera mengambil gelas berisi susu coklat tersebut dan meminumnya sampai habis.

"Ayo Paman, antar aku pulang!" pintanya.

Pria itu mengangguk dan segera menggendongnya. Kepala Kayla terkulai lemah. Tidak berapa lama, ia terlelap di gendongan lelaki tersebut.

***

Keesokan hari, Kanaya merasa benar-benar cemas dan panik. Ia tidak tidur semalaman karena memikirkan Kayla dan sekarang harus bernegosiasi dengan pembunuh itu.

Orang-orang dari kasus yang pernah dia tangani sering mengalami ini, tetapi biasanya dia bertindak tenang dan menenangkan mereka. Keputusan yang diambil komandannya adalah keputusan yang juga akan diambilnya saat menghadapi kasus penculikan. Namun, saat ini ia tidak bisa berpikir jernih. Sebagai seorang ibu, ia ingin melakukan apa pun agar Kayla selamat.

Sabrina datang menghampiri.

"Tenanglah, semua sudah siap. Alat ini akan langsung melacak keberadaan pembunuh itu. Aku akan bersiap untuk secepatnya ke lokasi dan membawa Kayla kembali," ujarnya sembari menepuk pelan bahu Kanaya.

Wanita di depannya itu hanya mengangguk.

'Semoga aku tidak membuat keputusan yang salah,' bisiknya dalam hati.

***

Ponsel Kanaya berdering. Seorang petugas memberi kode bahwa semua sudah siap. Kanaya segera menerima telepon itu.

"Ha-lo," ucapnya pelan.

"Pagi, Nyonya, jadi bagaimana keputusanmu? Anakmu atau Pak Iwan?" seru suara di seberang.

"Aku ... biarkan aku bicara dulu dengan Kayla! Dia pasti ketakutan," pinta Kanaya. Ia sengaja melakukan itu untuk mengulur waktu, agar tim komunikasi bisa mendapat informasi lokasi keberadaan penjahat tersebut.

"Nyonya, kau ingin bermain-main denganku rupanya? Apa kau lupa nyawa putrimu ada di tanganku? Jika kau berusaha mempermainkan aku, aku tidak akan segan-segan membunuh gadis kecilmu ini!"

"Ja-ngan! Ku-mo-hon! Kumohon padamu, jangan sakiti putriku! Aku hanya ingin bicara sebentar padanya!"

Tidak ada sahutan di seberang. Wajah Kanaya semakin pasi. Jemarinya memutih karena memegang ponsel tersebut dengan erat. Tubuhnya gemetar dan air mata mulai mengalir di wajah.

"Ibu," terdengar suara Kayla di seberang.

"Kayla, Kayla, kau baik-baik saja, Nak? Apa kau tidak apa-apa?"

"Ibu, aku bosan. Kapan Ibu akan menjemputku? Teman Ibu bilang Ibu akan menjemputku. Benar 'kan, Bu?"

"Iya, Sayang, kamu tunggu ya! Ibu pasti membawa kamu pulang."

Sambungan kembali senyap. Tidak berapa terdengar suara di seberang berbicara,

"Jadi bagaimana? Apa keputusanmu?"

***

Anggota tim mengacungkan jari dan memberikan alamat kepada Sabrina. Gadis itu segera berangkat bersama beberapa orang anak buahnya.

"Tenanglah, mereka pasti bisa menemukan Kayla," bisik Pak Boby kepada Kanaya. Wanita itu hanya mengangguk.

"Kerja bagus!" lanjut atasannya lagi.

"Apa keputusanmu? Aku sudah tidak sabar," ulang suara di seberang.

"Aku ... aku tidak akan melakukannya!" tegas Kanaya.

"Benarkah? Jadi kau sudah siap menerima jenazah putrimu? Baiklah, jika itu keinginanmu, jangan pernah menyalahkan aku atas kematian putrimu!"

***

Sabrina dan yang lain tiba di tempat persembunyian pembunuh. Gudang tua yang kusam dan reot tersebut berada di daerah yang jauh dari pemukiman. Pantas saja tidak ada yang tahu jika orang tinggal di sana. Mereka segera bergegas masuk. Menyusuri setiap tempat dan ruangan, tetapi tidak ditemukan apa pun.

Ponsel model lama yang tergeletak di atas meja kayu berdebu berdering keras. Sabrina segera mengangkat.

"Halo, detektif, sebaiknya kalian pergi karena aku tidak ada di sana!" ujar suara di seberang.

"Kau! Kau! Dasar penjahat!" maki Sabrina marah.

Di tempat lain, orang yang dimakinya itu tertawa terbahak sembari melihat layar yang menampilkan Sabrina dan anak buahnya berada di gudang tersebut.

***

Kanaya menjerit histeris saat mendengar Sabrina gagal menemukan Kayla.

"Apa? Apa yang telah kulakukan? Kayla! Kayla! Ini semua salahku! Semua salahku! Harusnya aku menuruti keinginannya! Kayla! Kayla!" teriaknya sembari jatuh terduduk di lantai. Air mata mengalir deras. Seorang petugas datang untuk membantu dia berdiri, tetapi Kanaya menggeleng. Ia tetap terisak di lantai.

Atasannya menatap nanar. Semua jadi seperti ini karena mereka terlalu meremehkan penjahat itu. Sekarang Kanaya, anak buahnya yang selama ini selalu kuat dan tidak pernah menangis meski terluka, kini berubah lemah karena gagal menyelamatkan Kayla.

