Chereads / Bedbrother / Chapter 17 - Romantis

Chapter 17 - Romantis

Oke. Harus kuakui, ini memang benar-benar romantis. Dengan kepribadiannya yang kukenal, tak pernah kubayangkan Bang Dika bisa memiliki rencana seperti ini.

Sekarang, kami berada di dalam private room salah satu restoran mewah. Dengan cahaya temaram yang berasal dari kandelir yang tergantung di tengah ruangan. Sebatang lilin berwarna merah berdiri di tengah meja, menambah suasana romantis yang ada.

Tidak tahu dari mana asalnya, tiba-tiba Bang Dika memberikan buket bunga tulip beraneka warna. Manisnya. Aku bahkan sampai tersipu-sipu dengan perlakuannya kali ini.

Bang Dika menarikkan kursi untukku. Setelah aku duduk, dia mengitari meja dan duduk di kursinya sendiri. Kini, kami duduk dengan saling berhadapan.

Kami saling bertukar pandang satu sama lain, kemudian tersenyum. Betapa aku ingin melihat senyuman itu selamanya. Bang Dika meraih tanganku, lalu meremasnya lembut.

"Aku sangat menyayangimu. Aku ingin selalu menjadi alasanmu tersenyum. Kuharap, kebahagiaan ini takkan pernah berakhir-selamanya. I love you, Siena Pramesti." Kemudian, Bang Dika mengecup jemariku.

Tanganku yang bebas bergerak menangkup tangan Bang Dika, lalu mengusapnya lembut. Entah ini nyata atau hanya perasaanku, aku menangkap kegetiran dalam suara pemuda yang sangat kucintai ini.

"Abang kenapa?" tanyaku lembut.

Sudut bibirnya melengkung ke atas, lalu dia berkata, "Abang baik-baik aja, Sayang. Cuma kepingin menebus waktu yang selama ini hilang. Selama ini, Abang terlalu sibuk sama pekerjaan, sampai-sampai nggak punya waktu lebih buat kamu."

Aku mengernyit. Kenapa Bang Dika jadi seserius ini? Bukannya tidak suka. Hanya saja, aku merasa asing dengan perubahan sikap Bang Dika yang rasanya terlalu mendadak.

Baru saja aku membuka mulut untuk bertanya, pelayan masuk mengantarkan pesanan kami. Satu persatu makanan datang. Mulai dari appetizer, main course, kemudian dessert.

Aku tidak hafal nama-nama menunya. Makanannya dibentuk dan ditata sedemikian rupa dan rasanya sangat lezat-dengan porsi yang luar biasa sedikit. Padahal, ukuran piring dan mangkuknya besar.

"Suka nggak?" tanya Bang Dika lembut. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman. Namun, kusadari, senyuman itu tak sampai ke matanya yang kini tengah menatap sedih padaku. Pendarnya menghilang sama sekali. Apa Bang Dika sedang ada masalah?

Kutepiskan pemikiran itu. Jika ada sesuatu, pasti Bang Dika akan memberitahuku. Aku mengangguk penuh semangat, bibirku melengkung membentuk senyuman, kemudian berkata, "Naa suka banget. Makasih banyak udah ngelakuin semua ini buat Naa. Makasih atas segala yang udah Abang kasih buat Naa."

"Abang akan lakuin apa pun asal itu bisa bikin kamu bahagia. Apa pun."

***

"Duit segitu kira-kira dapet bakso, nasi goreng, sama boba berapa banyak ya, Bang?" tanyaku pada Bang Dika dengan tatapan menerawang. Lalu lintas tampak padat. Gedung-gedung tinggi menjulang menantang langit. Suara klakson para pengguna jalan saling sahut menyahut. Aku mendesah pelan, kemudian kembali melanjutkan, "Enak, sih. Tampilannya juga bagus-bagus. Tapi, ya, itu. Bagus doang tapi nggak bikin kenyang, kan, percuma."

"Astaga," Bang Dika tergelak. "Sekali-kali doang, Sayang," sambungnya dengan mata tetap terfokus ke jalanan di depannya.

Sekarang kami sedang dalam perjalanan pulang setelah dinner romantis nan mewah dan pastinya mahal, tetapi tidak mengenyangkan.

