Chereads / lover secret / Chapter 7 - Tujuh

Chapter 7 - Tujuh

Bunyi keras tersebut mengejutkan banyak orang. Mereka segera menoleh ke asal suara tersebut. Para petugas medis yang berada di tempat dengan sigap menolong, tetapi sudah terlambat, nyawa orang yang baru saja melemparkan diri dari atas tersebut tidak tertolong.

Sabrina dan petugas lain segera menyusul ke bawah. Mereka benar-benar tidak menyangka peristiwa ini akan berakhir tragis.

Salah seorang perawat mendekat dan berkata dengan suara berbisik,

"Yani, kau ... kau me-lakukan semua ini?"

"Kau mengenalnya?" tanya Sabrina.

Gadis muda bertubuh kurus itu mengangguk.

"Dia juga perawat di sini."

***

Luca hendak mendekat saat peristiwa menghebohkan itu terjadi, tetapi kemudian ia mengurungkan niatnya. Ia harus tetap berhati-hati. Lagipula, Sabrina pasti menuju ke tempat itu. Lelaki muda itu memutuskan untuk segera pergi dari situ.

***

Reina menatap Luca tidak percaya.

"Bunuh diri?" ucapnya ragu.

Kembali, kakaknya itu mengangguk.

Reina terdiam sesaat, seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tidak salah lagi, pasti organisasi yang melakukan. Kak, sebaiknya kau berhenti mencari tahu. Jika tidak, mereka akan mengetahui tentang kita dan kita berada dalam bahaya."

"Tapi, Rei ...."

"Sudah cukup! Kalau kubilang berhenti, kau harus berhenti. Luca, kumohon menurut saja padaku!"

Tatapan Luca berubah tajam.

"Aku bukan bonekamu, Rei! Jangan hanya karena kau menjadi orang terdekatku, kau berhak memerintahku. Kau bukan siapa-siapa aku, Rei."

***

Sabrina melaporkan semua yang terjadi di rumah sakit. Sang atasan hanya termenung diam.

"Kasus ini pasti belum selesai. Perawat itu mungkin hanya orang suruhan. Pembunuh yang kita cari masih berada di luar sana," tukas Kanaya.

"Aku juga merasa seperti itu. Karena itu, aku menyelidiki semua. Menurut beberapa rekan sejawatnya, wanita itu terlihat aneh hari sebelumnya. Ia bahkan sering melamun, tetapi mereka tidak berani bertanya lebih jauh, karena berpikir kalau wanita itu merasa tertekan karena masalah putranya yang sedang sakit," tutur Sabrina.

"Mungkin ada yang mengancam dia dengan nyawa sang putra atau ada yang memberikan sejumlah uang untuk membiayai pengobatan dengab syarat ia melakukan perintah mereka, termasuk juga mengakhiri hidup jika ketahuan," ujar Kanaya.

"Aku akan menyelidiki lebih lanjut."

"Kalau begitu, aku akan membantumu."

***

Adrian baru saja keluar dari rumah Shelly saat ia kembali berpapasan dengan Luca.

"Lelaki kurang ajar ini! Awas saja jika dia berani macam-macam!" serunya pelan sambil berlalu.

Lain halnya dengan Shelly yang justru tertarik pada sosok Luca.

'Muda dan tampan. Aku harus mencari tahu siapa dia,' tekad gadis muda itu.

***

Reina masih diam terpaku, setelah Luca pergi. Pria itu memang bukan kakak kandungnya, tetapi semenjak kecil, ia selalu menganggap Luca adalah kakaknya. Kakak kandungnya sendiri sudah tewas dalam musibah yang merenggut nyawa seluruh keluarga mereka, yang disebabkan oleh orang-orang tidak bertanggung-jawab dan kini sedang menjadi sasaran pembunuhan.

'Mungkin aku yang salah. Selalu mengatur Luca, memperlakukan dia bukan sebagai kakak, tetapi seperti anak kecil. Namun, itu semua kulakukan karena aku cemas. Aku ingin melindungi dia. Jangan sampai orang-orang kembali menangkapnya, tetapi ini justru membuat semua Luca menjadi salah paham.'

***

Sabrina dan Kanaya mendapat keterangan bahwa Yani memang menerima sejumlah uang dari seseorang, tetapi identitas si pemberi uang tidak ada yang tahu. Uang itu tentu digunakan untuk pengobatan sang putra.

