Reina terkejut sekaligus cemas, saat Luca pulang dengan keadaan basah-kuyup.
"Kau kenapa? Apa terjadi sesuatu? Apa semua baik-baik saja?"
Pria itu mengangguk.
"Semua baik-baik saja sekarang."
Beberapa saat sebelumnya ...
Luca tersadar dan seolah terbangun dari mimpi.
'Apa yang sudah kulakukan? Aku hampir membunuh dia,' tukasnya dalam hati sembari melepas cekikan.
Tadi sesaat seolah semua gelap dan hanya ada kebencian. Amarah yang begitu menguasai, sehingga dia tidak mengenali siapa yang berdiri di hadapannya.
'Kenapa seperti ini? Bukankah kata Reina aku sudah sembuh? Kondisiku juga sudah membaik. Apakah itu sebabnya Reina selalu mencemaskan aku, karena sebenarnya aku belum benar-benar pulih?'
Sebuah deheman menyadarkan Luca dari berbagai pertanyaan yang mengganggu. Dia kembali menatap ke arah orang yang nyaris menjadi korbannya.
"Aku minta maaf," ucap Luca pelan. Ia tahu wanita ini adalah orang yang sering mendatangi dirinya dan secara terang-terangan mendekatinya dengan agresif.
Perempuan cantik itu menggeleng.
"Tidak apa-apa. Kau pasti sedang ada masalah, tetapi sebagai tanda permintaan maaf, bisakah kita berkenalan? Namaku Shelly," ujarnya sembari mengulurkan tangan.
"Luca," jawab Luca singkat sembari membalas uluran tangan wanita tersebut. Namun, tanpa diduga Shelly menarik dan menciumnya.
"Apa-apaan kau ini?" ujar Luca marah sembari mendorong Shelly menjauh.
Wanita bergaun seksi itu tersenyum kecil.
"Itu tanda perkenalan kita dan agar kau tidak melupakan aku."
"Menjijikkan!" gumam Luca sembari mengusap bibir untuk menghapus jejak ciuman tersebut.
Pria muda itu hendak berlalu. Tidak mau lagi berurusan dengan wanita yang menurutnya tidak tahu malu tersebut. Namun, Shelly tidak mau berhenti. Ia justru membuntuti Luca.
'Hari ini aku harus tahu di mana kamu tinggal," putus Shelly. Luca benar-benar merasa kesal.
Tiba-tiba, seseorang datang dan menegur sang wanita.
"Shelly, sedang apa kamu di sini?"
Sosok itu kemudian menoleh ke arah Luca.
"Jadi, dia yang membuat kamu selalu susah untuk dihubungi belakangan ini?"
"Tidak, Adrian, kamu salah paham. Biar aku jelaskan dulu!"
Tanpa banyak bicara, Adrian menarik tangan Shelly dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. Ia lalu menghampiri Luca.
"Menjauh kamu dari wanitaku!" serunya. Dia lalu bergegas kembali ke balik kemudi dan melajukan kendaraannya.
Luca hanya tersenyum kecil melihat semua itu. Dia justru lega bisa bebas dari Shelly. Jika tidak, mungkin dirinya benar-benar akan menyingkirkan wanita itu.
***
Adrian membanting barang-barang di atas meja dengan marah. Shelly benar-benar ketakutan. Wanita itu membekap telinga dengan tangan dan duduk dengan kepala menunduk menatap lantai.
Air mata mengalir deras di wajah.
"Mengapa kau melakukan ini padaku? Bisa-bisanya kau malah berduaan dengan lelaki lain, padahal perasaanku begitu tulus padamu!"
"Maaf, ma-afkan a-ku," desah Shelly dengan suara gemetar.
Adrian menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Ia lalu duduk di samping wanita itu.
"Katakan! Katakan padaku! Apa kekuranganku sehingga kau mengejar-ngejar lelaki itu?" tukasnya dengan suara nyaris tidak terdengar.
"Kau salah, Adrian! Bukan aku yang mengejar-ngejar dia, tapi dia yang terus saja mengejarku. Dia terus saja meminta aku menjadi kekasihnya, tetapi aku selalu menolak. Tadi aku hanya menegaskan lagi padanya bahwa aku tidak bisa menerima cintanya, tetapi dia marah, bahkan mencekikku," tutur Shelly sembari menunjukkan bekas cekikan di leher.
"Benarkah itu? Sayang, kau seharusnya memberitahu aku. Apa kita perlu melaporkan dia ke polisi?"
Shelly langsung menggeleng.
