Chereads / lover secret / Chapter 5 - lima

Chapter 5 - lima

Suara desahan bercampur cumbuan mesra terdengar jelas dari kamar hotel tersebut. Setiap kecupan dari bibir mungil Shelly, terasa seperti anggur yang memabukkan yang membuai Adrian dan membuatnya lupa diri.

Padahal tadi dia bertemu untuk memutuskan hubungan dengan wanita yang selalu berpenampilan sensual tersebut. Namun, Shelly malah memohon agar mereka tidak berpisah. Air mata gadis itu membuat lemah Adrian. Saat dirinya setuju untuk tetap berhubungan, wajah cantik yang semula sedih berubah bahagia. Tidak butuh waktu lama untuk keduanya merajut kasih dan berlanjut di kamar hotel.

Sentuhan lembut gadis itu membuat Adrian lupa pada janji yang dia buat pada Kanaya.

***

Kanaya memacu kendaraan menuju kantor. Senyum bahagia di paras nan jelita. Dirinya yakin Adrian akan menepati janji demi keutuhan keluarga mereka dan demi Kayla. Rasa cinta pada lelaki itu memang tidak pernah berkurang hingga saat ini dan dia yakin Adrian juga merasakan hal yang sama.

Dering ponsel membuat wanita itu menghentikan mobil sejenak di tepi jalan.

"Apa? Rumah sakit?" serunya terkejut. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera berputar arah menuju ke tempat Sabrina dirawat.

***

Sabrina duduk terpekur. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Bagaimana bisa sampai ke rumah sakit? Juga kenapa para preman yang mengeroyok tidak membunuhnya? Menurut seorang perawat, seorang pria muda membawa dia pergi.

"Kelihatannya dia juga terluka, tetapi ia bilang itu bukan darahnya, setelah itu, pergi begitu saja dan belum juga kembali sampai sekarang."

Perawat muda tersebut mengakhiri cerita, membuat Sabrina makin penasaran tentang identitas sang penolong.

Pintu kamar terbuka dan Kanaya bergegas masuk. Raut cemas terlihat jelas di wajah wanita itu.

"Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?" sergahnya panik sembari menatap lekat gadis muda yang duduk bersandar di tempat tidur tersebut.

Sabrina mengangguk.

"Aku baik-baik saja. Untung ada orang yang menolong. Kalau tidak, mungkin tidak akan selamat."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu. Dia pergi sebelum aku bangun dan belum juga kembali. Padahal, aku harus segera kembali ke kantor. Tidak akan kulepaskan orang-orang yang melakukan ini padaku!"

Kanaya tertawa mendengar kata-kata Sabrina. Begitulah rekan juniornya itu selalu mudah terpancing emosi. Jika ada yang mencari masalah, gadis muda itu pasti akan menuntut balas.

"Sudahlah, kali ini biar aku yang mencari orang-orang itu. Kau diam saja dan pastikan dirimu baik-baik saja!"

"Mana bisa? Orang-orang itu sudah membuatku seperti ini. Aku tidak akan tenang sebelum membuat mereka menyesal sudah berani melukaiku!"

***

Luca membuka mata dan tertegun mendapati diri berada di tempat tidur.

'Reina pasti melakukan sesuatu padaku,' gerutunya sembari bergegas turun dan keluar dari kamar.

"Kau sudah bangun? Ini makan dulu!" seru Reina sembari menata makanan di atas meja.

"Aku tidak suka pada apa yang kaulakukan. Reina, kau tidak perlu melakukan semua ini."

"Kalau aku tidak menghentikanmu, kau pasti akan kembali membuat masalah. Aku saja masih tidak tahu apa yang kaulakukan semalam. Pulang dalam kondisi seperti itu."

Luca menggeleng.

"Aku harus pergi sekarang untuk mencaritahu kondisi orang itu."

Reina menggeleng tegas.

Luca menghela napas panjang. Mencoba bersabar pada sikap sang adik yang kadang terlalu paranoid.

"Orang yang kutolong berada di rumah sakit. Setidaknya, aku harus melihat dia dan tahu kalau dia baik-baik saja."

"Dia pasti baik-baik saja. Keluarganya pasti sudah mengurus dia. Orang itu bukan lagi tanggung jawabmu."

Luca bangkit berdiri. Makanan masih tersisa di piring.