Kehidupan wanita itu memang menyedihkan. Sang suami pergi entah ke mana. Rumah bercat kayu yang disewa juga nampak bobrok dan tidak terawat. Saat pergi ke rumah sakit untuk menjenguk putra wanita tersebut, bocah lelaki bertubuh kurus tersebut nampak ceria. Senyum selalu muncul menghias wajah pucat nan tirus tersebut.

Sabrina tidak bisa lagi menahan air mata saat pergi dari tempat itu. Anak lelaki itu belum tahu apa yang terjadi pada sang ibu dan apa yang beliau lakukan demi mengobati penyakitnya. Jalan yang ditempuh Yani mungkin memang salah, tetapi sebagai seorang ibu, ia telah berkorban begitu besar untuk sang putra.

***

Di tempat lain, seorang pria terlihat begitu marah. Ia membanting barang-barang yang berada dalam jangkauan. Seorang lelaki yang lebih muda nampak berlutut di lantai.

"Gagal lagi! Gagal lagi! Kenapa begitu sulit membunuh tua bangka itu? Harusnya ia menyerah dan pergi ke neraka, bukannya tetap bertahan hidup," teriaknya penuh kemarahan.

"Maafkan saya! Ini sepenuhnya kesalahan saya. Lain kali, tidak akan ada lagi kegagalan," jawab pria yang berlutut tersebut.

Lelaki yang marah itu menggeleng.

"Tidak, tidak, lebih baik jalankan rencana selanjutnya!"

***

Shelly berjalan perlahan mendekati Luca. Pemuda itu benar-benar tampan. Sungguh membuat dia tergoda. Mata hitam tajam bernaung alis tebal dipadu rahang berbentuk persegi membuat gadis itu tidak bosan menatap.

Luca yang sedang kesal dengan Reina tidak menyadari dirinya ada yang tengah memperhatikan dirinya.

"Hai," sapa Shelly hangat. Tanpa canggung, ia menyentuh dan membelai lembut tangan pemuda yang tidak dikenalnya tersebut. Dia sudah biasa melakukan, para pria itu tidak pernah marah, mereka justru merasa senang mendapat perlakuan istimewa dari gadis secantik dirinya.

"Murahan!!!" desis Luca sembari meletakkan gelas kopi yang baru separuh diminum sembari bergegas bangkit berdiri dan segera pergi.

Shelly hanya diam dan menatap marah.

'Lihat saja nanti, kamu juga akan menjadi milikku. Kamu bahkan akan tergila-gila dan mengemis cinta dariku,' bisiknya sambil tersenyum sombong.

***

Adrian merasa kesal dan marah.

'Ke mana perginya Shelly? Kenapa gadis itu mendadak susah dihubungi dan tidak menjawab telepon?' keluhnya.

Tidak lama ponsel berdering. Wajah Adrian yang semula sumringah berubah kesal saat tahu telepon itu dari Kanaya. Istrinya itu mengatakan dia akan pulang ke rumah malam ini, meski mungkin agak larut.

"Kalau memang terlalu malam, sebaiknya menginap saja di kantor," ucap pria itu.

"Tidak, aku akan pulang. Aku sudah merindukan kau dan Kayla."

"Tumben, biasanya kau tidak pernah kangen kami. Bukankah hanya pekerjaan yang kaucintai? Begitu inginnya mendapat pujian dari banyak orang sebagai detektif hebat, sampai mengorbankan aku dan Kayla."

Kanaya hanya diam menanggapi ucapan Adrian. Bukan pertama kali pria itu mengatakan hal tersebut, jika didebat oleh Kanaya, mereka hanya akan berakhir ribut. Wanita itu tidak mau hal tersebut terjadi, apalagi jika mereka harus berselisih paham lewat telepon dan didengar banyak orang.

Melihat rekannya hanya diam termangu, Sabrina segera menghampiri.

"Ada apa?" tanyanya pelan.

Kanaya hanya tersenyum lemah sembari menggeleng.

"Baiklah, Sayang, sampai jumpa nanti malam," ujarnya pada Adrian yang masih di seberang, kemudian segera menutup telepon.

"Adrian. Dia benar-benar merindukan aku. Tadi dia sempat merayu lewat telepon. Aku sampai tidak tahu harus menjawab apa. Dia benar-benar suami yang baik," ucap Kanaya sembari menghapus air mata.

"Lihat, aku sampai terharu," lanjutnya sambil tertawa.

Sabrina hanya diam menatap. Dia merasa Kanaya sedang berbohong. Hubungannya dengan Adrian pasti sedang tidak baik-baik saja. Namun, ia tidak ingin mendesak Kanaya dan terlalu ikut campur.