"Jangan! Aku sudah mengatakan padanya, bahwa akan melaporkannya ke polisi jika dia terus saja mengganggu. Nampaknya itu berhasil. Dia ketakutan dan berjanji tidak akan menggangguku lagi."
Adrian mengangguk sembari memeluk wanita itu.
"Tenanglah, Sayang. Aku akan melindungimu."
Shelly mengangguk sembari menghela napas lega. Adrian kembali percaya padanya.
"Kau pasti ketakutan. Jangan temui lagi lelaki itu sendirian! Dia bukan pria yang baik. Beberapa hari lalu, dia merayu istriku, sekarang mendekatimu. Entah apa tujuannya."
Kata-kata Adrian membuat Shelly terkesiap.
"Benarkah itu?"
Adrian mengangguk, lalu menunjukkan foto kebersamaan Kanaya dan Luca di restoran waktu itu.
Shelly nyaris tertawa keras karena tidak percaya. Seorang pria muda yang setampan Luca ternyata mengejar wanita yang lebih tua yang berpenampilan biasa?
'Jadi, seperti itu seleranya. Pantas saja dia selalu menolakku.'
***
Seorang pria dengan rambut putih kelabu berlari sekuat tenaga. Napasnya terengah-engah, tetapi dia tidak mau berhenti. Tidak, dia tidak boleh berhenti. Jika sampai itu terjadi, itu artinya dia akan bernasib sama seperti teman-temannya. Mati.
Sosok itu tersenyum tidak jauh di belakang sang lelaki tua. Ia tetap tenang, karena tahu pria berusia lanjut tersebut tidak akan mampu pergi jauh. Tidak seorangpun bisa lari dari sang maut.
Langkah pria tua itu terseok dan terjatuh. Ia berusaha untuk bangkit, tetapi kakinya terlalu sakit untuk digerakkan.
"Sudah selesai? Kau tahu kau tidak akan bisa lari, tetapi masih saja mencoba untuk bisa pergi," seru orang yang mengejar.
"Tidak!!! Kumohon jangan bunuh aku! Ampuni aku! Atau kau mau uang? Aku punya banyak uang.
Sosok di hadapan tertawa terbahak.
"Apa kau ingin tawar-menawar dengan maut?" ujarnya sembari berjongkok dan menghunus pisau.
"Kalau begitu, berapa kira-kira harga nyawamu?"
"Berapa pun yang kau inginkan, aku pasti membayarnya."
"Baiklah, kalau begitu bagaimana dengan nyawa seluruh keluargamu? Sebagai ganti hidupmu, aku akan membunuh anggota keluargamu satu per satu?"
"Apa maksudmu? Aku akan membayarmu dengan uang yang sangat banyak, bukan dengan kematian keluargaku."
"Kalau begitu, aku tidak tertarik. Sebanyak apa pun uang yang kauberikan, bahkan jika memberikan seluruh hartamu padaku, itu tidak akan bisa membeli nyawamu. Sebaiknya kita akhiri saja omong kosong ini dan aku akan membuatmu segera pergi ke neraka!"
"Tidak! Jangan!" seru sang lelaki tua sembari beringsut bangkit, tetapi terlambat pisau telah menghunjam tubuhnya berulang kali.
Banjir darah memenuhi tempat sepi tersebut. Mata sang pria uzur tersebut enggan terpejam seolah tidak percaya kematian telah datang menjemput.
***
Kanaya dan Sabrina masih berada di kantor, kala panggilan itu datang. Keduanya ingin segera menuntaskan kasus pembunuhan berantai yang tengah mereka tangani, sehingga belum pulang meski malam nyaris berganti pagi.
Kedua detektif tersebut segera bergegas menuju ke tempat penemuan mayat pria tersebut. Rupanya, berita pembunuhan tersebut telah bocor keluar sebelum polisi tiba. Akibatnya, TKP tidak lagi steril dan meninggalkan jejak banyak orang dari kalangan umum yang ingin melihat langsung sang korban.
Penyelidikan tidak bisa dilanjutkan di tempat itu dan hanya bisa menunggu hasil autopsi. Kanaya terlihat kesal. Semua ini sia-sia. Harusnya ada kemungkinan mereka mengumpulkan jejak pelaku, tetapi kini hal itu tidak bisa dilakukan.
Dari kejauhan, seseorang melihat semua itu dengan senyum senang. Dia memang sengaja melakukan ini, sehingga para detektif dan polisi tidak bisa menemukan apa pun. Ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Dia bergegas pergi dari situ. Ada hal penting yang harus dilakukan, selain hanya membuang waktu di tempat tersebut.
