Chereads / Bedbrother / Chapter 13 - Pacar

Chapter 13 - Pacar

Bang Dika baru saja selesai memakai sepatunya, dan sekarang sedang berlutut di hadapanku, membantu aku memakai sepatu. Sebenarnya, aku sudah menolaknya (meski hanya setengah hati), tetapi Bang Dika terus memaksaku. Ya, sudah. Siapa, sih, perempuan yang tidak jatuh cinta jika terus menerus diperlakukan semanis ini? Meskipun dia kakak sepupuku, tapi tetap saja. Aku juga seorang gadis, dan aku masih normal, yang lama-lama pasti akan terbawa perasaan dan luluh dengan segala yang Bang Dika perbuat untukku selama ini.

"Kita pergi jalan-jalan aja, ya? Terserah lo mau ngajak ke mana. Nanti gue beliin barang apapun yang lo mau, deh. Semahal dan se-nggak berguna apa pun barang itu. Sumpah! Gue janji." Bang Dika masih berusaha menghindari datang ke acara ini. Sebenarnya dia kenapa, sih?

Aku menyentuh tangannya, kemudian meremasnya lembut. "Nggak boleh gitu, Bang. Zico, kan, keponakan kita. Kalo kita nggak dateng, kasihan dia lah. Anggep aja ini demi Ibu sama Zico. Ibu juga udah kangen sama Abang, lho. Ibu sering nanyain kapan Abang mau dateng. Kita pergi, ya?" bujukku. Aku berjinjit, menangkup kedua sisi wajahnya, kemudian memberikan kecupan singkat di bibirnya. Terkadang, Bang Dika masih sering bertindak seperti anak kecil yang suka merajuk, dan aku harus berusaha memutar otak untuk mencari cara untuk membujuknya.

Aku menghela napas panjang, dengan enggan dan amat sangat terpaksa, mengeluarkan senjata terakhirku. "Nanti Naa kasih jatah, deh. Sepuas yang Abang mau. Gimana? Kita berangkat, ya?"

Mata Bang Dika langsung melebar dan berbinar. Wajahnya langsung berubah cerah. "Beneran, ya? Sepuasnya?" sahutnya secepat kilat.

"Iya," sahutku. Aku berusaha keras untuk tidak mendengus dan memutar bola mataku. Sungguh, dia sangat menyebalkan saat sedang bertingkah seperti anak kecil dan merajuk seperti sekarang. Tapi, mana ada anak kecil yang hobinya having fun?

"Tapi mukanya jangan ditekuk gitu, Bang. Kayak rok kebanyakan wiron, tau nggak? Senyum, dong, Abang sayang. Biar keliatan gantengnya," kataku sembari memanyunkan bibir.

Bang Dika tersenyum. Bukannya membuat dia terlihat menyenangkan dan enak dipandang, justru senyuman yang sangat terpaksa itu membuat dia sangat menyeramkan.

"Udah, Bang. Kalau nggak bisa, nggak usah dipaksain. Entar yang ada anak-anak kecil yang dateng pada sawan liat senyuman Abang. Hii ... serem," kataku sembari memasang ekspresi ngeri.

"Serem-serem gini juga genjotannya selalu bikin lo ketagihan," ejeknya, dan dengan lancang meremas bokongku.

"Abaaang ...!" pekikku.

***

Benar saja. Tak lama setelah kami tiba di rumah, acara sudah selesai. Aku dan Mbak Lana mengenakan gaun dengan model dan warna senada. Begitu juga dengan Bang Dika, Bang Nico, dan Zico yang sama-sama memakai kemeja, dengan bagian lengannya digulung sampai siku. Bang Dika hanya mengerjap sembari memasang ekspresi polos tak berdosa ketika aku memelototinya. Sekarang, kami berkumpul di ruang keluarga. Aku, Bang Dika, Ibu, dan Bang Nico. Sedangkan, Mbak Lana sedang menidurkan Zico di kamar.

Aku meminta maaf kepada Ibu dan Bang Nico karena sudah terlambat datang. Sedangkan Bang Dika? Dia sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya seperti orang yang tidak makan selama seminggu. Rasanya sulit memercayai kalau Bang Dika seorang selebgram jika melihat cara makannya sekarang.

Aku dan Bang Nico sedang asyik melihat rekaman video dan foto-foto ketika acara tadi ketika terdengar ketukan di pintu depan. Aku beranjak untuk membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, sudah berdiri Bang Ares dan Juna di hadapanku, dengan hadiah yang terbungkus kertas kado di tangan mereka.

