Kanaya tidak melepaskan tatapan dari lelaki muda yang duduk dengan santai di depannya.
"Apa maksudmu? Kamu mengancam aku?"
Luca menggeleng. Wajah tampan itu masih tetap tersenyum dan dengan tenang memakan yang terhidang di meja.
Dia lalu meneguk minuman dan mengelap mulut dengan tisu, sedang Kanaya masih terus melihat dengan tidak sabar.
"Kau juga memiliki rahasia. Kehidupanmu tidak sempurna, tetapi kau selalu menyembunyikan dan menipu diri, berkata bahwa semua baik-baik saja. Kau berusaha keras untuk terlihat bahagia, padahal sesungguhnya kehidupanmu menyedihkan. Kau diabaikan oleh mereka yang kau sayangi."
"Si-apa ... siapa kau sebenarnya? Apa kau selama ini memata-matai aku?"
"Apa kau juga memata-matai aku?"
Luca balas bertanya, tetapi dia lalu menggeleng.
"Kurasa tidak. Sama sepertimu yang merasa tahu semua tentang aku dengan menemuiku hanya sekali, aku juga melakukan hal yang sama terhadapmu."
Pria itu kembali tersenyum, sedang Kanaya duduk kembali di kursi untuk menenangkan diri. Tubuh dan tangannya sedikit gemetar. Ia memejamkan mata, lalu kembali membukanya saat mendengar suara Sabrina.
"Kanaya, kamu kenapa?" tanya gadis itu dengan nada cemas.
Wanita berbaju putih itu hanya menggeleng.
"Aku ... aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing," ujarnya setelah beberapa saat.
Sabrina terus menatap seniornya itu dengan sorot mata khawatir, jadi Kanaya memaksakan diri tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa, Sabrina. Aku sudah baik-baik saja sekarang."
"Baguslah," ucap gadis itu sembari tersenyum kecil.
"Aku sempat berpikir kalian tadi bertengkar dan kau tersinggung dengan kata-kata Luca," lanjutnya sembari melirik sekilas ke arah pria di sampingnya itu. Lelaki bertubuh tinggi itu hanya tersenyum.
Kanaya menggeleng.
'Lebih dari itu. Kurasa dia benar-benar orang yang berbahaya. Aku harus mencari cara menjauhkan Sabrina darinya."
***
Luca baru saja tiba di rumah, tetapi Reina yang sudah lama menunggu dengan cemas langsung menghujani dengan sejumlah pertanyaan.
"Bagaimana? Semua berjalan lancar? Detektif wanita itu tidak menaruh curiga padamu ,'kan?"
Pria itu tersenyum sambil mengangguk. Perlahan, diacaknya pelan rambut gadis muda itu.
"Semua baik-baik saja. Hanya saja Sabrina tidak sendiri. Dia bersama rekannya yang lebih senior, dan tidak seperti Sabrina, wanita itu curiga padaku."
"Apa? Lalu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?"
"Tenanglah, aku sudah membereskan dia. Untuk sementara, dia tidak akan mengganggu kita."
"Apa maksudmu?"
Luca diam tidak menjawab. Reina hendak bertanya lagi, tetapi Luca menggeleng sambil tetap tersenyum.
***
Kata-kata Luca kembali terngiang di benak Kanaya.
'Tidak salah lagi. Laki-laki ini memang berbahaya. Dia bisa mengetahui hal yang kusembunyikan dengan begitu jelas, sedangkan Sabrina sendiri bahkan tidak tahu hal itu, padahal dia adalah sahabatku. Apa yang harus kulakukan agar Sabrina mau menurut dan menjauhi Luca? Kelihatannya dia benar-benar terperdaya oleh pria itu.'
Kanaya terkejut saat lampu ruang tamu yang semula padam tiba-tiba menyala. Tadi dia sedang sibuk memikirkan cara agar Sabrina tidak berhubungan lagi dengan Luca.
"Dari mana saja dirimu? Baru pulang selarut ini?" tegur Adrian yang duduk di kursi sembari menatap sang istri.
"Ada kasus yang harus kutangani."
"Benarkah? Lalu apa ini?" ujar lelaki itu sembari menunjukkan foto yang memperlihatkan Kanaya sedang bersama Luca di restoran yang tadi mereka kunjungi.
"Kamu salah paham. Dia itu orang yang kucurigai berhubungan dengan kasus yang kutangani."
"Jadi sekarang kalian tidak menangani penjahat di penjara, tetapi berbicara akrab di rumah makan?"
"Ini semua hanya salah paham. Kamu harus percaya dia itu benar-benar orang yang sedang kuselidiki."
