"Itu kak, tadi siang Rea menemuiku di kampus. Ia merengek ingin ikut aku kerumah paman, tapi sayangnya paman gak dirumah. Rea ngajak minum di kafe…"
Nadya memberhentikan ucapannya karena ragu apa yang harus ia jelaskan, jujur atau berbohong?
"Terus?" potong Revan membuat Nadya sedikit terkejut.
"Em… Rea… Rea… nanya pernikahan kita" jawab Nadya gugup.
"Terus?"
"Aku jawab sesuai perjanjian kita, aku tetap ngaku adik angkat kakak"
"Terus?"
"Tadi pas dia nganter pulang, ia menyuruhku memanggil…" terdiam sejenak dan ragu-ragu mengutarakannya.
"Ayo Nad, gapapa. Jelasin aja"
"Manggil istri kak Revan. Katanya ingin kenalan sebagai temannya kakak" Nadya memejamkan matanya, sedikit takut apa reaksi Revan nanti.
"Cuma itu?" tanya Revan yang entah mengapa terasa sedikit lega.
"Iya kak"
"Yaudah kamu kasih tahu yang sebenarnya aja, Nad. Kalo Rea nanya lagi, bilang aja kamu adalah istriku" Revan menjelaskan sambil menyantap kue yang sudah dipotong tadi.
"Tapi kak. Rea kan teman dekat nya kakak" Nadya heran kenapa bisa Revan berbicara begitu, bukankah ini akan membuka rahasia yang mereka sepakati selama ini?
"Tapi apa? Aku sudah memberi mu izin mengaku sebagai istriku di depan umum, gak perlu disembunyiin" jelas Revan lagi, tidak lupa ia menyantap kue potongan ketiga.
Setelah mendengar ucapan itu, Nadya hanya bisa terdiam. Ia tak tahu lagi harus bicara apa, hei bagaimana bisa dengan entengnya mengaku sebagai istri orang di depan khalayak? Terutama di hadapan Rea, kentara sekali jika Rea menyukai kak Revan, begitupun sebaliknya.
"Kenapa bengong, Nadya? Hm?" mendengar suara Revan, Nadya terperanjak kaget. "Makan nih kue, masih ada dua potong tuh, udah aku beliin harus dimakan" seru pemuda didepannya.
Gigitan pertama masih normal, biasa-biasa saja. Pada gigitan kedua meninggalkan sedikit krim di bibir bagian bawah Nadya. Revan melihat kejadian tersebut menelan ludahnya dengan kasar.
Cup…
Tanpa aba-aba Revan sudah mengecup bibir istrinya. Sementara Nadya membelalakkan matanya sempurna, terkejut, gugup, serta detak jantung tak beraturan. Hanya membisu yang bisa ia lakukan sekarang. Kecupan itu hanya sedetik, detik berikutnya Revan mendaratkan bibirnya lagi tepat ke bibir Nadya, sekarang wajah mereka terlalu dekat, wajah Nadya lagi-lagi memanas dan memerah. Apa yang akan dilakukan suaminya ini?. Revan menelusuri wajah yang ada didepannya ini dari atas kebawah terlihat dari gerakan matanya.
"Boleh kan, Nad?" terdengar napasnya berat. Nadya tidak bisa berucap sepatah pun, ia masih gugup setengah mati dan bertanya-tanya, apa yang Revan lakukan! Diamnya Nadya berarti setuju dimata sang Revan.
Kali ini Revan melanjutkan kembali aksinya, disingkirkannya piring kecil tadi layaknya hama pengganggu. Tangan Revan mulai memegang tengkuk leher istrinya dan mencium bibir istrinya dengan lembut, Nadya kalang kabut dibuatnya, kaku dan tak bisa membalas untuk ciuman nya.
Lalu Revan menambah sedikit kekasaran pada ciumannya, melumat bibir merah yang sedikit tebal tapi terkesan menggoda. Terdengar detak jantung keduanya yang kencang menandakan mereka menikmati ciuman manis itu. Ciuman itu berhasil memabukkan keduanya. Sudah berkali-kali Revan menahan hasratnya, tapi saat ini ia tak bisa menahannya lagi. Ciuman yang panas itu berhasil membuat napas mereka tersengal.
"Nad, kamu bergegas lah tidur. Aku takut hal yang lebih dari ini akan terjadi. Aku sudah menahannya mati-matian" pinta Revan setelah beberapa saat tadi menautkan bibirnya dibibir Nadya.
Reflex Nadya berdiri seketika menjauh dan membaringkan tubuh disudut ranjang yang berlawanan lalu menutupnya dengan selimut membelakangi Revan tanpa berkutik sedikitpun.