"Bang, nanti mampir ke tukang nasi goreng yang biasa, ya?" pintaku, dengan mata masih terpaku ke jalan raya.

Bang Dika mendengus. "Buset, dah. Bang, Bang. Emangnya gue abang-abang kang ojek apa?" protesnya.

Aku terkikik. "Terus, apa, dong? Dari dulu kan manggilnya Abang. Udah kebiasaan, nggak bisa diubah lagi," kataku sembari memasang ekspresi tak berdosa.

"Ganti, lah. Kan gue udah bilang, jangan manggil Abang kalo lagi berdua. Panggil aja ... Sayang?" ujarnya disertai kerlingan menggoda.

Aku mengernyit jijik. "Dih, apaan. Geli," kataku, kemudian tergelak.

"Ya, udah. Langsung pulang aja," gerutunya sembari mengerucutkan bibir.

'Kenapa Bang Dika jadi manja kayak gini, sih? Tapi, kalo dilihat-lihat, Bang Dika kelihatan imut juga pas lagi ngambek.'

"Yah. Jangan, dong, Bang. Emang Abang tega bikin Naa kelaperan? Abang mau Naa mati? Abang mau jadi duda muda?" aku memohon dan meratap dengan sangat berlebihan, tidak ketinggalan sambil memasang wajah nelangsa.

Bang Dika memutar bola matanya. "Lebay banget, lo. Nggak masalah kalo gue jadi duda muda juga, masih banyak yang ngantri kepengen jadi bini gue."

Aku menyipit. "Coba ulangin lagi. Tadi bilang apa, heh?" kataku dingin. "Nggak apa-apa jadi duda? Masih banyak yang mau?"

Bang Dika nyengir. "Nggak, Sayang. Cuma bercanda," katanya. "Ya, udah, sih. Makanya panggil gue dengan sebutan tadi. Apa susahnya? Gini gue ajarin kalo lo lupa gimana cara ngomongnya. Sa-yang," titahnya.

Wajahku lansung terasa panas. "Malu, Bang," kataku sembari menutupi wajah. Namun, Bang Dika justru tergelak melihatku.

"Ih, ih, wajahnya merah gitu kayak kepiting rebus." Bang Dika mengejek. "Buruan. Nanti keburu kelewat, loh, tukang nasi gorengnya."

Aku menggigit bibir. Kepalaku tertunduk. Entah sudah semerah apa wajahku ini.

"Sa-Sayang ...."

Bang Dika menyentuh dadanya, kemudian berkata dengan gaya dramatis, "Aduh, ademnya hati Abang."

Aku hanya melirik tajam padanya, mencebik, membuat gestur tak sopan, kemudian berpaling. Terdengar suara gelak tawa Bang Dika, menghangatkan hatiku.

***

Tak sampai lima menit kemudian, kami sudah duduk bersisian di bangku plastik tenda abang-abang penjual nasi goreng. Suasana sangat kontras dengan pakaian yang kami kenakan. Bang Dika bahkan tidak henti-hentinya menggerutu.

"Udah dandan cakep, gue pake setelan jas mahal, lo pake baju ala-ala tuan putri, tapi makan di pinggir jalan. Mana ada yang ngeliatin lo mulu," omelnya sembari mendelik ke arah salah satu pemuda yang duduk tak jauh dari kami. Dia melepaskan jasnya, kemudian memakaikannya padaku.

"Pake, nih! Nyesel gue milihin baju buat lo yang model begitu. Gunung lo ke mana-mana."

Aku menunduk untuk memeriksa apa yang dari tadi dikeluhkan oleh Bang Dika. Dress yang kukenakan memang memiliki belahan dada agak rendah.

"Gerah, Bang," protesku sembari melepaskan jasnya.

"Pake atau kita balik ke apartemen?"

Mulutku langsung terkunci rapat, kemudian, memakai kembali jasnya. Jika Bang Dika sudah berbicara dengan nada seperti itu, aku sudah tidak mungkin melawan perkataannya. Bisa-bisa, kejadian mengerikan beberapa bulan lalu akan terulang lagi.