"Aku pergi sekarang! Terserah kau mau mengatakan apa! Tapi jangan coba-coba menghalangiku lagi atau kau akan menanggung akibatnya! Kau pasti tahu apa yang akan terjadi jika sampai aku marah!"

Ancaman tersebut tidak ayal membuat Reina ketakutan. Luca adalah orang yang baik, tapi dia juga tidak segan berbuat kejam, jika ada yang mengganggu rencana. Semacam iblis yang tersembunyi di balik wajah tampan dan senyuman polos.

***

Sabrina sudah berkemas. Dia tidak mau bertahan lebih lama di rumah sakit.

"Kamu itu belum sembuh benar," ujar Kanaya sambil menuding lengan gadis itu yang masih dibalut perban. Luka tersebut disebabkan karena dirinya terjatuh, sehingga tergores aspal.

Sabrina menggeleng.

"Luka kecil begini tidak akan berpengaruh padaku. Ayo kita pergi sekarang!"

Kanaya menghela napas panjang dan mengangguk. Rekannya itu sedang sangat marah sekarang, tidak sabar untuk membalas orang-orang yang mengeroyok.

***

Luca datang ke rumah sakit dan mendapati Sabrina sudah pergi.

'Dasar ini semua gara-gara Reina!' gerutu pria itu marah. Dia lalu bergegas pulang.

"Jadi gadis detektif itu yang kau tolong? Bukankah kau juga tahu akibat jika dia tahu semua tentang kita?" tukas Reina.

Luca hanya diam.

"Yah, tentu kau tahu, karena itu kau menghindar darinya sewaktu di minimarket, tetapi sekarang tiba-tiba kau berubah pikiran dan ingin bertemu dengannya," lanjut gadis muda itu lagi sembari bersidekap dan menatap tajam.

"Kenapa? Apa karena dia cantik jadi kau merasa tertarik?"

Luca menghela napas panjang, kemudian balas menatap sang adik.

"Kau tidak mengerti. Aku hanya ingin memanfaatkan dia untuk mencari tahu tentang kasus yang sedang ditangani. Aku ingin tahu siapa orang yang juga memiliki dendam seperti kita."

"Caramu itu terlalu beresiko. Jika gadis detektif itu menaruh curiga, maka ...."

"Tidak akan terjadi apa-apa. Aku akan bertindak hati-hati, sehingga dia tidak tahu apa pun tentang rahasia kita," potong Luca cepat.

Reina terdiam sesaat, kemudian akhirnya mengangguk setuju.

"Baiklah, tetapi ingat untuk selalu berhati-hati. Dan jangan sampai kau benar-benar jatuh cinta padanya."

Pria itu hanya mengangguk setuju.

***

Kanaya mengajak Sabrina untuk menangkap orang-orang yang malam itu telah mengeroyok dirinya. Gadis muda itu tersenyum. Rekannya yang lebih senior tersebut benar-benar bisa diandalkan dan bisa menepati janji. Tidak butuh waktu lama bagi Kanaya untuk menangkap para preman tersebut.

Wanita itu juga sengaja mengajak Sabrina agar gadis muda itu bisa ikut menangkap para penjahat yang telah membuat dia terluka. Tentu saja Sabrina tidak menolak. Ia ingin membalas mereka, tetapi niat itu diurungkan. Para penjahat bertampang sangar tersebut berlutut memohon ampun. Sabrina menjadi tidak tega, apalagi melihat mereka juga mengalami luka-luka dan babak-belur sama sepertinya.

"Kekasihmu itu benar-benar gila. Dia ingin membunuh kami," ucap salah seorang dari mereka.

Sabrina mengerutkan kening. Orang-orang bertubuh besar itu mengira orang yang menolong adalah kekasihnya. Akan tetapi, rasa penasaran juga makin membesar.

'Siapa sebenarnya orang itu? Dia bisa mengalahkan para preman tersebut dan membuat mereka kewalahan, juga ketakutan. Sudah pasti dia bukan orang sembarangan. Aku harus bisa menemukan dia.'

Kanaya yang berdiri di samping Sabrina tersenyum.

"Tenang saja, kita akan menemukan pahlawan jagoanmu itu," ucapnya seolah membaca pikiran gadis itu. Sabrina hanya tersenyum kecil menanggapi ocehan rekan seniornya tersebut.