'Mereka saling mencintai. Apa pun masalah, pasti bisa diatasi asal ada cinta di dalamnya,' ucap Sabrina dalam hati.

***

Adrian merasa kesal dengan Shelly yang tidak bisa juga dihubungi. Kanaya berulang kali menoleh menatap sang suami yang raut wajahnya terlihat masam.

'Pasti terjadi sesuatu. Di telepon tadi dia juga terdengar kesal. Kali ini ada apa lagi?'

Sebagai seorang istri juga detektif yang memiliki naluri tajam tentu dia tahu ada sesuatu yang membuat Adrian marah. Meski begitu, ia berusaha menolak pemikiran bahwa pria yang sangat dicintai memiliki wanita lain.

'Tidak! Itu tidak mungkin. Adrian sangat mencintaiku dan Kayla. Dia pasti setia.'

Meski begitu pemikiran tentang Adrian memiliki kekasih di luar sana, tetap saja mengusik pikiran dan tidak mau pergi.

***

Sabrina berkemas setelah merapikan berkas. Kasus itu belum juga menemui titik terang, padahal dia dan Kanaya sudah lembur berhari-hari. Tadi, sang atasan menyuruh mereka pulang. Tidak perlu melembur lagi, apalagi Kanaya yang sudah berhari tidak bertemu keluarga.

"Mungkin besok kita akan menemukan titik terang setelah beristirahat. Kita semua sudah terlalu lelah," tutur lelaki paruh baya itu.

Meski tidak yakin akan menemukan sesuatu yang baru, tetapi Kanaya dan Sabrina menurut, tetapi tetap saja mereka pulang larut karena harus membereskan berkas.

Tadi Kanaya pulang lebih dulu, Sabrina merasa dugaannya tepat sedang ada masalah dengan keluarga rekannya itu. Walau demikian, ia tidak bisa terlalu ikut campur.

Gadis itu merenggangkan tubuh sembari menguap lebar.

"Kau pasti lelah," tukas sebuah suara mengejutkan Sabrina. Ia segera memasang sikap waspada, tetapi kemudian tertawa kecil saat melihat Luca berdiri di hadapannya.

"Kau? Sedang apa di sini?"

"Menunggumu. Apa lagi?"

Jawaban ringan lelaki muda itu membuat Sabrina menggeleng.

"Sejak kapan kau berada di sini? Pasti sudah sangat lama. Kenapa tidak mengabari?"

Luca menggeleng sembari mengambil kunci mobil di tangan Sabrina.

"Penantian ini tidak sia-sia, karena kau layak untuk ditunggu. Masuklah! Kali ini biar aku yang menyetir! Kau pasti lelah."

Sabrina hendak membantah, tetapi melihat ketegasan di wajah Luca akhirnya dia mengalah. Seulas senyum muncul di bibir mungilnya, sudah lama dia tidak diperlakukan istimewa oleh seorang pria.

Perjalanan mereka berlangsung mulus. Luca mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Sesekali Sabrina menoleh dan tersenyum. Matanya terasa lelah dan mengantuk, tetapi dia tidak ingin tertidur.

"Ayo!" tukas Luca tiba-tiba sembari menghentikan mobil, membuat mata Sabrina yang setengah terpejam sontak terbuka lebar.

'Di mana mereka?'

Luca bergegas keluar, tetapi tidak berapa lama dia kembali. Membawa sepiring nasi goreng dan segelas kopi.

"Makanlah! Kau pasti belum makan dan kopi ini untukmu, agar kembali segar," ucapnya dengan nada datar. Lagi-lagi Sabrina tersenyum.

"Terima kasih," ucapnya sambil menatap lelaki itu. Luca hanya mengangguk sekilas.

Sabrina menikmati makanan sambil sesekali menatap Luca yang duduk di samping. Tidak ada yang mereka bicarakan.

'Kelihatannya dia juga pria yang pendiam. Tidak seperti Arya.'

Bayangan mantan kekasih yang mendadak melintas segera ditepis. Dia sudah bertekad untuk melupakan pria yang pernah hadir mengisi hati tersebut.

"Luca," panggilnya memecah keheningan. "Siapa kau sebenarnya?"

***

Luca menatap tajam gadis di sampingnya. Apa ini? Begitu cepat dia sudah ketahuan. Apa semua akan sia-sia dan dia gagal memperdaya gadis itu?

Sabrina tersenyum kecil.

