'Astaga! Kalau dia cuma mau bilang 'nggak tau', kenapa mikirnya mesti lama banget, sih?'
Aku memutar bola mata dan berdecak sebal. "Nggak tau, nggak tau. Dari tadi jawabnya begitu terus, Bang. Nggak punya jawaban lain apa gimana?" gerutuku yang hanya dijawab dengan kekehan oleh Bang Dika.
Bang Dika menyuapkan potongan buah yang terakhir padaku, kemudian beranjak ke wastafel untuk mencuci mangkuk bekas melon tadi. Setelah selesai, dia mendekat padaku, dan tanpa berkata-kata, Bang Dika langsung melumat bibirku dengan rakus. Lidahnya menyusup ke mulutku, menyapu deretan gigiku dan membuatku mengerang pelan.
Kami sama-sama tersengal ketika ciuman berakhir. "Bang, masih laper," rengekku ketika Bang Dika hendak menciumku lagi.
Bang Dika mendengus. "Elah, Dek."
Aku menatap Bang Dika dengan tatapan memohon. "Semalem di rumah Ibu, Naa makan dikit doang tau, Bang. Abang nggak kasian sama Naa? Udah semalem tenaga Naa dikuras abis. Tadi bangun tidur juga. Masa cuma dikasih makan melon beberapa potong doang? Nanti kalo Naa kelaperan, terus kena magh, sakit, terus mati gimana? Kan nggak lucu banget adeknya selebgram kaya raya mati kelaperan. Lagian, emang Abang nggak sedih kalo pacar Abang ini mati? Susah, loh, dapet cewek kayak aku. Udah yang manis, lugu, perhatian, baik hati, tidak sombong, cantik pula. Apalagi-"
Bang Dika melayangkan pandangan campuran antara jijik, geli, dan mencela. "Nggak usah drama gitu, Neng!" sela Bang Dika cepat sembari menoyor kepalaku. "Lo nggak bakal mati cuma gara-gara telat makan beberapa menit doang. Elah!" katanya ketus.
Bang Dika berjalan ke arah lemari es, kemudian mengeluarkan beberapa sayuran. Aku tidak tahu namanya, karena di mataku, semua sayuran itu sama saja.
"Bikin salad aja, ya?" Bang Dika menawarkan.
Aku menggeleng. "Nggak mau. Emangnya Naa kambing? Kan Abang tau kalo Naa nggak suka sayur. Nggak doyan malah," tolakku sembari menutup mulut, kemudian membuat gerakan muntah.
Bang Dika memutar bola mata. "Bodo amat, lah!" katanya sembari mengangkat bahu tak acuh. "Gue mau bikin salad aja. Itung-itung ngirit. Saldo rekening udah gue kuras buat beli apartemen ini," sambungnya.
Aku memberengut sembari menatapnya tajam. "Abang tega sama Naa? Dih, sumpah! Orang duitnya banyak tapi pelitnya sampe ke tulang ekor. Emangnya Abang mati mau ditimbun pake duit? Naa minta makan doang, Bang. Bukan minta dibeliin pulau Kalimantan," ratapku.
"Kenapa nggak? Salah sendiri nggak doyan sayur. Sekalian biar lo diet juga. Perut buncit gitu kayak hamil empat bulan," katanya diikuti senyum mengejek, kemudian menjulurkan lidah.
Aku melompat turun dari meja dapur dan mulai mengentak-entakkan kaki di lantai. "Abang, ih! Jahat banget sama Naa," pekikku.
Ketika hendak melangkah ke kamar, Bang Dika meraih tanganku, kemudian menarikku ke pelukannya. Kurasakan bahunya berguncang. Oke. Dia menertawakanku.
Aku mendorong dada Bang Dika, tetapi karena ukuran tubuhnya yang lebih besar dariku, ia bahkan tak bergeser sedikit pun. Justru pelukannya padaku semakin erat. Tawanya terdengar semakin keras.
"Abang mulai gila, ya? Kerasukan? Ketawa-ketawa sendiri dari tadi!" ketusku.
Bang Dika melepaskan pelukan, kemudian menarik diri. Dia menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar. "Gue cuma becanda, Sayang. Lo jangan gampang ngambek gitu, dong. Mau makan apa, hm? Nanti biar Abang pesenin," katanya masih dengan sisa tawa dan senyum jail yang menghiasi wajahnya.
Aku menyeringai. "Apa pun yang Naa minta bakal Abang beliin?" tanyaku.
