"Sebentar saja seperti ini, Nad"
Wanita itu tertegun, kaku, tak berucap sedikitpun. Revan memeluknya? tapi kenapa? Ada apa?. Revan yang memeluknya dari belakang memejamkan mata, meletakkan dagu diatas bahu wanitanya, menghirup, menghapalkan wanginya lalu mencium nya lembut.
Nadya merasa ini tidak benar, ia beringsut maju menjauhkan diri dari Revan. Segera mungkin Revan membalikkan tubuh mungil menghadapnya. Memegang bahunya, sedangkan ibu jari kanannya mengelus lembut pipi merona itu, lalu bergeser ke bawah hingga sampai di bibir.
Revan mencium hangat kening istrinya, mengalirkan kasih sayang yang entah sejak kapan mulai tumbuh lalu menguasai hatinya.
"Izinkan aku mencium mu barang sebentar" ia meminta persetujuan terlebih dahulu. Belum mengucapkan kata pertama nya, Revan sudah menyentuh bibir itu menggunakan bibirnya.
Perlahan tapi pasti, lembut sekali seperti yang dilakukannya di taman masa itu. Revan terus melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman, tak sengaja ia melirik pintu belum tertutup sempurna, bergegas Revan menutup dan menguncinya.
Wanitanya masih saja tak berkutik sedikitpun, masih diposisi semula. Revan menyeringai menang kali ini 'aku mendapatkanmu, Nad. Kau tidak akan bisa pergi dariku dan untuk selamanya'.
Revan melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda 20 detik yang lalu, tangan kiri melingkar indah dipinggang ramping miliknya, tangan kanan memegang tengkuk jenjang mulus, ia perlahan menundukkan kepala hingga sentuhan bibir mereka terulang untuk yang kedua kali nya.
Tubuh Nadya seolah diarahkan dan dituntun ke tempat tidurnya, secara perlahan melangkah dan melangkah. Dengan sigap tangan Revan menurunkan resleting gaun dibelakang tubuh istrinya. Nadya berusaha menolak, tapi itu hanya sebatas pikiran saja. Sungguh berbeda dengan tubuhnya yang meminta lebih dan menikmati setiap sentuhan yang diberikan.
"Izinkan aku menjadi milikmu seutuhnya" Revan bersuara serak meminta persetujuan kedua. Nadya mengangguk pelan menerima pernyataan suaminya. Sungguh dia tidak menyangka Revan melakukannya bukan dengan cara licik ataupun memaksa.
"Aku akan melakukannya perlahan, percayakan semuanya padaku" Revan meyakinkan wanita yang berada dibawahnya.
Sebuah pernikahan bisa dikatakan sempurna jika telah memberikan mahkota kepada seseorang yang layak atas hal itu. Mereka tersenyum bahagia, mengecup kening istri yang dicintainya. Setelah melakukan 'itu' semakin ia mencintai istrinya.
Memang benar, waktu bisa mengubah segalanya. Dari perasaan marah menjadi lemah lembut, dari tatapan benci menjadi tak ingin berhenti menatapnya.
***
Pagi ini terasa cepat sekali datang, rasanya ingin lama-lama tidur sambil memeluk guling istimewa. 'gulingku kemana? Sudah hilang.' Revan meraba-raba tempat disebelahnya, berusaha membuka mata yang seperti tersiram lem, sangat lengket. Sulit sekali hanya sekedar membuka mata saja.
Ia melihat Nadya keluar dari kamar mandi, berjalan sedikit tertatih. Mungkin rasanya baru terasa sekarang. Revan tersenyum senang melihatnya.
"Bagaimana permainan ku tadi malam, sayang? Itu sudah yang paling pelan loh" sapaan dari Revan sangat tidak etis.
"Kerja sana, nanti kakak telat. Masih karyawan magang aja kerja seenaknya" ejek Nadya tak kalah.
"Sekarang udah berani ya ngomongnya. Magang diperusahaan papa tu bebas, biasanya orang biasa disuruh potokopi ini-itu. Suami kamu kan karyawan spesial "
Revan berbegas melangkah kekamar mandi, terhenti seketika "Kalo gak sanggup kekampus, sebaiknya libur aja dulu, Nad."
"Iya kak. Gak perlu disuruh"
Selagi melakukan ritual nya dikamar mandi, senyum Revan tak henti-henti mengembang. Khusus hari ini ingin sekali terus tersenyum,
"Istriku, suami berangkat kerja dulu ya. Minggu depan masa magang udah selesai, istri mau apa?" memandangi wajah dan memegang tangan istrinya.
Menggeleng kan kepala adalah bentuk penolakan yang dilakukan Nadya diiringi sebuah senyuman termanis nya.
"Baiklah. Aku berangkat. Ingat! Jangan melakukan pekerjaan yang melelahkan, nanti malam kita akan bertempur" perkataan Revan memperingati. Namun, berisi candaan.
"He-em" dengan polosnya Nadya mengangguk, seketika heran melihat laki-laki didepannya tertawa, dan seketika pula ia tersadar.
"Eh? Bertempur apa nih?" ucapnya terkejut.
"Temani aku begadang. Laporan magang sudah menunggu. Kamu mikir yang lain ya? Nih kepala pikirannya udah bertamasya kemana-mana aja" Revan menunjuk-nunjuk kening yang ditumbuhi rambut-rambut halus milik istrinya.