***
Sabrina berusaha untuk tetap fokus dengan kasus yang mereka tangani, apalagi dengan adanya kasus pembunuhan terbaru. Sang korban bernama Pak Ali. Sebelum peristiwa tersebut, dia sempat dikabarkan melarikan diri ke luar negeri. Menurut sekretaris pribadinya, beliau buru-buru kembali karena mendapat kabar sang cucu sedang sakit. Namun, ternyata semua itu jebakan agar dia kembali.
Gadis itu kembali menghela napas panjang. Hal itu menarik perhatian Kanaya yang duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa?" tanya wanita itu sembari menatap Sabrina. Namun, hanya gelengan kepala yang diberikan sebagai jawaban.
Sabrina tidak ingin mendiskusikan hal ini dengan Kanaya. Jika Kanaya tahu dia memikirkan Luca, suasana akan semakin runyam. Rekannya itu mendukung dia untuk kembali bersama Arya.
Beberapa hari ini, Arya terus saja mengirim pesan padanya. Menanyakan kabar dan hal-hal sepele lainnya, sedang Luca justru menghilang entah ke mana. Lelaki itu tidak pernah menemui atau menghubungi lagi. Padahal, sosok itu yang dia rindukan.
***
"Apakah kau sudah berhenti?" tanya Reina. Luca hanya diam.
Gadis yang sedang sibuk memasak tersebut mematikan kompor dan duduk di samping pria itu.
Sesaat, keduanya hanya diam. Jujur, Reina sempat merasa senang, karena Luca berkata ia akan menjauhi Sabrina, tetapi kini ia justru merasa cemas. Melihat kesedihan di wajah lelaki yang pernah mengisi hati, membuat gadis itu merasa Luca benar-benar mencintai Sabrina.
"Dia sudah memiliki orang lain. Aku tidak punya kesempatan lagi," sahut Luca singkat.
"Aku ingin bertanya sesuatu, tapi kuharap kau tidak marah."
"Apa? Apa ada masalah?"
Reina menggeleng sejenak.
"Apa kau benar-benar mencintai Sabrina?"
Luca mendengus keras, kemudian tertawa.
"Kau ini bicara apa. Itu tidak mungkin. Sejak awal aku hanya memanfaatkan dia untuk kasus itu. Aku hanya kecewa karena rencanaku gagal. Itu saja."
"Benarkah?" tanya Reina dengan nada penuh keraguan.
Luca mengangguk mantap.
"Ya, tentu saja. Aku tidak akan jatuh cinta padanya."
***
Luca tertegun diam menatap bayang diri di cermin. Meski tadi ia telah menegaskan pada Reina bahwa tidak memiliki perasaan apa pun pada Sabrina, tetapi kegalauan dalam hati tidak dapat dihilangkan.
Ponselnya kembali berbunyi. Lagi-lagi dari gadis itu. Apa yang harus dia lakukan? Selama ini, ia berusaha mendiamkan pesan dan telepon yang masuk dari gadis itu. Namun, apakah ini jalan terbaik? Terus menghindar seperti pengecut?
Laki-laki muda tersebut memutuskan untuk menerima telepon itu.
Awalnya, tidak ada suara dari seberang, sebelum akhirnya terdengar suara helaan napas.
"Akhirnya kamu mengangkatnya juga. Kupikir ... kupikir kamu membenciku. A-ku benar-benar senang dan tidak tahu harus berkata apa. Yang pasti aku lega." ujar gadis di seberang dengan suara bergetar.
"Kenapa? Apa aku begitu penting untukmu? Bukankah sudah ada dirinya? Kamu tidak butuh aku lagi."
Sabrina diam sejenak mendengar kata-kata Luca. Dia tidak mengerti apa maksud lelaki itu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Mungkinkah itu yang membuat Luca marah?
"Kamu melihat aku bersama Arya?" tebaknya.
"Benar, aku datang beberapa hari lalu dan melihat dia membawa mawar putih untukmu. Ia menyukaimu bukan?"
"Memang, tapi aku tidak. Jadi kamu cemburu dan salah paham? Aku dan Arya tidak ada hubungan apa-apa. Apa kamu begitu menyukaiku sehingga merasa cemburu?"
Luca termenung sesaat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan dan emosi ini asing baginya. Sebelum bertemu Sabrina, dia tidak pernah merasakan semua itu.
'Reina benar. Aku telah berubah. Aku bukan lagi pembunuh berdarah dingin yang bisa membunuh tanpa belas kasihan. Apa yang harus aku lakukan sekarang?'
