Chereads / lover secret / Chapter 15 - lima belas

Chapter 15 - lima belas

Keesokan pagi, tidak ada telepon masuk. Seharian Kanaya menunggu dengan cemas dan ketakutan. Ia berpikir, mungkin pembunuh itu benar-benar membunuh Kayla. Adrian bersikap dingin dan tidak menegurnya sama sekali.

***

Esoknya, Kayla kembali merengek minta pulang pada pria yang membawanya. Sudah berhari-hari, ia tidak pulang. Gadis kecil merindukan ayah, ibu, juga mainan dan teman-temannya.

"Baiklah," ujar lelaki itu. "tapi, ayo kita bermain dulu!"

Kayla mengangguk setuju. Yang penting, dia bisa segera pulang.

Lelaki itu mengambil sebilah pisau dari dalam laci. Melihat benda tajam berkilat tersebut, anak perempuan itu melangkah mundur ketakutan.

"Ayo kita mulai permainannya!" tukas lelaki itu sembari menyeringai. Kayla makin ketakutan dan segera melarikan diri, tetapi pria yang menculiknya itu mengejar dan kembali menangkapnya.

Jerit kesakitan gadis kecil tersebut terdengar tidak berapa lama kemudian, setelah itu semua berubah sunyi.

***

Seorang kurir datang ke kantor detektif tersebut.

"Kiriman untuk Nyonya Kanaya," ujarnya dengan suara sedikit keras.

Sabrina menerima dan menandatangani resi penerimaan. Petugas tukang antar tersebut ditahan dan ditanyai, tetapi ia tidak tahu apa-apa. Pemuda itu mengaku ia hanya disuruh datang ke sebuah rumah dan mengantarnya ke kantor tersebut. Rumah itu ternyata kosong. Hanya ada kardus dan amplop berisi uang pembayaran untuk pengiriman.

Rute pengiriman dan amplop tersebut diperiksa, tetapi tidak ditemukan apa pun. Semua yang dikatakan pemuda itu benar. Amplop itu juga tidak memiliki sidik jari selain milik si pengantar tersebut. Pemuda itu lalu diperbolehkan pergi.

***

Kanaya menatap kotak kardus berukuran sedang yang baru saja dikirim tersebut dengan tatapan mata nanar. Ia takut untuk menduga apa yang berada dalam kotak tersebut.

"Kanaya ...," panggil Sabrina pelan.

"A-ku ha-rus me-lakukannya. Aku harus memastikan Kayla baik-baik saja," ucapnya dengan suara bergetar. Sabrina mengangguk. Ia berdiri di samping Kanaya saat rekannya membuka kotak tersebut. Sebuah buku bergambar kartun berlumuran darah berada di dalamnya.

"Kayla! Kayla!" seru Kanaya sembari tersurut ke belakang dan jatuh terduduk di lantai. Tangisan wanita itu kembali pecah.

"Kanaya, tenanglah! Belum tentu itu darah Kayla. Mungkin dia hanya ingin menakutimu," ujar Sabrina pelan.

"Mana bisa aku tenang? Kayla mungkin sedang terluka dan kesakitan, mana mungkin aku bisa tenang?" tukas Kanaya emosi.

Adrian yang berada di situ segera menghampiri.

"Apa kau sudah puas sekarang? Kau lihat apa yang telah kaulakukan pada putri kita? Aku tidak percaya memiliki seorang istri yang kejam dan egois sepertimu! Tega mengorbankan anaknya sendiri!" bentaknya pada Kanaya yang masih tersedu.

"Cukup!" teriak Sabrina pada lelaki itu.

"Kau selalu saja menyalahkan Kanaya. Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau tidak menjaga Kayla? Kau 'kan ayahnya! Apa kau tidak bisa menjaga putrimu?"

"Sabrina!" tegur Kanaya dari belakang. "Dia benar. Aku yang salah dalam hal ini."

Sabrina tetap menatap Adrian tajam.

"Itu bukan sepenuhnya salahmu! Dia adalah ayah Kayla. Menjaga Kayla juga adalah tanggung jawabnya, tetapi dia tidak bisa melakukannya. Bahkan, setelah tahu Kayla hilang, dia tidak langsung datang. Justru pergi entah ke mana. Lalu, saat di sini, dia hanya melampiaskan kemarahan dan melimpahkan kemarahan padamu!" ujarnya sengit.

"Sabrina!" tegur Kanaya.

"Ke mana saja kau? Apa ada urusan yang lebih penting daripada putrimu?" tukas Sabrina tanpa mengalihkan tatapan dari Adrian.

"Aku sibuk dengan urusan kantor. Ada beberapa hal yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja," sahut Adrian.

Sabrina tersenyum sinis.

