Chereads / Bedbrother / Chapter 15 - Lapar

Chapter 15 - Lapar

Mataku langsung terbuka lebar. Hilang sudah segala kantuk yang sedari tadi menggelayut di mataku. Aku memelototi Bang Dika yang tengah berkacak pinggang dengan begitu percaya dirinya, padahal dia hanya menggunakan boxer.

"Abang nggak boleh pergi sama cewek lain!" pekikku.

Senyumnya semakin lebar dan terkesan amat menyebalkan. "Bodo amat. Lo dari tadi gue suruh mandi nggak mau. Weee!" ejeknya, kemudian Bang Dika menjulurkan lidah padaku.

Aku mengambil bantal, kemudian melemparkan ke arahnya. Bantal itu menghantam telak wajah Bang Dika, membuatnya terhuyung ke belakang, kemudian dia menggeleng-geleng.

"Bangke!" umpatnya, tetapi kemudian tergelak. Dia mendekat, kemudian mengulurkan tangan padaku. "Ayok, bangun. Gue cuma bercanda. Nggak usah ngamuk gitu."

Aku melipat tangan, memalingkan wajah, kemudian mendengus keras-keras. "Nggak mau! Naa marah!"

Bang Dika tergelak-gelak mendengar perkataanku, entah bagian mana yang menurutnya lucu. Kemudian, setelah tawanya reda, dia berkata, "Dih, orang ngambek, kok, laporan."

Aku memelototinya, mataku berkaca-kaca. "Abang, iih! Bukannya dibujukin, malah ngeledek gitu. Nggak peka banget jadi cowok!"

"Eh! Eh! Eh! Kok, jadi beneran, sih? Abang bercanda, Sayang. Maafin Abang, ya? Beneran, deh, Abang nggak ada niat bikin kamu kesel. Udah jangan nangis," bujuknya.

Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan dan mulai meraung-raung. Bahuku berguncang. Bang Dika terus berusaha membujukku, tetapi tak kuhiraukan. Aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Meski begitu, aku masih bisa merasakan kepanikannya.

Bahuku berguncang hebat, tetapi bukan karena menangis. Melainkan karena aku tertawa terbahak-bahak. Tawaku semakin menggila ketika melihat ekspresi Bang Dika, campuran antara panik dan bingung.

Aku berguling di kasur, memegangi perutku yang kini terasa sakit karena tertawa.

"Abang, Abang tau nggak? Muka Abang lucu banget," kataku kemudian kembali tertawa.

"Puas-puasin sono ketawa. Nggak tau kalo gue paniknya beneran," omelnya. "Kalo udah kelar ketawanya, tinggal mandi. Badan lo bau."

"Gendong," pintaku sambil mengulurkan kedua tangan dan memasang ekspresi seperti anak anjing. Mataku mengedip-ngedip cepat sok imut.

Bang Dika mendengus. "Manja bener, dah," gerutunya. Kemudian, meraup tubuhku ke dalam gendongannya.

Kami keluar dari kamar mandi hampir satu setengah jam kemudian dengan handuk kimono membungkus tubuh dan dalam keadaan menggigil. Meskipun begitu, kami terus saja cekikikan karena teringat kekonyolan yang kami perbuat ketika di dalam sana.

"Sayang ...." panggil Bang Dika lembut dengan tangannya sibuk mengeringkan rambutku. Hatiku berdesir ketika mendengarnya memanggilku 'sayang'. Tak bisa kukatakan betapa besar kebahagiaan yang kini kurasakan.

Aku agak mendongak agar bisa menatap wajah Bang Dika dan melihat ekspresinya. Sebelah alisku terangkat. "Ya?" sahutku.

Dia masih tersenyum, tatapannya menerawang. "Sayang ...." panggilnya lagi.

Aku menyahut lagi, "Iya, Abang."

"Sayang ...."

Aku mendengus. "Kenapa, sih, Bang? Manggil-manggil doang dari tadi," omelku.

Bang Dika terkekeh. "Nggak apa-apa. Suka aja manggil kamu 'Sayang'," sahutnya. Dia memelukku, meletakkan dagunya di pundakku, kemudian mengecup pipiku.

"Gantian, dong, panggil Abang 'Sayang'," pintanya dengan manja.

Aku terbatuk. Mendadak, wajahku terasa seperti tersiram air mendidih. Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang memerah. "Apaan, sih, Bang. Malu, ih," gumamku sembari memainkan jemariku.

Bang Dika melingkarkan lengan di perutku, lalu mencium lembut pipiku. "Ngapain malu, hm? Emang kamu nggak sayang sama Abang?" tanyanya.

Aku tergagap dan mulai panik. Otakku bekerja keras mencari jawaban. "Yaaa, sayang. Tapi kan malu, Bang. Lagian, nanti apa kata orang kalo denger aku manggil Abang pake sebutan 'Sayang'?" kataku masih mencoba mengelak.