***
Keheningan dan kegugupan melanda ruangan itu, gemericik bunyi air dikamar mandi dimana penggunanya sedang membersihkan diri. Ragu-ragu Revan ingin mengetuk pintu, tampak tangannya telah terangkat. Namun, diurungkannya.
'Sebaiknya aku langsung kekantor saja, berkat kejadian semalam jadi canggung rasanya' menurutnya ini keputusan yang benar.
'Kak Revan sudah berangkat kekantor kayaknya' terka hati gadis ini. Selang tiga puluh menit Nadya pun pergi juga, kali ini bukan kampus tujuannya. Melainkan tempat magang yang ia bicarakan dengan dosen tempo hari.
Ditempat berbeda Revan menyeruput kopi yang telah tersedia dimeja kerjanya sambil memandangi sekretaris mengesalkan sedang berselfie ria.
'Tunggu saja, pasti akan di upload ke media social nya' . Tak menyangka tebakan Revan terhadap Adit benar adanya.
'Kenarsisan Adit sepertinya tidak akan hilang begitu saja, sudah jadi bagian hidupnya'.
"Lima menit lagi ada pertemuan dengan pimpinan mall yang siap bekerja sama untuk memasarkan produk kita, Pak Revan. Perusahaan kita akan melaunching kan produk pertama kali disana". Adit memperingatkan, tapi tunggu dulu. Sejak kapan ia memanggil Pak?
Sama sekali tidak digubris oleh Revan pernyataan tersebut, ia hanya menarik napas panjang lalu menghembusnya malas.
"Van, ngomong-ngomong hubungan kmau sama Nadya gimana?"
"Kenapa tiba-tiba nanyain itu?" Revan terkejut dan heran.
"Eh, sudah waktunya rapat, Van. Hehe" dengan sigap Adit berdiri mengajak Revan menuju ruangan rapat mengalihkan pertanyaan nya tadi.
Kedua laki-laki yaitu atasan dan sekretaris 'magang' berjalan ke tempat yang telah ditetapkan sebagai ruangan untuk rapat. Pertemuan itu berjalan dengan hikmat, tidak ada kontrak yang batal atau tidak disepakati kedua belah pihak. Pertemuan diakhiri dengan jabatan tangan antara kepala pemegang proyek dan pimpinan mall.
***
Masa bekerja sudah selesai untuk hari ini, Revan berniat mengambil kunci mobil yang bergelantungan ditempat khusus kunci, terhenti seketika.
"Van, ngopi dulu bentar ke kedai langganan aku selama kuliah yuk" tawar Adit, semoga saja atasannya tidak menolak. Terlihat Revan diam dan berpikir sejenak namun pada akhirnya mengiyakan ajakan sekretaris narsis.
Lokasi kedai sebenarnya cukup jauh dari kampus mereka, entah mengapa Adit suka tempat yang jauh-jauh, tapi herannya kedai itu dekat dengan kantor.
Belum sempat habis kopi yang diminum, Revan segera berdiri dan bergegas akan pulang. Namun, lagi-lagi ditahan oleh Adit.
"Van, ada yang mau aku tanyain serius padamu. Duduk aja dulu, masih belom hilang matahari nya" pinta Adit dengan nada sedikit merayu.
"APA?" tanyanya agak membentak. Revan duduk kembali ketempat semula.
"Astaga. Santai Van, aku gak ngajak berantem loh" goda Adit pada atasannya, berhasil membuat Revan menyunggingkan senyum walau hanya sebentar, melihat tingkah konyol temannya.
Mereka berbincang serius cukup lama, pernyataan Adit membuat Revan terdiam dan berpikir lama. Ia masih belum memahami dirinya yang sekarang, tidak pernah terbesit sedikitpun dihatinya melakukan tindakan yang egois, mengakibatkan luka semua orang yang ia kasihi. Tetapi perkataan Adit benar adanya, ia rasa harus segera meluruskan masalah ini.
Revan terbenam dalam pikirannya selama mengendarai mobil yang melaju kearah rumahnya.
"Hahhhh…." Beberapa kali Revan menarik napas panjang lalu menghembusnya cukup kasar.
'Baiklah kita tunggu waktu yang tepat saja' . Sedikit tenang kali ini, dirasa sudah ada gambaran solusi di otak nya yang cemerlang, sehingga kecepatan mobilnya melaju normal.
"Kringgg... kringggg..."
Suara telepon mengganggu telinganya sebelum turun dari mobil. Sembari berjalan menuju kearah rumah Revan merogoh bagian saku tasnya yang biasa dipakai untuk bekerja, terlihat nama teman sekaligus sahabat dari awal kuliah. Yap benar, itu Rea Alexa Ningrum.