***
Seseorang yang diselimuti amarah, dia tidak akan menggubris apapun disekitarnya. Suara yang menghampiri seolah lenyap begitu saja. Rasanya ingin sekali memukul tembok dengan buku tangan. Tidak tahu kemana amarah itu akan dilampiaskan, sehingga efek nya isakan tangis hingga sesenggukan.
Ia merasa dipermainkan, apakah mereka tidak memikirkan mental seseorang yang terpaksa. Bisa saja salah seorang berada diposisi itu melakukan hal-hal tanpa diduga-duga. Ia berusaha menerima, karena ia tahu mereka berdua adalah korban keegoisan orang tua.
Disaat perasaan keduanya mulai tampak, ternyata dibalik kesenangan itu ada kesulitan yang tertutup. Andai ia dahulu mencari tahu apa penyebab mereka dijodohkan. Setidaknya ia tidak akan seterkejut ini.
Ia butuh penjelasan sekarang. Satu-satunya narasumber adalah Wahyu, ayahnya sendiri.
Revan bergegas menemui istrinya di rumah yang sedang duduk di sofa dengan kaki terjulur lurus kedepan, ditemani lembaran-lembaran komik bergenre komedi. Terbukanya pintu kamar, Revan menatap istrinya yang tertawa. Ia sungguh tidak tahu, menurutnya hanya ada dua pilihan.
Pertama, menerima dan beranggapan semuanya baik-baik saja, tetapi apa semudah membalikkan telapak tangan? Dirasa tidak. Kedua, memprotes karena berhutang penjelasan terhadap dirinya.
Jika pilihan pertama maka mereka kembali melakukan kegiatan normal selayaknya memerankan peran yang apik. Jika memilih yang kedua, secara tidak langsung mengumandangkan permusuhan dia dengan Ayahnya.
"Hei sedang apa? Kenapa cekikikan sendiri?" tanya Revan lembut, menutupi kemarahannya. Tidak ingin Nadya menyalahkan dirinya atas pernikahan ini.
Sudah lama Revan tidak melihat gigi yang tersusun rapih itu. Nadya sangat dalam situasi menyenangkan. Dengan cepat mengalihkan pandangan nya.
"Sudah pulang? Kenapa hari ini lebih cepat dari hari biasanya?"
"Rindu?" jawabnya enteng.
Revan mendekat, berjongkok disamping istrinya. Memperhatikan setiap inci wajah istrinya. Nadya yang sedang bersantai kebingungan, ia berusaha tidak mengomentari perlakuan laki-laki itu.
Telunjuknya mulai bergerilya, "Kening ini kenapa bisa jadi kecil?" racaunya. "Hidung ini juga kenapa bisa kecil?" telunjuknya yang mengetuk-ngetuk lembut dipuncak hidung perempuannya.
"Dan bibir ini kenapa bisa jadi mungil?" sorot matanya melihat kearah sana.
Berdesir rasa darah di tubuh. Melihat tatapan sendu itu. Sebelumnya pemandangan ini tidak ada.
"Menurut pandangan mu, aku ini apa?" tanya Revan penasaran.
"Ma-maksudnya?" Nadya tergagap.
"Pantas jika aku selalu berdampingan denganmu?" ia mulai terisak. Ia merasa belum tenang. Jika pernikahan ini bisa direncanakan, bukan berarti perpisahan juga dalam tahap perencanaan pula bukan?
Senyuman lembut perempuan ini membuatnya sedikit meredam isakan tadi. Lalu Nadya menangkupkan tangannya ke wajah laki-laki didepannya, menatap intens.
"Sepertinya tidak perlu kamu tanyakan. Sebaliknya, karena aku yang paling beruntung saat ini"
"Maaf. Aku tidak bisa jadi yang terbaik" masih menahan isakan yang kapan saja bisa keluar.
"Maaf…" seorang Revan mengesampingkan harga dirinya menangis didepan orang yang tidak ia sangka-sangka.
"Kamu butuh pelukan" ucap Nadya menenangkan. Mendekap suaminya dengan hangat, nadya yang berlutut mensejajari suaminya menepuk-nepuk pelan punggungnya. Membiarkannya menangis, hingga terlihat bercak air mata di baju biru langit miliknya.
Lima menit…
Sepuluh menit…
Dua belas menit pun berlalu…
Nadya yang merasa suaminya sudah tenang, melepaskan dekapannya.
"Mau minum? Atau mau sesuatu?" tawar nya pada laki-laki dengan mata sedikit sembab itu.
Nadya masih berpikir, mengapa suaminya tiba-tiba seperti ini, mungkin masalah pekerjaan sehingga emosi nya tidak terkontrol.
"Tidak. Aku tidak mau apa-apa. Tapi aku mau kamu" ucapnya polos.
Nadya terkejut dan terdiam, laki-laki ini tidak bisa memilah ucapannya lagi sekarang. Antara jujur dan kemauan.
"Hayo mikir apa?" ucapannya membuyarkan lamunan Nadya.