"Ayah macam apa kau? Bahkan saat putrimu diculik, kau masih bisa memikirkan bisnis."

"Sabrina, cukup!" tegur Kanaya keras.

"Jangan ikut campur lagi dengan urusan ini!"

Gadis itu menggeleng. Ia lalu menatap Kanaya dan Adrian bergantian.

"Aku tidak mengerti dengan kalian. Dulu, kupikir kalian pasangan yang bahagia. Rumah tangga kalian sempurna, tapi ternyata itu hanya kedok belaka," ucapnya.

"Tidak ada yang sempurna, Sabrina. Tidak semua seperti yang kaulihat adalah kebenaran," desah Kanaya pelan. Sabrina hanya diam.

Ponsel Kanaya berdering memecahkan keheningan. Orang-orang yang tadi melihat pertengkaran ketiga orang itu, kembali waspada dan sibuk dengan alat masing-masing.

"I-bu, sa-kit! Tolong aku, Bu."

Terdengar rintihan suara Kayla di seberang. Suara penuh kesakitan itu terdengar jelas dari ponsel Kanaya yang telah di-loudspeaker. Wajah orang-orang di ruangan tersebut berubah tegang.

"Kayla ...," ucap Kanaya pelan.

"Nyonya, Anda sudah dengar suara putrimu dan menerima hadiah dariku bukan? Itu hanya peringatan kecil dariku. Sekarang apa kau mau menuruti permintaanku?"

***

Ponsel Sabrina berbunyi nyaring. Gadis itu segera menjauh untuk mengangkat telepon tersebut.

"Aku minta maaf," ucap Luca yang berada di seberang.

"Aku menyesal dengan perkataanku padamu. Aku hanya kesal karena tidak bisa bertemu denganmu. Aku benar-benar minta maaf. Kau tidak marah lagi, 'kan?"

Senyum muncul di wajah Sabrina.

"Aku tidak marah. Aku senang kau menyadari kesalahanmu."

Luca menghela napas lega.

"Bagaimana keadaannya? Kalian sudah menemukan anak itu?"

"Tidak, kurasa kami harus menuruti keinginan si penculik untuk menyelamatkan Kayla," jawab Sabrina dengan nada putus asa.

"Suara itu ...."

"Oh, itu si penculik. Kami sengaja me-loudspeaker suaranya agar petugas yang menangani bisa ikut mendengar dan melacak."

Luca diam. Ia lalu mendengar nama Pak Iwan. Wajah tampannya berubah tegang.    

'Organisasi pasti terlibat di balik penculikan ini dan itu artinya anak itu benar-benar dalam bahaya,' duganya.

"Luca ...," panggil Sabrina saat tidak mendengar suara di seberang.

"Maaf, aku baru ingat ada yang harus kulakukan. Kamu pasti juga sedang sibuk. Aku akan meneleponmu lagi nanti," ucap pria muda itu, lalu ia segera menutup telepon tanpa memberi kesempatan Sabrina menjawab.

'Dasar aneh! Dia selalu saja seperti ini saat ada yang dipikirkan,' keluh Sabrina sembari menatap ponsel.

***

Luca segera bersiap. Ia lalu bergegas hendak keluar dari rumah.

"Mau ke mana?" tegur Reina.

"Ada yang harus kulakukan. Aku harus menolong anak itu!" ucap pemuda itu sembari membuka pintu.

Reina segera menyusul dan mencekal erat tangannya.

"Apa ini tentang penculikan itu? Kenapa kau tiba-tiba ingin menolong?"

Gadis itu menatap wajah Luca lama.

"Apa ini berhubungan dengan organisasi?" ucapnya pelan.

Luca hanya diam. Namun, Reina sudah tahu bahwa tebakannya tepat.

"Kau tidak boleh pergi!" tegas Reina dengan nada tidak bisa ditawar.

"Aku harus pergi. Kau tahh sendiri seperti apa tempat itu dan orang-orang di dalamnya. Kita besar di sana, Reina, dan kita tahj persis peraturan di sana. Tidak ada saksi. Tidak peduli meski dia anak kecil, jika tahu tentang kita, ia harus mati."

Reina tetap menggeleng.

"Apa pun yang kaukatakan, kau tetap tidak kuijinkan pergi!" tegasnya.

"Kita bersembunyi dari mereka. Pelarian kita akan sia-sia jika kau justru berlari menghampiri mereka kembali."

"Aku tidak punya pilihan. Aku harus pergi menolong anak itu," ujar Luca sembari menepis tangan Reina.

"Kalau begitu, kau juga tidak memberi aku pilihan," ujar Reina sembari meraih suntikan yang berada di saku dan dengan cepat menusukkan ke lengan pemuda itu.

"Kau ...."

Luca terjatuh tidak sadarkan diri tanpa sempat menyelesaikan ucapannya.  

