Kami berdua tiba di apartemen hampir tengah malam. Sebenarnya, Ibu meminta kami menginap, tetapi Bang Dika tetap menolak. Aku sudah memegang pegangan pintu kamarku ketika suara Bang Dika menghentikan langkahku.
"Naa, tunggu sebentar. Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ujar Bang Dika.
Dia berjalan mendekat sambil menatapku sendu. Kemudian, Bang Dika meraih tanganku, lalu diletakkannya telapak tanganku ke dadanya. Bang Dika menyelipkan beberapa helai rambut yang menjuntai menutupi wajahku ke belakang telinga. Untuk beberapa saat, kami hanya diam dan saling bertukar pandang.
"Ada apa, Bang?" tanyaku gugup. Mulutku terasa kering, dan perutku melilit. Tidak biasanya Bang Dika memperlakukanku dengan cara seperti ini.
Bang Dika menarik napas panjang, matanya menatapku lekat-lekat. "Lo dengerin gue baik-baik, Naa. Jangan motong pas gue lagi ngomong, inget setiap kata-kata yang keluar dari mulut gue, karena gue nggak mau ngulang dari awal."
Aku mengangguk. Untuk sesaat, tatapan matanya agak goyah, sebelum kemudian kembali fokus padaku. Jakunnya bergerak naik-turun ketika dia menelan ludah. Aku merasakan kalau aku menahan napas, menanti apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bang Dika.
"Siena Pramesti, mungkin menurut lo, gue udah kelewatan. Tapi gue nggak bisa ngendaliin perasaan gue. Maaf karena gue selalu ngekang lo, nglarang lo buat jalin hubungan sama cowok. Gue over protektif sama lo. Lo tau kenapa gue begitu? Itu karena gue cemburu. Gue nggak suka ada cowok yang deketin lo. Gue takut lo lebih ngerasa nyaman sama cowok lain dibanding sama gue, dan akhirnya lo lupain gue. Gue suka sama lo. Gue udah jatuh cinta sama lo. Dan gue nggak tau sejak kapan perasaan ini mulai ada." Dia berhenti sejenak. Mata kami masih saling terpaku satu sama lain.
Jantungku mengentak-entak tak keruan. Aku bahkan tak berani membuka mulut—khawatir jantungku akan meloncat keluar jika melakukan hal itu. Aku menahan diri untuk tersenyum lebar yang mungkin akan membuatku terlihat seperti orang tolol. Aku ingin berjingkrak-jingkrak, berteriak dan mengumumkan ke seluruh dunia bahwa perasaanku sudah terbalas. Namun, aku masih menunggu sebuah kepastian darinya. Satu kata yang akan mengubah segalanya di antara kami.
Bang Dika menarik napas panjang, lalu mencondongkan tubuh ke arahku. "Gue sayang sama lo, Siena. Gue cinta sama lo. Perasaan gue ini nggak ada hubungannya soal ranjang. Nggak, sama sekali bukan itu. Awalnya, gue emang mikir kayak gitu. Tapi ternyata gue salah. I love you," bisiknya tepat di telingaku. Dia menarik diri, lalu menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Lo sayang nggak sama gue?" tanyanya, lebih mirip seperti penodong, sih, sebenarnya. Kulihat ada sekelebat kekhawatiran di wajahnya.
Aku merasakan sudut bibirku terangkat. Setelah sekian lama menanti dalam ketidakpastian, akhirnya aku bisa mendengar pengakuan itu darinya. Aku menurunkan pandangan, lalu mengangguk pelan. "Naa juga sayang sama Abang. Jauh sebelum ini, Naa udah jatuh cinta sama Abang," jawabku pelan. Kepalaku tertunduk, tetapi bibirku tersenyum amat lebar. Tak bisa kukatakan betapa bahagianya aku sekarang. Seperti ada parade kembang api meledak dalam diriku. Kemudian, air mataku menetes.
Dia menjepit daguku dengan jemarinya, kemudian mengangkat wajahku agar menatapnya. Ibu jarinya mengusap air mataku. Perlahan, dia mendekatkan wajahnya, lalu menekankan bibirnya pada bibirku dengan begitu lembut dan perlahan. Aku memejamkan mata, kemudian kukalungkan tanganku di lehernya. Kusisipkan sela-sela jemariku pada rambut cokelatnya yang lembut. Ciuman kami berlangsung begitu lama dan dalam.