***

Kedua detektif tersebut kembali datang ke rumah sakit dan memeriksa CCTV. Sayang, rekaman di kamera pemantau itu tidak terlalu jelas. Gambar yang kabur membuat Sabrina kesulitan mengenali sosok yang menolongnya. Namun, entah mengapa ia merasa sosok itu familiar dan mereka pernah bertemu sebelum peristiwa pengeroyokan itu.

Kanaya kemudian mengajak Sabrina kembali ke kantor. Ada telepon dari tempat mereka bekerja tersebut yang meminta mereka segera kembali, karena seseorang ingin bertemu dengan mereka.

***

Tatapan mata lelaki tua itu terlihat panik dan ketakutan. Tangan kanan beliau gemetar menggenggam erat tongkat, seolah itu adalah harapan hidup satu-satunya. Rambut beruban tipis nampak basah karena peluh tidak kunjung berhenti keluar. Sesekali ia melihat sekeliling, seolah takut ada orang yang mengawasi.

Pintu terbuka lebar. Kanaya dan Sabrina bergegas masuk. Tatapan penuh tanya tersebut beralih dari tamu lelaki uzur yang tidak mereka kenal kepada atasan kantor detektif tersebut yang duduk di hadapan sang tamu.

"Mereka adalah detektif yang menangani kasus pembunuhan sejawat anda. Kanaya, Sabrina, beliau adalah Pak Iwan, teman-teman beliau, Pak Jaya, Pak Harjo, serta Pak Santoso seperti kita ketahui telah menjadi korban pembunuhan berantai. Kemarin, beliau juga menerima ini."

Lelaki paruh baya yang sudah bertahun-tahun menjadi kepala kantor detektif tersebut memberikan selembar kertas kepada Kanaya dan Sabrina. Tulisan 'MATI!!!' tertera di dalamnya. Berwarna merah kecoklatan. Sabrina dan Kanaya saling bertatapan sesaat. Surat itu sama persis dengan yang diterima ketiga korban sebelumnya.

"Ini semua karena kalian belum menangkap pembunuh itu. Sekarang ... sekarang nyawaku jadi terancam," ucap Pak Iwan marah. Tangan beliau semakin erat menggenggam tongkat.

"Pak, kami ...."

Lelaki tua tersebut mengangkat tangannya menghentikan ucapan Kanaya.

"Aku tidak mau mendengar alasan lagi. Selama pembunuh itu belum tertangkap, aku akan tinggal di sini," tegasnya.

"Tapi ...."

"Atasan kalian juga sudah setuju. Ini semua karena ketidakbecusan kalian."

Pak Iwan kemudian bangkit berdiri. Seorang pengawal beliau segera membantu dan mengantar keluar.

"Pak, mana bisa begitu?" protes Kanaya pada atasannya.

"Tidak mungkin buat dia untuk tinggal di sini."

Pimpinan mereka menghela napas panjang.

"Tidak ada pilihan lain. Nyawa beliau sedang terancam."

"Tetapi tempat kita ini kantor detektif, bukan tempat perlindungan orang, kita juga tidak punya tenaga untuk itu," ujar Sabrina. Dia juga tidak setuju dan tidak suka pria tua cerewet tersebut berdiam di tempat mereka.

"Kalian tenang saja. Masalah itu aku yang akan mengurus. Kalian fokus untuk menangkap si pembunuh secepatnya."

***

Pak Iwan ditempatkan di ruang samping yang telah ditata dan dibersihkan. Meski begitu, beliau banyak mengeluh. Kehidupan enak yang selama ini dia jalani tentu tidak bisa dirasakan di tempat yang menurutnya sumpek dan sempit itu.

"Makanan macam apa ini?" seru lelaki itu sembari melempar nasi bungkus yang diberikan ke lantai.

"Aku ini bukan narapidana! Aku tamu di tempat ini. Seharusnya kalian memperlakukan aku dengan hormat, bukan seperti ini," teriaknya marah.

Sabrina menggeleng kesal. Lelaki tua itu benar-benar tidak tahu terima kasih, malah terus mengeluh dan bersungut-sungut dari tadi. Jika memang dia tidak senang di sini, bukankah seharusnya mencari tempat lain?

Gadis itu hendak menghampiri dan meluapkan amarah, tetapi Kanaya menggeleng mencegah.

"Biarkan saja dia! Ada hal lain yang lebih penting yang harus kita urus."