"Sori, telat," mereka berdua bicara dalam waktu yang hampir bersamaan. Keduanya nyengir lebar dan aku balas nyengir tak kalah lebar pada mereka berdua.

Aku memeluk Bang Ares, lalu tersenyum kepada Juna, kemudian mempersilakan mereka masuk. Kuajak mereka ke ruang keluarga untuk menemui yang lain. Ketika kami masuk, Mbak Lana ternyata sudah ikut bergabung. Aku pergi ke dapur membantu Ibu menyiapkan minuman dan makanan.

"Makasih, Naa bisa sendiri, kok," kataku ketika melihat Bang Dika, Bang Ares, dan Juna berdiri bersamaan hendak membantuku. Ketika tatapan kami bertemu, Bang Nico mengangkat sebelah alisnya seolah bertanya 'kenapa mereka?' yang kujawab dengan mengedikkan bahu. Sedangkan di belakangku, terdengar Ibu sedang terkekeh-kekeh.

"Aduh, anak Ibu jadi rebutan tiga cowok," Ibu menceletuk.

Aku, Bang Dika, Bang Ares, dan Juna yang sedang minum seketika tersedak berjamaah. Setelah batukku reda, aku hanya tertawa kecil menanggapi pernyataan Ibu. Begitu juga dengan ketiga cowok di ruangan ini.

Wajahku terasa panas. "Mana ada, Bu. Lagian, Naa masih sekolah, belum mikirin pacar-pacaran. Naa mau kuliah dulu, abis itu kerja. Naa masih kepingin menikmati masa muda. Kepingin keliling dunia dulu sebelum nikah," elakku sembari fokus menatap gumpalan es batu di dasar gelas.

"Iya, Bu. Naa masih kecil. Nggak boleh pacaran dulu," Bang Dika menimpali dengan bibir masih menempel pada gelas.

"Udah delapan belas tahun, udah cukup umur buat pacaran. Jangan ngikutin Abang kamu, sebentar lagi udah mau dua puluh lima tahun, tapi pacar aja belum punya. Nanti jadi bujang lapuk gimana?" cetus Ibu tiba-tiba.

Bang Dika bergerak-gerak gelisah di kursinya. Dia bergumam, "Baru dua puluh lima, Bu. Masih muda kalo buat cowok. Ya, nggak, Res?" Bang Dika berpaling pada Bang Ares untuk meminta dukungan.

Cowok beriris biru itu menegakkan punggung, kemudian mengangguk cepat, mengiakan. "Iya, Aunty. Ares juga masih jomblo, kok. Lagian, Siena masih terlalu polos. Masih butuh dijagain. Bahaya kalo ketemu sama cowok yang nggak bener," sahutnya.

Senyum Ibu merekah. "Ya, udah, kalo gitu kamu Ibu jodohin sama Naa aja, ya? Atau, kalau Ares nggak mau, Juna, deh. Ibu yakin kalian berdua bisa jagain Siena," tawar Ibu.

Terdengar Bang Ares terbatuk. Di sebelahnya, Juna yang mematung dengan potongan buah berada di depan mulutnya yang menganga lebar. Kemudian, aku menoleh ketika terdengar suara gedebuk seperti benda terjatuh. Ternyata Bang Nico yang baru kembali dari kamar mandi terjatuh, mungkin tersandung kaki meja atau apa. Dan aku memiliki dugaan kenapa Bang Nico yang cool dan senantiasa berhati-hati bisa melakukan hal bodoh seperti itu.

"Nggak boleh!"

"Nggak mau!"

Aku dan Bang Dika mengatakan itu hampir bersamaan. Kemudian, gelagapan ketika menyadari perhatian semua orang yang ada di ruangan ini tertuju pada kami. Kulihat sekilas, tatapan Bang Dika dan Bang Nico sempat bertemu, sebelum kemudian diputus oleh Bang Dika lebih dulu.

"Nggak lucu, Bu. Siena bukan barang yang bisa ditawar-tawarin kayak gitu," gerutu Bang Dika. Kemudian, dia kembali berkata tanpa mau menatapku, "Dika capek. Bosen. Panas juga. Mau ke belakang dulu." Bang Dika berdiri, lalu meninggalkan ruang keluarga dalam kondisi yang kurang mengenakkan.