***

"Nih, acarnya buat Abang aja."

Bang Dika mendengus ketika aku memindahkan acar dari piringku, tetapi akhirnya dia memakannya juga. Semakin malam, pembeli di warung ini bertambah ramai. Tidak heran, sih. Nasi goreng di sini sudah cukup terkenal. Apalagi, harganya juga cukup terjangkau dengan porsi yang mengenyangkan.

"Acarnya doang yang kamu kasih ke Abang? Nggak sekalian nasinya?"

Aku mendelik sembari menjauhkan piringku dari jangkauan Bang Dika.

"Enak aja. Kalo kurang, pesen lagi aja. Jangan minta punya Naa," kataku dengan mulut penuh.

Bang Dika terkekeh pelan. "Iya, iya. Abang cuma becanda, Sayang," katanya.

Setelah makan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat apartemen. Bang Dika menggandeng tanganku erat. Lengan kemejanya sudah digulung sebatas siku. Simpul dasinya dilonggarkan, sehingga membuat dia mirip karyawan sehabis kena PHK, tapi tetap terlihat ganteng. Sumpah, deh!

Aku kini bertelanjang kaki. Sepatu dengan hak setinggi hampir lima belas sentimeter yang tadi kupakai kutinggalkan di dalam mobil. Jas Bang Dika masih melekat di tubuhku.

"Bang, lain kali nggak perlu buang-buang duit buat makan malam di tempat semahal itu. Enak, sih, tapi mahal banget. Padahal nggak bikin kenyang sama sekali," pintaku.

Bang Dika menatapku lekat hingga kerut-kerut di dahinya muncul seperti rok kebanyakan wiron. "Emang kenapa? Kamu nggak suka?" tanyanya dengan raut wajah bingung.

Aku menggeleng. "Nggak ada cewek yang nggak suka diperlakuin bak putri raja, Bang. Dan asal Abang tau, aku juga masih cewek normal. Tapi, aku ngerasa kalau itu nggak seperti Bang Dika yang selama ini aku cintai. Dia memang selalu manjain aku, tetapi nggak pernah berlebihan kayak tadi. Rasanya aneh liat Abang kayak gitu."

Kami sudah berhenti melangkah. Sekarang, kami berdiri saling berhadapan. Kuraih tangan kanan Bang Dika, lalu kutatap matanya dalam-dalam.

"Aku nggak mau Abang berubah hanya demi bikin aku bahagia. Lagi pula, kalau yang sederhana sudah bikin kita bahagia, ngapain cari yang mewah-mewah? Lebih baik uangnya kita sumbangin untuk orang yang lebih membutuhkan. Dan asal Abang tau. Aku jatuh cinta sama Bang Dika yang asli yang apa adanya. Yang ngomongnya blak-blakan, kadang jutek setengah mati, tapi selalu tulus sama orang di sekitarnya. Bukan sosok Swarga Mahardika yang dikenal orang-orang lewat instagram."

Aku berjinjit, kemudian mengecup pipi Bang Dika. "Naa sayang Abang yang apa adanya," bisikku.

Bang Dika menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia meraih pinggangku, kemudian mencium bibirku dengan sangat lembut.

Bang Dika membawaku ke pelukannya. Dia berbisik, "I love you, Siena. Ternyata kamu udah bisa berpikiran sedewasa ini. Nggak kebayang kalau Abang harus nyakitin kamu."

Aku langsung melepaskan diri dari pelukan Bang Dika, menatapnya bingung. "Maksud Abang harus nyakitin aku apa?"

Ekspresinya menegang, tetapi kembali normal dalam waktu singkat. Dia menggeleng pelan dengan senyum tipis di bibirnya. "Nggak, Sayang. Lo salah denger. Maksudnya, gue janji nggak akan nyakitin lo," tukasnya. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu berkata, "Udah malem. Pulang sekarang, ya? Lo pasti ngantuk, makanya sampe salah denger kayak gitu."

Aku mengangguk, kemudian kami berjalan beriringan ke mobil dalam keadaan membisu. Bang Dika sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu pun aku. Aku yakin kalau aku tidak salah dengar. Tapi kenapa Bang Dika bilang begitu?