Chereads / Bedbrother / Chapter 11 - Kembali

Chapter 11 - Kembali

"Bu, Naa berangkat dulu," kataku berpamitan kepada Ibu. Kemudian, kucium punggung tangan beliau.

Ibu membelai puncak kepalaku, seraya tersenyum. "Iya, hati-hati. Juna, titip Siena, ya?" kata Ibu memandang Juna.

Juna yang sudah menunggu di halaman menjawab dengan anggukan. "Iya, Tante. Tenang aja. Siena aman kalo sama aku," jawabnya penuh tanggung jawab. Cowok itu tersenyum, membuat lesung pipitnya nampak.

Aku berdecak pelan, menatap kesal pada Ibu. "Ibu, ih. Naa udah gede, pake dititipin segala. Emangnya Naa cucian kotor? Lagian malu tau. Naa naik ke kelas dua belas. Lagian, aku udah tiap hari berangkat sama Juna, nggak perlu dititip-titipin terus tiap hari," gerutuku dengan bibir mengerucut. Aku sudah sebulan lebih menginap di rumah lagi, dan semenjak saat itu, sikap Ibu bisa dibilang terlalu berlebihan.

Aku bersyukur karena Ibu sangat menyayangiku walaupun aku bukan anak kandungnya, hanya anak dari adiknya yang sudah beliau rawat sejak kecil. Meski begitu, Ibu tak pernah membeda-bedakan perlakuannya padaku dan anak-anak kandungnya. Begitu juga Mbak Lana dan Bang Dika yang selalu menyayangiku layaknya adik mereka sendiri.

Ibu terkekeh pelan. "Iya, Ibu tau. Tapi, kok, belum punya pacar kalo ngaku udah gede?" tanya Ibu sambil tersenyum geli. Kulirik Juna yang juga tengah menahan senyum. Selama di rumah Ibu, aku selalu berangkat ke sekolah bersama Juna yang aku beri julukan si Tetangga Baik Hati.

Sedangkan, saat pulang sekolah sore harinya, biasanya Bang Ares yang datang menjemputku. Semenjak tragedi 'Drama Jepang' itu, hubungan kami sempat agak canggung, lagi. Meskipun akhir-akhir ini sudah kembali normal.

Bagaimana aku bisa memikirkan untuk mencari kekasih? Sedangkan, di dalam hidupku segalanya hanya tentang Bang Dika. Setiap detik hidupku, setiap embusan napas, seluruh tubuh, jiwa, dan ragaku secara tak langsung sudah kuserahkan untuknya. Meskipun, aku sendiri tak tahu bagaimana perasaan Bang Dika padaku.

Aku hanya tersenyum kecil, enggan menanggapi perkataan Ibu. Aku berpamitan sekali lagi, kemudian berjalan menghampiri Juna. Kami hanya diam selama di perjalanan. Pikiranku terus saja tertuju pada Bang Dika. Apa yang sedang Bang Dika lakukan? Sudah lebih dari sebulan aku menginap di rumah Ibu, dan dia tak kunjung datang untuk menjemputku. Bang Dika hanya sesekali mengirimiku pesan untuk mengatakan bahwa dia merindukanku. Terkadang, Bang Dika melakukan video call pada saat dia sedang senggang. Aku terus menanti kedatangannya, karena aku sudah sangat merindukan Bang Dika.

"Naa, udah sampe," kata Juna menyadarkanku dari lamunan.

"Hah?" Aku mengerjap bingung seperti orang bodoh.

"Kita udah sampe, Naa. Makanya jangan ngelamun terus," ujarnya sambil terkekeh. Aku hanya menanggapinya dengan cengiran tolol. Tak mungkin aku mengatakan kalau sedang memikirkan Bang Dika. Juna membantuku melepas helm, kemudian kami berdua berjalan bersama menuju ruang kelas.

***

Aku berjalan lunglai keluar sekolah. Hari ini rasanya sangat melelahkan. Susunan pelajaran hari ini bisa dibilang maut. Matematika bertemu dengan dua saudaranya, yaitu kimia dan fisika cukup membuat otakku berasap. Bahkan, jika aku mengendus udara dan memperhatikan secara saksama, aku bisa mencium aroma-aroma gosong, pertanda setiap sel-sel otakku yang terbakar. Atau mungkin aroma-aroma gosong itu hanya halusinasiku? Entahlah. Belum lagi pelajaran olahraga pada jam ketiga. Sungguh sangat tidak berperikemanusiaan orang yang menyusun jadwal untuk kelas kami. Aku benar-benar capek lahir batin. Sudah capek karena kegiatan sekolah, hatiku juga capek sebab menahan rindu yang makin hari kian merepotkan saja. Jika begini terus, mungkin aku harusnya nikah saja. Ups!