"Aku tahu rumah tangga kita sedang bermasalah, tetapi ini bukan jalan keluar. Apa kau mengerti?"
Bentakan keras tersebut mengejutkan Kanaya. Wanita itu akhirnya memilih mengangguk pasrah.
Sebenarnya, Adrian tidak berniat semarah itu kepada Kanaya. Toh perkawinan mereka memang sudah di ujung tanduk. Namun, Shelly yang lagi-lagi tidak bisa dihubungi, ditambah kiriman foto dari teman-temannya yang kebetulan memergoki Kanaya bersama pria lain membuat emosinya meledak, apalagi kata-kata ejekan dan sindiran juga diselipkan bersama foto tersebut.
Di balik ketakutan melihat amarah sang suami, Kanaya diam-diam merasa senang. Rupanya, Adrian masih memiliki rasa terhadapnya. Ia begitu cemburu dan marah saat melihat Kanaya pergi dengan lelaki lain. Mungkin pernikahan mereka masih ada harapan.
Sedang Adrian berusaha mengingat-ingat lelaki yang dia lihat dalam foto. Dia yakin pernah melihat pria itu sebelumnya.
***
Reina tetap saja mendesak Luca untuk menjauh dari Sabrina.
"Semua itu terlalu beresiko. Rekannya itu pasti tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan mencari berbagai cara untuk memisahkan kalian, termasuk mencari tahu tentang siapa kamu sebenarnya."
"Itu tidak akan terjadi. Sabrina pasti lebih percaya padaku."
"Kenapa?"
"Apa maksudmu?"
"Kenapa kamu tidak menjauh saja dari Sabrina? Masih banyak cara lain untuk bisa mencari tahu pelaku pembunuhan tersebut. Apa mungkin kamu benar-benar menyukai dia?"
Luca tertawa terbahak mendengar itu.
"Kau ini!!! Pikiranmu itu benar-benar ngawur. Kau tahu 'kan aku tidak pernah memiliki perasaan? Semua itu sudah dihilangkan semenjak aku masih kecil dan dilatih untuk membunuh."
"Tetapi kau berubah, Luca. Mungkin kau tidak menyadari, tetapi semakin hari kau makin berubah. Kau bukan lagi pembunuh berdarah dingin yang diciptakan organisasi."
Luca menoleh dan menatap Reina tajam.
"Apa maksudmu?"
"Kau berubah menjadi Luca yang lembut dan penuh perhatian. Ini semua terjadi semenjak kau mengenal Sabrina. Dulu kau tidak pernah seperti ini. Kau bahkan tidak pernah memperhatikan aku, tetapi kemarin kau mengacak rambutku dengan rasa sayang. Kau berubah, Luca."
***
Sabrina hanya diam memeriksa kembali berkas-berkas yang ada di meja. Kanaya segera mengambil laporan-laporan kasus tersebut dari tangan sang rekan.
"Jangan menghindari pembicaraan! Kamu tahu 'kan aku bermaksud baik? Saat aku menyuruh dirimu menjauh dari Luca, itu artinya dia tidak baik untuk kamu."
"Aku tidak mau bertengkar denganmu, Kanaya, tapi kenapa kau harus bersikap seperti ini? Aku benar-benar tidak mengerti kenapa kau begitu tidak menyukai Luca? Apa yang salah darinya? Kurasa dia lelaki yang baik."
Kanaya menggeleng.
"Dia memiliki terlalu banyak rahasia yang tidak diceritakan padamu. Kurasa, dia juga tidak tulus mencintaimu. Mungkin, dia memiliki rencana tersembunyi dengan sengaja mendekati dirimu."
Sabrina menggeleng.
"Aku benar-benar tidak percaya mendengar ini semua darimu. Luca benar ternyata, kau merasa iri padaku. Kau cemburu karena tahu Adrian tidak lagi mencintaimu dan berencana meninggalkanmu."
"Apa maksudmu berkata seperti itu? Tunggu dulu, apa Luca yang mengatakan semua itu padamu? Dan kau mempercayainya? Kau lebih percaya kata-kata orang yang baru kau kenal daripada aku, sahabatmu?"
"Aku tidak bisa percaya lagi padamu," tukas Sabrina cepat sembari bergegas bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.
'Tidak salah lagi. Luca benar-benar sudah mempengaruhi Sabrina dan membuat dia berselisih paham denganku. Apa yang harus aku lakukan sekarang?'