***

Sabrina yang baru kembali menemani Kanaya. Rekannya itu masih terpukul.

"Apa yang telah kulakukan? Aku sudah membunuh Kayla!" ucapnya berulangkali.

Sabrina sontak menggeleng.

"Tidak, tidak, jangan berkata seperti itu! Kau tidak bersalah! Kayla akan baik-baik saja! Pasti baik-baik saja!" ujarnya.

Kanaya menggeleng sembari kembali tersedu. Sabrina menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur sahabatnya itu.      

Ponsel Sabrina berdering. Ia segera bergegas menjauh dari Kanaya dan menerima panggilan tersebut.

"Kamu di mana? Lupa kalau kita akan bertemu?" tanya suara di seberang.

Sabrina diam sesaat dan baru teringat bahwa hari ini dirinya ada janji dengan Luca. Kekasihnya itu pasti tengah menunggu.

"Ada masalah dan aku tidak bisa pergi," sahutnya berharap Luca memaklumi.

"Masalah? Masalah apa? Apa terjadi sesuatu? Apa kamu terluka?"

"Ini bukan tentang aku. Ini soal Kanaya. Ada yang menculik Kayla, putrinya."

"Kalau begitu, itu bukan masalahmu. Untuk apa kamu ikut campur?"

"Luca!" seru Sabrina terkesiap. Ia tidak menyangka kata-kata tersebut yang akan diucapkan oleh pria itu.

"Kenapa kamu bicara seperti itu?"

"Yang aku bilang benar bukan? Kayla bukan putrimu. Untuk apa kau mengurus penculikannya sampai membatalkan janji bertemu denganku?"

"Luca, aku menyayangi Kayla! Dia sudah seperti keponakanku sendiri! Kanaya juga adalah sahabat aku. Mana bisa aku diam saja?" ucap gadis itu dengan nada kecewa. Ia tidak memahami Luca. Bagaimana bisa pria itu menyuruh dia untuk bersikap tidak peduli?

"Aku tahu kau memiliki masalah dengan Adrian dan Kanaya, tetapi bagaimana bisa kau berbuat seperti ini? Kau bukan seperti Luca yang kukenal!" lanjut Sabrina dengan nada kecewa. Tanpa memberi kesempatan Luca berbicara lagi, ia segera menutup telepon.

***

Luca bergegas pulang dari restoran tempat ia dan Sabrina berjanji untuk bertemu dengan perasaan kecewa dan marah.

"Kau sudah pulang? Kenapa cepat sekali?" tegur Reina yang sedang melipat baju.

Ia lalu menoleh dan melihat wajah Luca terlihat muram.

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"

"Dia tidak datang. Menangani penculikan anak rekannya lebih penting baginya daripada bertemu denganku!" sahut Luca sengit.

Reina tersenyum.

"Duduklah! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu!" ujarnya sembari menunjuk kursi di sampingnya.

Luca menurut dan segera menghempaskan diri di kursi itu dengan wajah masam. Reina meraih dan menepuk pelan tangan Luca.

"Kau harus belajar untuk memahami bahwa dalam kehidupan, selain kekasih dan keluarga, ada sahabat. Sahabat yang mereka sayangi, yang jika dalam masalah, mereka ingin membantu. Sabrina ingin membantu sahabatnya itu. Aku tahu sulit bagimu menerima dan mengerti, karena ini adalah hal baru untukmu," tuturnya sembari tetap tersenyum.

Luca menatap gadis itu, lalu mengangguk.

"Aku akan mencoba untuk menerima hal itu."

Reina balas mengangguk.

'Kau pasti bisa, Luca. Aku yakin kau bisa berubah menjadi manusia normal seperti orang-orang pada umumnya. Aku membawamu pergi dari sana untuk ini. Agar kau bisa belajar mencintai dan menyayangi,' tukasnya.

***

Adrian melangkah tergesa ke tempat Kanaya. Ia tadi mengebut kemari setelah mendapat kabar dari istrinya itu bahwa putri mereka diculik.

"Bagaimana? Bagaimana bisa hal ini terjadi?" ujar lelaki itu dengan nada sarat emosi kepada sang istri. Sabrina yang melihat itu merasa kasihan kepada Kanaya, tetapi ia tidak bisa ikut campur.

"Ini semua pasti salahmu!" tukas Adrian lagi sembari menudingkan jarinya kepada wanita yang duduk di depannya itu.

"Aku minta maaf," ucap Kanaya pelan sembari terisak.

"Tidak ada gunanya meminta maaf! Kau yang sudah menyebabkan semua ini! Demi pekerjaanmu, kau mengorbankan putri kita! Kau sudah membuat Kayla dalam bahaya! Apa kau sudah puas sekarang? Jika sampai terjadi sesuatu pada Kayla, aku tidak akan pernah memaafkanmu!" bentak pria itu tanpa belas kasihan. Ia lalu bergegas pergi sembari menghentakkan kakinya. Meninggalkan Kanaya menangis seorang diri dalam penyesalan.

Sabrina segera menghampiri Kanaya dan memeluk sahabatnya itu.

"Ia benar-benar keterlaluan!" tukasnya jengkel.

"Di-a be-nar. Jika terjadi sesuatu pada Kayla, ma-ka semua itu adalah kesalahanku," ujar Kanaya.

Sabrina menggeleng tegas.

"Tidak! Sejak awal, ini semua salah pembunuh itu. Ia yang membunuh semua orang itu. Tugas kita adalah untuk menangkapnya dan tidak ada yang salah dengan itu."