'Maafkan aku, Luca! Tetapi aku tidak bisa membiarkan semua usaha kita untuk pergi dari sana sia-sia. Aku juga tidak mau orang-orang itu kembali menangkap kita,' ujar Reina sembari menatap pemuda itu.  

***

Ruangan di sudut kantor detektif tersebut tertutup. Namun, suasana di luar tidak kalah tegang. Semua menunggu keputusan yang akan diambil oleh atasan mereka. Tadi, Kanaya telah setuju untuk bersepakat dengan pembunuh itu. Menukar Pak Iwan dengan Kayla demi keselamatan putrinya. Apalagi setelah darah di buku dites dan terbukti itu adalah darah Kayla, Kanaya tidak bisa lagi tenang.

Kanaya dan Sabrina duduk di depan Pak Boby. Pria paruh baya itu menggeleng.

"Seharusnya kita bisa mengulur waktu. Pembunuh itu menginginkan Pak Iwan. Kayla hanya umpan agar kita menuruti keinginannya," ucapnya.

Sabrina menggeleng tidak setuju.

"Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tetapi pembunuh ini gila. Dia telah melukai Kayla. Bahkan mungkin akan membunuh Kayla, jika kita tidak menuruti permintaannya."

Lelaki di hadapan mereka itu menghela napas panjang.

"Lalu bagaimana dengan Pak Iwan? Keselamatan beliau adalah tanggung jawab kita. Kita tidak bisa begitu saja memberikan dia pada pembunuh itu."

"Kanaya tidak akan sendiri saat menukar Pak Iwan dengan Kayla. Aku dan yang lain akan diam-diam mengikuti dari belakang. Begitu pembunuh itu muncul dan kita mendapatkan kembali Kayla, aku dan anak buah kita akan langsung bergerak untuk menangkapnya."

"Tetap saja itu terlalu berbahaya. Jika terjadi kesalahan, maka semua orang akan berbalik menyalahkan kita," tukas Pak Boby.

"Kita tidak ada pilihan lain. Hanya ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Kayla," desak Sabrina. Atasannya itu masih terlihat ragu.

"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya. Jika semua tidak berjalan sesuai rencana, maka aku akan mengundurkan diri," tukas Kanaya yang semenjak tadi membisu.

Sabrina terkesiap dan menatap rekannya itu.

"Kau tidak perlu melakukan itu," ujarnya pelan.

"Tidak, Sabrina! Aku harus melakukannya! Keselamatan Kayla adalah yang paling utama buat aku. Jika aku harus keluar dari pekerjaan ini, tidak apa-apa, asal Kayla baik-baik saja."

"Baiklah, aku setuju," putus Pak Boby.

"Sekarang kalian pergi dan bujuk Pak Iwan untuk mau mengikuti rencana kita!"

Tanpa membuang waktu lagi, kedua detektif tersebut segera berangkat.

***

Kanaya dan Sabrina bergegas keluar dari mobil hitam yang mereka kendarai. Tatapan mereka terpaku pada rumah bercat putih yang berada di depan mereka. Rumah itu adalah tempat perlindungan untuk Pak Iwan. Mereka berdua tahu bukan hal mudah membujuk pria renta itu, mengingat dia orang yang keras kepala dan egois, tetapi demi Kayla, mereka harus berhasil membuat Pak Iwan setuju untuk mengikuti rencana mereka.

"Apa katamu? Kenapa aku harus melakukan itu?" tutur lelaki itu saat menemui mereka berdua dan mendengar penjelasan dari Sabrina.

"Kukira kalian datang kemari untuk memberitahuku bahwa kalian sudah berhasil menangkap penjahat itu, tetapi kalian justru meminta agar aku menyerahkan nyawa padanya," lanjutnya lagi.

"Pak, kumohon, Pak, bantu aku menolong putriku!" pinta Kanaya dengan nada memelas.

"Tidak! Aku tidak mau! Bahkan sekalipun yang dia culik putri atau cucuku, aku tetap menolak bertemu dengannya, apalagi untuk putrimu yang bahkan tidak kukenal!" tolaknya tegas.

Sabrina mengeluarkan selembar foto dari dompet. Foto itu adalah foto Kayla bersamanya yang diambil saat perayaan ulang tahun gadis kecil itu.

"Ini adalah anak yang diculik itu. Lihatlah, dia masih begitu kecil! Tawanya juga masih polos! Dia tidak tahu bahwa dunia ini ada orang yang begitu jahat, sehingga tega membunuh orang lain," ucapnya.

Pria itu hanya melirik sekilas foto tersebut dengan tatapan dingin. Sorot matanya tidak berubah saat menatap Kanaya dan Sabrina.