***
Shelly begitu senang saat bertemu lagi dengan Luca di sebuah taman. Dia memang sudah tidak sabar bertemu lagi dengan lelaki yang telah mengisi hatinya tersebut. Yang menjadi masalah adalah dia bahkan tidak tahu di mana pria itu tinggal. Hal itu membuat dirinya gelisah dan nyaris putus asa. Namun, semua itu terobati saat dia melihat Luca sedang duduk sendirian di taman tersebut.
"Hai!" sapa Shelly ramah. "Kamu sendirian? Boleh aku temani?"
"Benar, aku memang sendirian. Namun, aku juga tidak suka diganggu."
"Benarkah? Meski oleh wanita secantik aku?"
Luca mendengus keras. Ia lalu menoleh dan menatap wanita muda yang duduk di sampingnya itu. Shelly segera memasang senyum terbaiknya.
"Kamu tidak terlalu cantik. Sama sekali bukan seleraku," ujar Luca sembari bangkit berdiri.
"Mengganggu saja! Suasana sore yang indah ini menjadi rusak gara-gara kamu."
Pria itu bergegas pergi. Sementara, Shelly semakin kesal. Selama ini, dia begitu mendapatkan lelaki yang diinginkan, tetapi kali ini pria yang membuat ia benar-benar membuat dia tertarik, justru menghina dirinya.
'Lihat saja! Kamu pasti akan tergila-gila dan mengemis cinta padaku."
Tidak berapa lama, wajah berpoles make up tebal itu tersenyum saat Adrian menghubungi.
***
"Ada apa dengan kalian berdua?" tegur Pak Bobi kepada Kanaya dan Sabrina. Kedua anak buahnya tersebut hanya diam tidak menjawab.
"Di saat ada kasus pelik yang belum juga terpecahkan, kalian malah bertengkar."
"Saya tidak ada masalah dengan Sabrina, Pak. Begitu pula dia. Hanya ada sedikit kesalahpahaman di antara kami," jawab Kanaya.
"Kalau begitu segera selesaikan! Kita harus segera menyelesaikan kasus pembunuhan berantai ini. Nama baik kita dan keamanan masyarakat menjadi taruhan, jadi untuk sementara, kalian singkirkan ego masing-masing! Jangan semakin memperburuk masalah!"
Kedua detektif wanita itu mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan atasan.
"Sabrina, aku tidak mau terus bertengkar denganmu. Untuk masalah Luca, aku minta maaf. Mungkin aku yang salah menilai, tetapi aku tetap memintamu waspada. Bagaimanapun, kalian masih baru saling mengenal."
Sabrina mengangguk.
"Aku juga minta maaf. Kata-kataku kemarin pasti telah menyinggung dirimu. Aku tahu kau bermaksud baik padaku. Maafkan aku!"
Kanaya tersenyum.
"Baiklah, karena kita sudah berbaikan, ayo kita lanjutkan penyelidikan kasus kita!" ujarnya sembari menepuk pelan pundak sang rekan.
***
Adrian menemui Shelly di sebuah kafe. Raut wajah cantik itu nampak ceria saat bertemu Adrian, mengurungkan niat lelaki itu untuk bertanya ke mana Shelly selama berhari-hari susah dihubungi.
'Ah, dia pasti punya alasan sendiri. Tidak mungkin dia meninggalkan aku. Dia betul-betul mencintaiku,' seru Adrian dalam hati sembari menatap Shelly yang kini duduk di pangkuan dan bergelung mesra padanya.
'Adrian selalu memperlakukan aku dengan penuh cinta, tetapi kenapa bayangan lelaki itu tidak mau pergi? Apa kali ini aku benar-benar jatuh cinta?' seru Shelly dalam hati bertanya-tanya, sedang ingatannya terus saja melayang pada sosok Luca.
***
Lelaki paruh baya itu terlihat marah. Berulang kali, tangan kanannya tergenggam erat. Seorang pria yang lebih muda berdiri di hadapan dengan kepala menunduk.
Sang pria berambut kelabu yang tadi duduk di kursi tersebut bangkit berdiri sembari menggebrak meja dengan marah.
"Berani betul mereka bermain-main denganku! Mereka juga menyembunyikan pria pengecut itu! Lihat saja kita akan membalas mereka!"
"Lalu kita harus bagaimana? Keberadaan Pak Iwan tetap tidak diketahui."
Lelaki paruh baya itu tersenyum.
"Kita tidak akan kalah. Untuk sementara, tetap lanjutkan rencana seperti semula! Dan untuk Pak Iwan, dia tidak akan bisa lolos! Aku akan membuat rencana, sehingga para polisi bodoh itu sendiri yang menyerahkan dia pada kita."