Matahari sepertinya sedang sangat bahagia, karena siang ini dia begitu dermawan dalam membagikan sinarnya. Tidak seperti matahari yang sedang bersuka cita, hari ini aku merasa sangat sial karena lupa membawa uang saku. Untung saja tadi Juna mau meminjamiku uang, meskipun dia mengatakan kalau aku tak perlu mengembalikannya.

"Naa, lo baik-baik aja?" tanya Juna. Kulihat sekilas kekhawatiran di matanya.

Aku menggeleng sembari tersenyum lemah. "Enggak apa-apa. Cuma kecapekan," sahutku lemah. Aku membetulkan posisi tasku yang rasanya begitu berat karena penuh berisi buku-buku tebal. Ketika berada di halaman sekolah, aku menyipitkan mata, memastikan bahwa yang kulihat itu benar.

Bukan Bang Ares yang menjemputku, tetapi Bang Dika yang sedang nangkring di atas motor kesayangannya. Dia turun, kemudian melambai ketika melihatku. Aku langsung berlari menghampiri sosok yang sudah begitu lama kurindukan itu, meninggalkan Juna begitu saja di belakangku. Aku menyempatkan berbalik tanpa menghentikan langkahku, berlari mundur sembari melambaikan tangan pada Juna.

"Abaaang ...!"

Aku melemparkan diri ke pelukan Bang Dika. Kemudian, Bang Dika balas memelukku sembari mengusap-usap punggungku. "Naa kangen banget sama Abang," kataku tanpa melepaskan pelukan kami.

"Gue juga kangen sama lo, Dek," sahutnya, lalu mengecup puncak kepalaku. "Gimana sekolahnya?" tanyanya setelah kami saling melepaskan pelukan.

"Sekolahnya baik-baik aja. Masih utuh tanpa kurang satu apa pun, masih berdiri tegak seperti yang Abang lihat. Tuh," kataku sembari mengedikkan kepala ke arah gedung sekolah.

Bang Dika mendengus, kemudian menonyor kepalaku sehingga aku terhuyung ke belakang. "Ini anak, lama nggak ketemu malah makin bego aja. Disekolahin, tuh, harusnya jadi tambah pinter. Yang gue maksud nilai sekolah lo, Siena Pramesti. Ada anak yang jahatin atau ngisengin lo nggak? Kalo ada, bilang mana orangnya. Biar gue pites," kata Bang Dika menggebu-gebu seperti sosok pahlawan yang bangun kesiangan.

Aku tergelak. "Abang lebay, ih! Mana ada yang berani jahat sama adeknya seorang Swarga Mahardika. Selebgram ter-anu di Indonesia. Jangan khawatir, Naa masih sepintar dan secantik biasanya," kataku sambil mengedip-ngedipkan mata sok cantik, yang sepertinya malah lebih mirip seperti orang cacingan.

Bang Dika menatapku dengan ekspresi jijik di wajahnya. "Dasar, lo. Pe'a tapi ngangenin," gerutunya. Dia menangkup wajahku, lalu mengerutkan kening. "Kok, lo pucet banget? Lo sakit?" tanyanya sembari menyentuh keningku.

Aku menggeleng. "Nggak, Bang. Gue kecapean doang, tadi pelajaran olahraga," kataku letih. "Bang, Naa laper. Tadi lupa nggak bawa uang jajan." Aku merengek sembari mengerucutkan bibir.

Bang Dika mengacak rambutku. "Ya, udah. Kita cari makan dulu sebelum pulang," katanya, kemudian memasangkan helm di kepalaku.

***

"Bang? Abang udah bobo?" aku berbisik.

Jemariku bergerak menyusuri dada Bang Dika yang telanjang, kemudian mengetuk-ngetuk pelan menggunakan ujung jariku untuk membangunkannya.

"Hmmm ...." Bang Dika hanya bergumam dengan mata terpejam rapat, kemudian mengeratkan pelukan di tubuhku. "Kenapa, Naa?" tanyanya dengan suara parau. Sepertinya Bang Dika benar-benar mengantuk. Dia menarik selimut hingga sebatas leher untuk menutupi tubuh kami.

"Bang, bentar lagi kan ulang tahun Zico, Naa bingung mau ngado apa," keluhku. Jariku bergerak menyusuri dada bidang Bang Dika.

Bang Dika meraih jemariku, menghentikan gerakannya. "Jangan, Naa. Geli," geramnya. "Acaranya masih seminggu lagi, kan?" tanya Bang Dika dengan matanya yang masih terpejam. Aku hanya mengangguk sambil bergumam mengiyakan.