"Halo ...," seru Sabrina setelah beberapa saat tidak ada sahutan dari seberang. Namun, justru terdengar nada sambungan telah terputus.
'Aneh, dia kenapa? Apa mungkin dia merasa malu?' seru gadis itu pelan bertanya-tanya. Meski begitu senyum muncul di wajah nan jelita. Perasaan gundah kini berganti lega. Luca juga menaruh hati. Cinta pada lelaki itu tidak bertepuk sebelah tangan.
***
"Kamu kenapa?" tanya Reina saat melihat Luca keluar dari kamar. Sorot matanya terlihat bingung.
"Aku tidak tahu," jawab lelaki itu singkat tanpa menoleh. Ia kemudian duduk di kursi yang ada di meja makan seraya menghela napas panjang.
"Ceritakan padaku! Mungkin aku bisa membantu," sahut Reina sembari menarik kursi kosong dan duduk di samping Luca.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana."
"Kalau begitu, katakan padaku apa yang kaurasakan!"
Luca terdiam sejenak. Ia kemudian menoleh dan menatap Reina. Saat ini, gadis itu kembali menjadi orang yang selama ini merawat penyakitnya.
Cerita itu kemudian mengalir dari mulut Luca. Perasaan-perasaan yang mengganggu, kegelisahan hatinya, semua dia tumpahkan pada gadis muda itu. Reina hanya diam dan mengangguk, memberi isyarat padanya untuk melanjutkan cerita seperti yang sering mereka lakukan.
Reina hanya duduk termangu, setelah apa yang dituturkan Luca selesai. Ia tidak tahu harus senang atau sedih. Pemuda yang dia kenal semenjak kecil itu akhirnya bisa juga merasakan cinta, tetapi di sisi lain, dia juga sedih. Itu artinya harapan untuk Luca menganggap dia lebih dari teman tidak akan terwujud.
'Gadis itu pasti sangat istimewa. Untuk seseorang yang tidak berhati seperti Luca, bisa takluk padanya, itu sangat luar biasa.'
"Menurutmu aku kenapa?" tanya Luca tiba-tiba setelah menunggu Reina terdiam lama.
"Luca, kurasa kau sedang jatuh cinta. Kau benar-benar menyukai dia."
Pria itu terkejut dan bangkit berdiri, lalu menggeleng.
"Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa? Bukankah hal itu tidak ada dalam rencana? Aku hanya berpura-pura saja mendekatinya. Mana mungkin benar-benar jatuh cinta padanya? Lagipula, aku kan ...."
"Kau kenapa? Hatimu itu bukan besi baja, Luca. Meski kau dibesarkan tanpa mengenal cinta, tetap saja hatimu bisa luluh dan menyukai seseorang. Bukankah aku sudah bilang bahwa kau berubah? Itu semua karena kau jatuh cinta, Luca."
Pemuda itu diam sejenak, lalu menggeleng.
"Itu tidak mungkin! Kau pasti salah!" tegasnya sembari bergegas keluar dari rumah.
Reina hanya duduk diam setelah kepergian Luca.
'Tahukah kau? Aku juga berharap aku salah. Aku berharap orang yang kaucintai adalah aku, bukan dia, tetapi aku tahu bahwa hanya dirinya yang berada di hatimu."
***
Luca berjalan tidak tentu arah. Pikirannya terus melayang pada kata-kata Reina. Dia jatuh cinta? Benarkah?
'Kenapa? Bagaimana bisa? Ini tidak mungkin. Pasti ada yang salah. Hal ini seharusnya tidak terjadi,' ucapnya dalam hati. Ia kemudian teringat pada sosok Sabrina. Paras manis dan senyuman lembut di wajah nan ayu seolah menyejukkan hati. Tubuh mungil yang seolah rapuh membuat Luca ingin bisa melindungi dan menjaga dia. Tatapan mata yang selalu berbinar saat menatapnya membuat Luca tidak bisa lupa pada sosok itu.
'Apakah ini yang dinamakan cinta? Jika benar, mungkin memang benar aku telah jatuh cinta. Lalu, apakah yang harus kulakukan sekarang? Apa aku harus mengungkapkan rasa? Ah, kenapa rasanya jantungku menjadi berdebar tidak karuan? Aku benar-benar gugup dan tidak tahu apa yang harus kukatakan saat bertemu.'
Luca kemudian bergegas dan membeli setangkai bunga mawar putih.
'Ya, aku tidak bisa menunggu lagi. Akan kukatakan padanya kalau aku mencintainya.'