***
Hari sudah mulai senja ketika Arya datang ke kantor tempat Sabrina bekerja. Pria itu membawa sebuket mawar putih yang indah.
"Apa ini?" tegur Sabrina sembari menatap lelaki itu.
"Sabrina, aku tidak pernah berhenti untuk mencintaimu. Selama ini, jujur aku selalu merindukanmu. Hanya saja, aku tidak punya keberanian untuk bertemu denganmu. Kuharap, kita bisa kembali seperti dulu dan kamu bisa melupakan lelaki itu. Dia tidak cukup baik untukmu," ujar Arya sembari berlutut dan menggenggam erat tangan gadis itu.
"Hentikan semua ini!" ujar Sabrina sembari mengajak pria itu untuk berdiri.
"Semua sudah berakhir di antara kita. Aku sudah melupakanmu dan tidak mungkin kembali padamu. Perasaanku padamu sudah tidak lagi ada."
Arya menggeleng tidak percaya.
"Itu tidak mungkin! Aku tahu pasti kamu masih mencintai aku, kamu hanya marah dan kecewa padaku. Aku tahu itu dan merasa sangat bersalah. Mulai sekarang, aku berjanji tidak akan melarangmu. Apa pun pekerjaanmu, aku akan tetap mendukungmu. Aku tidak mau lagi masalah itu menghalangi cinta kita."
"Maaf, Arya, aku benar-benar tidak bisa."
Pria itu terdiam sejenak. Raut wajahnya berubah sedih.
"Baiklah, aku mengerti, tetapi perasaan cinta yang kumiliki tidak akan berubah. Aku akan tetap menunggumu bisa mencintaiku lagi dan kembali padamu."
Sabrina hendak berbicara lagi, tetapi Arya buru-buru pamit. Gadis itu menghela napas lega setelah lelaki tersebut berlalu. Kedatangan Arya membuat dirinya tidak tenang dan menarik perhatian rekan-rekan kerjanya. Mereka tadi berhenti beraktivitas untuk memperhatikan ulah mantan kekasihnya itu.
"Apa kau mempertimbangkannya?" tegur Kanaya pelan.
"Kelihatan sekali dia masih menaruh hati padamu. Kenapa kau tidak kembali padanya?"
Sabrina menggeleng.
"Aku tidak bisa melakukannya. Perasaan yang dulu begitu dalam sudah hilang tidak berbekas."
"Aku tahu, tetapi kau bisa mengusahakannya. Setidaknya, Arya jauh lebih baik daripada Luca yang memiliki banyak rahasia. Aku mengatakan ini karena aku mencemaskanmu."
Sabrina mengangguk sembari tersenyum kecil.
"Terima kasih, Rekan. Aku tidak marah, kok. Aku tahu kau memikirkan kebaikanku."
Kanaya ikut tersenyum sembari menarik napas lega. Tadi dia khawatir, Sabrina akan marah lagi padanya, tetapi ternyata tidak. Gadis itu bahkan mau mendengar kata-katanya.
***
Perasaan marah menggeledak dalam diri Luca. Langkahnya tergesa dengan napas terburu. Kedua tangan tergenggam erat di sisi tubuh. Hatinya sibuk bertanya kenapa dia merasa seperti ini. Penuh dengan kebencian bercampur kemarahan dan kesedihan.
Senja tadi, dia mampir ke kantor Sabrina. Namun, justru ia melihat seorang lelaki berlutut di depan gadis itu sembari menyerahkan bunga mawar putih.
Setelah melihat lebih lama, dia baru menyadari pernah melihat sosok lelaki muda itu di malam sewaktu ia bersama dengan Sabrina. Rupanya, memang pernah terjalin hubungan antara mereka berdua.
'Ini salahku! Seharusnya aku tidak tinggal diam seperti ini! Sabrina adalah milikku! Dia yang berani merebut apa yang kumiliki harus mati! Benar!!! Lelaki itu harus mati!' serunya dalam hati. Seringai muncul menghias wajah tampan tersebut. Sudah tidak sabar lagi untuk merenggut nyawa.
***
Shelly berjalan mendekat ke arah Luca sembari membawa payung. Titik-titik hujan yang mulai turun di malam itu mengguyur semakin deras. Perempuan berparas ayu tersebut tidak menyangka lelaki yang dilihat berdiri diam di bawah hujan adalah pria yang selama ini dia sukai.
Ia menyentuh pelan pundak lelaki itu. Pria muda itu berbalik dan menatap Shelly lama. Segera wanita memasang senyuman terbaik. Namun, semua berubah menjadi ketakutan tatkala sosok tersebut mendorong dan mencekik lehernya dengan kuat.