Senyumnya langsung menghilang. Dia mengusap tengkuknya. "Senyuman lo bikin gue curiga," gumam Bang Dika.
Aku hanya meringis. Kuambil alih ponsel Bang Dika, dan mulai memesan makanan yang kuinginkan. Abangku itu hanya menggeleng-geleng melihat daftar pesananku.
"Pantesan lo makin montok gini, Naa. Tapi nggak apa-apa, sih. Jadi makin seksi. Abang suka," bisiknya sembari mengembuskan napasnya yang panas dan basah di leherku.
Lengannya melingkar di pinggangku. Bang Dika menumpukan dagunya di pundakku, kemudian mulai menjelajah ke wilayah-wilayah yang terlarang. Aku mendesah pelan. Bang Dika selalu berhasil membuatku melayang dan mengempaskan akal sehatku sampai ke kerak bumi.
Sebelum benar-benar kehilangan kendali atas tubuhku dan diambil alih sepenuhnya oleh Bang Dika, aku memaksa kesadaranku untuk kembali. Aku menepuk bahu Bang Dika pelan.
"Bang," panggilku.
Bang Dika menatapku. Tatapannya berkabut diselimuti gairah. Aku meringis, kemudian memegangi perutku.
"Naa kebelet," kataku. Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari Bang Dika, aku langsung memelesat ke kamar mandi.
"Bangke! Lo bikin gue ilfil!" serunya. Aku menutup pintu kamar mandi, kemudian terbahak.
Ini lebih baik, daripada ketika kami tengah asyik having fun, tiba-tiba kurir yang mengantarkan pesanan kami datang. Itu pasti akan sangat memalukan.
***
"Kita mau ke mana, sih, Bang?" tanyaku penasaran.
Bang Dika memintaku mengenakan dress selutut berwarna baby blue dengan bentuk rok yang mengembang. Dia juga memanggil hair stylish dan make up artist untuk mendandaniku. Katanya, ini akan menjadi malam yang spesial bagi kami.
Setelah hampir dua jam, akhirnya proses yang sangat menyiksa ini selesai. Aku ternganga melihat pantulan diriku sendiri ketika bercermin. Sosok yang tampak di cermin seperti bukan diriku. Rambutku dikepang dengan cara yang rumit, dan aku justru memikirkan bagaimana cara untuk melepasnya nanti-pasti akan menyusahkan. Sejumput rambut sengaja disisakan guna membingkai kedua sisi wajahku. Kukuku dicat putih. Mereka mengaplikasikan make up minimalis-seperti yang diperintahkan Bang Dika, tetapi membuat wajahku terlihat segar.
Sebenarnya ada apa, sih? Kenapa sikap Bang Dika jadi berubah drastis? Apakah tadi kepalanya terbentur sesuatu? Apa fungsi otaknya sudah terganggu?
Ketika Bang Dika masuk. Dia bersandar pada pintu, tangannya dimasukkan ke saku celana. Bang Dika berdecak sembari menggeleng-geleng. "Gila. Cantik banget sayangnya Abang," pujinya. Ia meraih pinggangku, kemudian mengecup sudut bibirku.
Bang Dika tak kalah tampan. Memakai setelan jas Armani berwarna silver, dengan rambut yang disisir rapi ke belakang. Dia berjongkok, kemudian mengeluarkan sebuah kotak dari paperbag yang ia bawa.
"Sepatu paling cantik buat Neng Boba," katanya diikuti senyum jenaka.
Aku mengerutkan bibir. "Kok Neng Boba, sih?" protesku tak terima.
Bang Dika tergelak. "Kan, kamu suka banget beli boba, Sayang," jawabnya masih dengan sisa tawa.
Bang Dika memakaikan sepatu di kakiku, membuatku merasa seperti seorang tuan putri. Setelah itu, dia bangkit dan mengulurkan tangan sambil tersenyum sangat manis yang niscaya akan membuat sel-sel otakku meleleh. "Ayok, Neng. Sekali-kali makan malam romantis," kekehnya.
Aku menyambut uluran tangannya sembari mendengus. "Pengen tau, romantisnya seorang Swarga Mahardika, tuh, kayak gimana," kataku dengan senyum menantang.
Bang Dika menyeringai. "Pokoknya Eneng liat aja. Dijamin nggak bakal bisa ngelupain," ujarnya jemawa.
Aku memutar bola mata. "Terserah," kataku. Kemudian kami keluar dari apartemen menuju tempat makan malam 'romantis' ala Bang Dika.