Kami sama-sama terengah ketika ciuman itu berakhir. Aku bersandar pada pintu. Bang Dika menempelkan keningnya di keningku. Tangannya masih berada di kedua sisi wajahku. Kemudian, Bang Dika berkata, "Lo dengerin dan inget ini baik-baik, Naa. Oke?" ujarnya dengan nada mendesak. Aku mengangguk, karena merasa Bang Dika menungguku menjawab.
"Apa pun yang gue lakuin nanti, percayalah kalo gue sayang sama lo. Apa pun yang terjadi, perasaan gue buat lo nggak akan pernah berubah. Rasa sayang gue sama lo—dulu, sekarang, atau di masa depan, akan tetep sama. Hati, jiwa, dan raga gue cuma punya lo. Ngerti? Lo percaya, kan, sama gue?"
Kudengar suaranya agak bergetar. Pendar matanya meredup, seolah semua ini tidak membawa kebahagiaan untuknya. Dari ekspresinya, dia justru tampak seperti seseorang yang tengah menanggung beban begitu berat. Aku tak mengerti kenapa dia berkata seperti itu. Namun, kuputuskan untuk bertanya soal itu nanti. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan kami dengan mendesak Bang Dika yang mungkin akan membuatnya marah.
Aku mengangguk. Kutatap iris kelam yang kini juga tengah memandangku. Tatapan kami beradu. Lalu, aku berkata, "Iya. Naa percaya sama Abang."
Aku berjinjit, kemudian memagut bibir Bang Dika, yang kemudian langsung disambut baik olehnya. Aku membuka mulut, memberikan jalan agar lidahnya bisa masuk. Lidah kami saling membelit. Dia menarikku agar semakin merapat pada tubuhnya.
"Jangan pernah lupain apa yang kita lakuin malam ini. Setiap detik, setiap sentuhan, setiap emosi—semua ini nyata. Malam ini, kita benar-benar menyatu. Gue milik lo, dan lo punya gue. Cuma punya gue. Tubuh, hati, hidup, cinta, dan jiwa lo—cuma gue yang berhak atas itu semua. Gue berharap segalanya akan jadi lebih mudah, buat lo dan buat gue." Meski bibirnya tersenyum, senyum itu tak mencapai matanya. Dan di balik senyuman itu, kurasakan kesedihan di baliknya.
***
"Selamat pagi, Sayang."
Minggu pagiku disambut oleh suara dan senyuman pemuda yang paling kucintai di dunia ini. Matanya yang hitam kelam menatapku lembut, hampir-hampir terkesan sendu. Rambutnya yang dicat cokelat tampak acak-acakan, dan hal itu justru membuatnya terlihat semakin tampan dan memesona di mataku. Aroma aftershave dari tubuhnya memenuhi indra penciumanku. Aku berbaring meringkuk di dalam pelukannya. Kemudian, Bang Dika mengusap wajahku, mendaratkan kecupan sekilas di bibirku.
Aku meregangkan tubuh, kemudian membalas senyuman Bang Dika. "Pagi juga, Abang," kataku sambil menguap lebar dan mengucek kedua mataku tak acuh. Sedetik kemudian, aku baru menyadari kalau mungkin saja napasku beraroma kurang sedap. Kuembuskan napas kemudian mengendusnya.
Ketika aku berpaling pada Bang Dika, dia tengah menatapku sambil tersenyum geli. "Gimana? Seharum mawar, Sayang?" kekehnya, kemudian mencubit pipiku pelan.
Aku meringis kemudian nyengir lebar. "Oh, jelas. Bahkan lebih wangi dari parfum Abang yang mahal itu," sahutku, kemudian terkikik geli. Bang Dika semakin mengeratkan pelukannya, kemudian menciumi seluruh wajahku dengan gemas.
"Ayo bangun, Sayang! Mandi. Udah siang."
Aku menyurukkan wajah ke dadanya, menutupi wajahku menggunakan selimut, kemudian menggeleng. "Nggak mau. Naa masih ngantuk," kataku. Suaraku teredam oleh selimut.
Bang Dika menarik selimut yang menutupi wajahku, seraya berkata, "Heh, jangan males. Buruan bangun, mandi."
Aku masih tetap menggeleng. Cukup lama kami saling tarik menarik selimut, sebelum kemudian Bang Dika menyerah.
"Ya, udah, lah. Terserah. Gue mau mandi, mau pergi jalan-jalan, terus belanja. Lo tidur aja di sini, gue nggak masalah. Lumayan, kan, sekalian lo jagain apartemen. Nanti gue mau ngajak salah satu temen cewek gue buat nemenin. Soalnya pacar gue nggak mau, sih."