***

Adrian menerima pesan dari Kanaya bahwa malam ini dia tidak bisa pulang. Urusan pekerjaan harus diselesaikan. Meski sempat kesal, tetapi perasaan Adrian berubah senang saat Shelly menghubungi dirinya. Gadis muda nan jelita tengah menunggu di rumah. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu segera bersiap.

"Bi, kalau ada yang tanya, bilang saya sedang tugas ke luar kota," pesannya pada sang pembantu.

"Tolong jaga Kayla baik-baik!"

Wanita paruh baya itu hanya mengangguk. Menutup pintu setelah kepergian sang majikan dan menuju kamar Kayla. Nona mudanya itu tengah terlelap.

'Kasihan dia, di usia masih begitu muda, kedua orang tuanya malah tidak pernah bersama menemani bermain,' tukasnya dalam hati.

***

Luca sedang berjalan pelan sehabis membeli makanan di warung. Matanya tanpa sengaja menangkap dua sosok yang tengah bercumbu mesra di halaman rumah. Ia hanya mendengus, lalu menggeleng.

'Lagi-lagi mereka berdua!' keluhnya sembari bergegas.

Merasa ada yang melihat, Adrian segera mengajak Shelly ke dalam rumah. Ia menatap sekeliling dan melihat sosok Luca yang sedang berlelu pergi dengan langkah terburu.

'Dia!!! Apa dia sedang memata-matai kami? Awas saja kalau sampai dia mengadu pada Kanaya!' ucapnya pelan.

***

Sabrina sedang memeriksa berkas kasus pembunuhan berantai yang terjadi. Juga tulisan ancaman yang diterima para korban. Di sampingnya, Kanaya juga melakukan hal yang sama.

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dan suasana berubah gaduh.

"Apa yang terjadi?" tanya Sabrina pada salah seorang anak buahnya yang sedang melintas.

"Pak Iwan tidak sadarkan diri. Wajahnya membiru dengan mulut yang berbusa. Kata pengawalnya, dia tadi sempat kejang-kejang sebelum tidak sadar."

Kanaya dan Sabrina terperanjat. Mereka bergegas ke ruangan tersebut dan melihat para petugas medis sedang menandu Pak Iwan menuju ambulans yang baru saja tiba.

"Ayo kita menyusul ke rumah sakit! Kita harus menemukan penyebab Pak Iwan menjadi seperti itu," tukas Kanaya cepat diiringi anggukan Sabrina.

***

"Racun?" seru Kanaya tidak bisa menutupi keterkejutannya. Sang dokter, lelaki paruh baya berjas putih tersebut mengangguk pasti.

"Untunglah belum terlalu fatal, sehingga nyawanya masih bisa tertolong," terang beliau lagi.

"Tetapi, mana mungkin? Siapa yang begitu berani ...?"

"Racun tersebut bukan diberikan di hari dia ditemukan, tetapi sudah berhari-hari sebelumnya. Dosisnya sedikit-sedikit, tetapi diberikan secara terus-menerus. Kadarnya juga terus ditambah. Sehingga, awalnya tidak terlalu dipedulikan karena gejala awal tidak terlalu terlihat. Sewaktu di tempat kalian, racun tersebut sudah terakumulasi dalam jumlah banyak dan kondisi yang membuat beliau tertekan, sehingga racun itu langsung aktif."

Penuturan panjang sang dokter membuat dua detektif wanita tersebut termenung sejenak. Itu artinya hal ini sudah lama direncanakan, bahkan sebelum pria itu melapor pada mereka dan meminta perlindungan, kematian beliau sudah dipastikan.

***

Sabrina menuju rumah Pak Iwan. Dia hendak mencari tahu tentang orang-orang yang memberi asupan obat dan makanan kepada lelaki tua itu.

"Saya hanya membuat dan menyajikan makanan seperti biasa," ujar sang juru masak.

Tidak ada yang aneh dengan para pekerja yang lain. Mereka sudah bekerja berpuluh tahun dengan Pak Iwan. Seandainya memiliki kebencian atau dendam, mereka pasti sudah menghabisi dia sejak lama. Mereka juga tidak memiliki motif untuk melakukan itu, karena seluruh hidup keluarga mereka juga dibiayai oleh Pak Iwan. Tidak ada pekerja baru di kediaman tersebut.

Itu artinya hanya tersisa satu, yaitu obat yang diminum oleh pria tua itu. Sabrina segera menuju ke tempat biasa Pak Iwan membeli obat.