"Aku tidak peduli! Kalian pikir dengan menunjukkan fotonya padaku, lalu aku berubah iba. Aku tidak akan kaya seperti sekarang ini, jika merasa kasihan pada orang lain," ucapnya sembari bangkit dari duduknya.

"Pembicaraan kita sudah selesai, sebaiknya kalian pergi!" ujar Pak Iwan pada kedua detektif tersebut.

Kanaya mulai terisak, tetapi, kemudian ponselnya. berdering. Wanita itu mencoba menenangkan diri dan menerima panggilan telepon tersebut.

"Aku ingin bicara dengan pria tua itu," tukas suara di seberang.

Kanaya segera memberikan  ponsel pada Pak Iwan.

"Jadi, kau menolak untuk bertemu denganku? Apa kau pikir dengan begitu dirimu bisa lari dari maut? Dengarkan aku, Pak Tua! Aku tahu persis di mana kau berada. Jadi pilihan ada di tanganmu, kau yang datang padaku atau aku yang berkunjung ke sana?" tukas suara di seberang.

"Jangan coba-coba menipuku! Kau hanya pembohong yang bekerja sama dengan dua detektif wanita ini!" sergah Pak Iwan.

"Kau berani bertaruh, Pak Tua? Apa aku memang pembunuh itu atau bukan? Jika demikian, aku tidak perlu cemas. Aku hanya perlu mampir ke rumah bercat putih jelek itu untuk membunuhmu," ujarnya.

"Kau! Kau tidak akan bisa membunuhku!" teriak Pak Iwan lagi. Beliau semakin terpancing emosi, tetapi sambungan telepon tersebut justru terputus.

Pria tua itu segera mengembalikan ponsel Kanaya dengan tangan gemetar.

"Dia bukan orang kalian?" tanyanya pelan.

Sabrina menggeleng.

"Kami tidak akan melakukan itu. Apa yang dia katakan?"

"Dia bilang dia tahu tempat ini dan akan kemari untuk membunuhku. Entah aku pergi dengan kalian atau tidak, aku tetap akan mati."

"Itu tidak akan terjadi," tukas Sabrina.

"Jika Anda pergi dengan kami, kami akan memastikan perlindungan untuk Anda. Kami tidak akan membiarkan dia melukai Anda juga Kayla. Keamanan Anda tetap yang utama. Jika semua berjalan lancar, kita mungkin bahkan bisa menangkap pembunuh tersebut."

Pak Iwan mengangguk.

"Baiklah, aku setuju, tetapi kalian harus terus menjaga aku," ucapnya dengan keraguan masih membayang di wajah.

***

Kanaya dan Sabrina kembali ke kantor bersama Pak Iwan. Mereka juga mengatur rencana penjagaan untuk pria uzur tersebut. Setelah semua dipersiapkan dengan matang, Kanaya dan Sabrina merasa sedikit lega.

"Telepon itu ... Bukan kau 'kan yang merencanakan?" tanya Kanaya saat ia dan Sabrina hanya berdua di ruang rapat. Para petugas yang lain bergegas keluar setelah rapat usai untuk mempersiapkan diri.

Sabrina menggeleng.

"Aku tidak sempat berpikir untuk melakukan itu."

"Kalau begitu, yang menelepon adalah pembunuh itu, tetapi kata Pak Iwan, ia tahu tentang rumah persembunyian, kalau begitu, kenapa dia tidak langsung datang seperti yang biasa dilakukan?" ujar Kanaya.

"Kenapa dia harus melibatkan Kayla kali ini?"

Sabrina berpikir sejenak.

"Kurasa dia juga mengincar kita, selain Pak Iwan," ucapnya pelan.

Kanaya mengangguk.

"Aku juga merasa begitu. Pak Iwan bukan yang terakhir. Ia ingin kita tidak lagi menghalangi rencana dia untuk membunuh orang."

Wanita itu kemudian memijat kepalanya.

"Kecuali kali ini kita berhasil menangkapnya, kalau tidak ada orang lain lagi yang akan tewas."

***

Adrian yang berada di luar menelepon Shelly untuk memberitahu bahwa dia tidak bisa pulang, karena Kayla masih diculik.

"Tidak apa, aku mengerti. Kau selesaikan saja masalah Kayla. Semua ini gara-gara Kanaya. Istrimu itu hanya bisa membuat masalah untukmu dan putri kalian," sahut Shelly.

"Kau benar. Kurasa setelah kasus ini, aku akan berpisah dengannya," sahut Adrian. Senyum muncul di bibir Shelly. Ia teringat kata-kata Reina bahwa dia tidak akan mendapatkan cinta.

'Kau salah, Gadis Bodoh! Lihat! Bahkan aku dengan mudah mendapatkan cinta Adrian,' tukasnya dalam hati.