Bang Dika mendecakkan lidahnya. "Siapa yang minta dipanggil 'Sayang' di tempat umum? Cuma pas lagi berdua."

Aku menggigit bibir. "Sa-Sayang ...." bisikku.

"Lebih keras lagi," bisik Bang Dika tepat di telingaku.

"Sayang ...."

"I love you, Siena Pramesti."

"I love you too, Swarga Mahardika," balasku.

***

Aku duduk di meja dapur sambil memperhatikan Bang Dika yang tengah menyiapkan sarapan untuk kami. Dia mengulurkan segelas susu padaku yang langsung kuterima, kemudian aku menghabiskan susu itu dengan cepat. Bang Dika mengambil melon dari dalam kulkas. Dia mulai mengupas, lalu memotongnya menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Kemudian, Bang Dika menyuapkan sepotong padaku.

"Bang?" aku memanggil. Bang Dika menjawab panggilanku dengan gumaman tanpa mengangkat pandangan. Dia masih fokus dengan pekerjaan mulianya, yaitu mengupas melon.

Aku melipat tangan di depan dada, kemudian menelengkan kepala. Kakiku yang menggantung berayun-ayun pelan. "Kenapa Abang tiba-tiba nyatain perasaan sama aku?" tanyaku sembari menatapnya lekat-lekat. Aku tak perlu repot-repot menyembunyikan rasa penasaranku darinya.

Bang Dika mengangkat wajah, dahinya berkerut, matanya menyipit menatapku, kemudian mengedikkan bahu tak acuh. "Abang nggak tau," sahutnya enteng, lalu kembali memalingkan pandangannya dan fokus lagi dengan pekerjaannya yang sepertinya tidak kunjung selesai.

Aku mendecakkan lidah, kedua tanganku kini berada di kedua sisi tubuhku, mencengkeram tepi meja. "Bang, ih! Naa nanya serius," rengekku. Kakiku yang menggantung di bibir meja masih berayun-ayun.

Bang Dika menghela napas, kemudian mengangkat wajahnya. "Abang juga serius, Sayang," kata Bang Dika tegas, tetapi dengan nada yang amat lembut.

Mataku menyipit. "Jangan-jangan, Abang cuma iseng, ya, bilang cinta sama aku? Abang nggak serius. Abang cuma mau ngeprank." tuduhku sembari mengacungkan garpu ke arahnya. "Abang cuma pura-pu-"

Perkataanku terhenti ketika tiba-tiba Bang Dika kembali menyuapkan sepotong melon ke mulutku. "Nggak usah ngomong sama mikir yang aneh-aneh, lo," gerutunya sembari menoyor keningku. Dia mencuci pisau yang tadi digunakan untuk memotong melon, juga beberapa piring serta gelas kotor. Setelah selesai, dia menaruhnya di rak pengering, kemudian mengeringkan tangannya menggunakan lap.

Aku mengunyah melon cepat-cepat. "Ya, lagian Abang aneh, sih. Tau-tau bilang cinta, tapi pas ditanya kenapa malah nggak mau jawab," kataku setelah menelan melon di mulutku. Bang Dika kembali menyodorkan potongan buah itu, dan aku dengan sukarela melahapnya.

Bang Dika menyandarkan pinggulnya pada meja. "Lo nggak suka kalo gue jujur soal perasaan gue?" tanyanya sembari mengunyah melon. Ekspresinya tampak tak acuh, jauh berbeda kalau dibandingkan dengan emosi yang semalam kulihat di wajahnya.

Aku menggeleng. "Suka banget!" sahutku setengah memekik.

"Gerakan sama jawaban lo nggak sinkron," komentar Bang Dika.

Aku mengabaikan perkataannya. "Tapi kenapa tiba-tiba?" Aku masih kekeh menanyakan alasannya.

Bang Dika mengangkat bahu. "Ya, Abang cuman ngerasa harus ngelakuin ini. Udah waktunya Abang jujur sama kamu. Dan, yaah ... mumpung masih bisa, sebelum semuanya terlambat. Gue takut lo diambil cowok lain," katanya, kemudian mengecup sudut bibirku.

"Sejak kapan?" tanyaku, semakin penasaran.

"Apanya yang sejak kapan?" Bang Dika menatapku dengan ekspresi polos.

Aku mendengus kesal. "Sejak kapan Abang suka sama aku?" kataku menegaskan, agak gemas karena Bang Dika lambat menangkap maksud dari pertanyaanku.

Bang Dika terdiam sejenak. Dia tampak termenung. Matanya menerawang. Dia mengembuskan napas, kemudian mengedikkan bahu. "Nggak tau," jawab Bang Dika cuek sembari terus mengunyah melon.