"Kerja dulu ya, Hon" derap langkah memelan sedikit demi sedikit hilang dari kamar.
***
Kilas Balik…
Bukan kota namanya jika tidak ada gemerlapnya lampu menerangi jalan, gedung-gedung, rumah-rumah, taman dan ihwal lainnya. Seorang laki-laki yang hatinya diselimuti kebahagiaan seakan bunga-bunga dari dalam menyeruak keluar. Senyum terus mengiringinya saat mengemudi sebuah mobil yang ia gunakan sehari-hari sebagai kendaraan menuju kampus.
Malam ini ia bertekad akan menyatakan cinta dan isi hati kepada Rea, sahabatnya. Ia tak menyangka hari ini benar-benar terjadi, selama ini perasaan itu tersimpan dibagian sudut terujung. Karena ketakutan hilangnya rasa kepedulian satu sama lain jika mereka memutuskan untuk usai. Tidak! Dia tidak tahan lagi kali ini.
Kringgg… kringgg… ponsel nya berbunyi, segera ia menggapai benda yang berada dikursi penumpang sebelahnya.
"Halo, Pa. Revan lagi mengemudi, nanti aja telepon nya"
"Revan, kamu pulang sekarang. Ada hal penting" terdengar ada paksaan disana.
"Tapi Pa…" tak terdengar lagi suara dari seseorang yang ia sebut papa, sambungan telepon itu sudah terputus tanpa menyelesaikan ucapan nya.
Revan mengacak rambutnya kasar, mengapa harus sekarang? Tidak bisakah nanti setelah memperjelas status nya dengan Rea.
"Halo. Van kamu udah dimana?" suara menyejukkan seorang wanita bertanya melalui ponselnya, ia menelepon Rea untuk menunggunya barang sebentar.
"Re, aku disuruh papa pulang sebentar. Kamu tunggu disana, jangan kemana-mana sebelum aku datang. Okey?"
"Oh-okey" Rea tidak mempersalahkannya. Hal mendadak bisa saja terjadi bukan?
Revan dengan sigap dan cepat memutar arah mobil menuju rumah. 10 menit waktu yang dibutuhkan untuk tiba, tanpa meletakkan mobilnya ke garasi khusus kendaraan roda empat. Ia sangat tergesa-gesa sekarang, dengan cepat ia menaiki beberapa anak tangga didepan rumah sebelum pintu masuk utama.
"Papa mana, bi?" ia bertanya kepada pramuwisma yang sedang memegang penampan, diatasnya terdapat gelas yang berisi air teh hijau.
"Diruang keluarga, Nak Revan"
Langsung ia berjalan secepat mungkin mendahului sang bibi yang mengantarkan minuman pada bos rumah ini.
Tanpa duduk terlebih dahulu dan belum menipiskan jarak antara dirinya dan papanya, Revan langsung bertanya.
"Kenapa, pa? kenapa tiba-tiba? Revan tadi masih dijalan menuju tempat penting" tutur nya.
"Duduk dulu sayang" seorang ibu yang menuntun anaknya untuk duduk, mendengar penjelasan ayahnya terlebih dahulu. Dengan terpaksa Revan duduk dan mendengar yang diucapkan ayahnya.
"Van, besok kamu akan menikah sama Nadya. Perempuan yang sering bermain denganmu masa sekolah dasar dulu" tanpa basa-basi.
"Ma. Papa ngomong apa?" tanya nya tidak percaya, tidak paham akan maksudnya.
"Papa Cuma mau ngomong itu doang? Revan kira penting. Revan pergi dulu, pa" ia berdiri dan baru saja melewati laki-laki paruh baya yang sangat ia hormati.
"Papa serius!" tegasnya sekali lagi. Langkah yang hendak keluar terhenti.
"Pa. Revan mohon, sekarang Revan lagi buru-buru. Becandanya besok aja ya" ia melanjutkan langkah nya.
"REVAN. Dengarkan papa dulu. Ini keputusan sudah dibuat dari kalian pertama kali menghirup udara dunia ini. Besok kalian menikah, papa sudah menyiapkan semuanya." Pungkas laki-laki paruh baya itu.
"Hahaha…" Revan terbahak, masih menganggap ini candaan.
"Pa. serius deh, sama sekali gak lucu, kalo memang iya, kenapa gak dari kemarin-kemarin papa kasih tahu?"
"Papa harap kamu mengerti. Papa tidak ingin ada bantahan. Kamu tahu sendiri akibatnya kan?!" ucapan itu lembut, tapi lebih ke ancaman.
"Ma. Bilang kalo papa becanda, bilang gak lucu sama sekali, Ma. Revan udah ada wanita yang Revan sukai dari kuliah" ia mendekat dan meminta penjelasan dari mamanya, jikalau ini hanya kebohongan. Dengan memelas seorang ibu tidak akan tega bercanda yang berlebihan.
"Papa kamu benar, Van. Kamu mau ya? Semuanya demi kebaikan mu, nak" seorang ibu tak tega melihat anaknya linglung seperti itu. Tapi ini harus dilakukannya.
"Maaaa…"
"Paaaa…"
"Revan mohon untuk kali ini aja. Revan gak bisa, lagipula wanita itu Revan gak kenal apalagi menikah. Menikah harus ada ketertarikan satu sama lain, papa tahu hal itu." Ungkapnya memohon.