"Aku minta maaf, tetapi kau jangan tersinggung. Aku benar-benar ingin mengenalmu. Aku ingin tahu segala tentangmu. Malam itu, kau datang menolongku dan mengalahkan para preman itu seorang diri. Mereka sampai terluka parah. Dan Kanaya, rekanku di kantorku cemas, berpikir kalau kau orang jahat, tetapi kau bukan orang jahat, 'kan?" tanyanya sembari menatap Luca.

"Apa kau percaya padaku?"

Sabrina mengangguk.

"Apa pun yang kaukatakan, aku akan percaya."

"Aku bukan orang jahat dan tidak pernah terbersit di benakku untuk melukaimu. Aku menyukaimu, Sabrina."

Wajah gadis itu merona, lalu mengangguk. Seulas muncul kembali muncul di wajah Luca.

'Kau begitu polos, padahal dirimu seorang detektif, tetapi kata-kata sederhana seperti itu, ternyata bisa membuatmu percaya padaku.'

***

Sebuah mobil mewah melintas, kemudian berhenti tidak jauh dari tempat Luca dan Sabrina berhenti.

Sabrina terkejut bukan main saat pintu mobil tiba-tiba dibuka dari luar dan dia bertemu muka dengan Arya.

"Arya? Kau? Sedang apa kau?" ucapnya kebingungan.

Arya tidak menjawab. Lelaki muda bertubuh tanggung tersebut justru langsung menarik tangannya keluar dari mobil.

"Arya!!! Kau ini apa-apaan? Lepaskan aku!!! Lepaskan!!! Kau membuat tanganku sakit!" seru Sabrina keras.

"Kau yang apa-apaan!!! Sedang apa kau di tengah malam bersama seorang pria?"

"Itu bukan urusanmu! Kita sudah lama putus. Aku bukan kekasihmu lagi! Apa kau sudah lupa itu? Dengan siapa aku pergi dan apa yang kulakukan, itu bukan urusanmu lagi. Sekarang, lepaskan aku!!!" ucapnya sembari menghentak kasar tangan lelaki itu.

"Aku melakukan ini karena aku masih peduli padamu! Aku yakin dia bukan pria yang baik! Aku tidak mau kau menjalin hubungan dengan orang yang salah!" ucap Arya sembari menuding ke arah Luca yang hanya diam menyaksikan semua itu.

"Itu bukan urusanmu!!!" tegas Sabrina sekali lagi sembari bergegas masuk ke dalam mobil. Dia lalu menoleh kepada Luca.

"Bawa aku pergi dari sini!!!"

***

Keesokan pagi, Kanaya menatap heran pada Sabrina. Rekannya yang masih belia itu terlihat kusut. Sepertinya, semalam dia tidak tidur.

Wanita itu berdecak pelan sembari menggeleng. Seharusnya dia yang tertekan karena memikirkan masalah rumah tangga dengan Adrian. Sikap suaminya yang dingin semalam benar-benar mengganggu, tetapi ia tidak bisa diam berpangku tangan melihat Sabrina yang nampak lebih frustasi dibanding dirinya.

"Kau kenapa?" tegurnya pelan.

"Pak Bobi pasti marah jika melihatmu tidak bersemangat seperti ini."

Pak Bobi adalah nama atasan mereka.

Sabrina menghela napas panjang. Ia kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi semalam. Tentang Luca yang datang menjemput dan perjumpaan dengan Arya.

Kanaya manggut-manggut sesaat, sebelum memberikan pendapat.

"Tetapi menurut aku, Arya ada benarnya. Kau dan Luca berduaan di malam buta. Bagaimana kalau dia berniat jahat padamu?"

Sabrina menggeleng.

"Tidak! Aku yakin Luca pria yang baik. Lagipula, aku bukan anak kecil. Aku seorang detektif yang bisa menjaga diriku sendiri."

"Lalu bagaimana dengan pengeroyokan itu? Apa Luca memberitahumu siapa dia sebenarnya dan bagaimana dia bisa mengalahkan semua preman itu dengan tangan kosong?"

Sabrina termenung sesaat, ia ingat Luca sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya meyakinkan Sabrina kalau dirinya tidak bermaksud jahat.

"Dia tidak memberitahuku, meski begitu aku yakin dia tidak jahat. Luca lelaki yang baik."

Penegasan kata-kata Sabrina tersebut membuat Kanaya hanya bisa menggelengkan kepala. Mungkin dia salah, tetapi dirinya tidak bisa berhenti mencurigai semua orang. Saat ini, dia bahkan tidak bisa percaya pada Adrian, suaminya sendiri.