"Aku mau kamu maksudnya, kamu jangan kemana-mana, diam disini, ada sesuatu yang harus kita sepakati"
"Geser sedikit, aku mau berbaring" pinta Revan tanpa ada rasa malu.
"Sofa nya tidak cukup untuk berdua, kamu berdiri disana saja" suruh Nadya. Ia tidak mau berdekatan sekarang. Bisa pingsan dia gara-gara jantung yang berhenti memompa darah, karena gugup.
"Tidak bisa, kita harus berdekatan" alasan Revan demi mendapatkan pelukan dengan posisi terbaring.
Dengan terpaksa Nadya bergeser memberikan sedikit ruang untuk suaminya yang tidak bisa ditebak keinginannya. Revan berbaring disebelah Nadya, memiringkan tubuhnya kekanan menghadap istrinya. Kepalanya yang bertumpu pada tangannya sambil mengamati wajah lugu tersebut.
"Bagaimana jika kita pindah dari rumah ini, Nad?" Revan mulai membuka percakapan, ia yakin Nadya akan setuju. Sejak kapan Nadya berani menentangnya.
"Mama Papa sendirian, kak. Mama kasihan, kesehariannya pun sendiri. Aku, kamu pergi sejak pagi, jam pulang tidak pasti"
Revan tampak diam memikirkan alasan untuk merayu istrinya pindah dari tempat ini. Ia ingin menjalani pasangan normal lainnya. Pulang dibukakan pintu dengan sambutan hangat setiap harinya. Memakan masakan istri sehari-harinya, memiliki malaikat kecil. Pasti itu kebahagiaan yang tiada duanya.
Mungkin ia bersikap mementingkan dirinya sendiri, tapi percayalah ia memimpikan hal-hal sederhana seperti itu.
"Kamu tahu? Beberapa hari terakhir aku melihat salah satu karyawan kantor telah menikah juga. Setiap hari suaminya menyempatkan diri mengantar dirinya. Sebelum istrinya masuk kantor ia mencium nya"
"Sejak kapan kak Revan mengamati hal-hal seperti itu?" tanyanya tidak percaya.
"Sejak hari ke empat aku magang, mungkin
"Kamu tau? Itu membuatku merasa iri" Revan menyengir bodoh, dan malu. Tetapi ia tutupi.
"Ayo Nad kita memulai hidup hanya ada kita berdua, layaknya pasangan diluar sana. Kalau masih satu atap dengan mama papa, aku merasa tidak bisa bebas denganmu"
"Baiklah. Aku mengikuti apapun keputusan kak Revan selagi tidak merugikan orang lain"
Akhirnya, rasanya gumpalan yang menyesakkan tadi sudah terbang menghilang. Kehidupan normal yang diinginkannya entah sejak kapan akan terwujud.
***
Timbul keinginan…
Hari keempat magang berasa flat. Revan merasa kosong, jika berpikir dalam hal ekonomi sangat tidak mungkin, apapun yang dibutuhkan dan diinginkan dengan mudah ia mewujudkannya. Kekosongan itu lebih komplit karena cahaya matahari redup bahkan hampir hilang. Hanya ada gerombolan awan-awan abu yang tampak. Cuaca juga terasa lebih sejuk.
"Dimana staff yang biasa mengantarkan laporan rapat pada saya? Hari ini dia tidak keruangan, malah saya yang menghampirinya" tanya nya pada karyawan yang duduk pura-pura fokus pada pekerjaannya.
"Lina ya pak? Tadi dia izin menyusui anaknya, pak" jelasnya sopan.
Revan paham akan hal itu, ia memakluminya. Kemudian, keesokan harinya. Seseorang yang dicarinya kemarin baru saja turun dari mobil. Bisa saja ini kebetulan, Revan melihat nya dari ruang kerja kekuasaannya.
"Bukankah dia karyawan yang aku temui kemarin?" baru saja ia akan menyeruput kopi, terabaikan karena perilaku suaminya yang mencium kening di ruang public yaitu diluar gedung kantor tepat disamping mobil.
Revan yang hanya melihatnya melengus sinis. Ia merasa tidak suka, entahlah. Rasa memang tidak sejelas itu.
Hari-hari berlalu, hari ini hari ke sepuluh ia menyaksikan drama perkantoran. Dimana pemeran utamanya seorang karyawan biasa, perannya disini hanya figuran yang lalu lalang saja.
Duduk sendiri diruang kekuasaan, membuatnya kembali berpikir. "Mungkin ini rasa iri, jujur aku juga ingin melakukannya" ungkap batinnya terlalu jujur.
Keangkuhan dan kegengsian telah mendominasi jiwanya, butuh berapa lama ia akan mengatakannya pada Nadya. Pertama, dia ingin sekali memangsa tubuh putih istrinya. Kedua, ingin dimanja dan dibelai bukan bicara seadanya seperti sekarang. Ketiga, bersikap romantis satu sama lain.
Keinginannya gagal ia ungkapkan, ia lebih mementingkan keegoisannya daripada rasa kenyamanan dan hangatnya sebuah pelukan.