Chereads / Cinta Wanita Lugu / Chapter 25 - EPISODE 24

Chapter 25 - EPISODE 24

Dua bangku taman berbentuk bundar menjadi tempat kami berkompromi, Siswi mungil itu duduk cukup jauh dihadapanku. Ku lihat kegugupannya tidak hilang sedari tadi. Ia mremas-remas tangan selayaknya orang merasakan kecemasan.

"Aku tahu kamu yang mengirimkan pesan kemarin" ucapku tanpa basa-basi. Kuperhatikan ia hanya menundukkan pandangan, entah apa yang dilihatnya dibawah sana.

"Tolong beri penjelasanmu" pintaku masih sopan antar sesama murid. Mengapa masalah sepele saja aku sampai sejauh ini? "Umur kamu berapa?" lucu sekali aku menanyakan umur, padahal tidak ada kaitannya dengan rasa penasaranku.

Menunggunya membuka suara membuatku jengkel. "Cukup beri tahu namamu saja" akhirnya aku menyerah, untuk hari ini namanya saja sudah cukup.

"Na..Nadya. Namaku Nadya. Maaf aku tidak bisa memberitahumu. Permisi" ia segera berdiri meninggal kan ku yang termangu.

Memang benar kiasan tentang penasaran bisa membunuh. Sejak perbincangan tidak membawaku hasil, aku memutuskan membuntutinya. Dia siswi kelas dua belas, sama sepertiku, tapi kenapa wajahnya sangat muda.

Hari berikutnya aku juga mendatangi kelas yang diujung itu. Aku tidak bisa memasukinya, banyak pasang mata yang siap menginterogasi. Kuhitung, empat hari sudah kunjunganku kekelasnya. Baru saja aku ingin kembali, laki-laki kukenal namun tidak tahu namanya menghampiri Nadya.

Aku tidak bisa mendengar apapun dari sini, yang jelas laki-laki itu banyak bicara, dilihat dari gelagatnya mereka tidak lebih dari teman. Tetapi hanya terkaan saja, tidak lebih dari 20 detik kuputuskan menghampiri mereka.

Laki-laki yang banyak cerita tadi tidak menunjukkan ocehannya lagi. Keduanya terkejut, bisa dipastikan mereka bertanya-tanya dengan kedatangan ku.

"Boleh bergabung?" entah ruh apa memasuki kepalaku, baru kali ini aku menepis gengsi. Mereka bergeming, kuputuskan saja tetap disana.

"Ternyata kamu satu angkatan denganku" pecahku di tengah keheningan. Masih saja. tidak dianggap masih saja terasa. Aku juga tidak memperdulikannya.

***

Sudut pandang Adit…

Aku sangat tidak suka situasi ini, dia datang tiba-tiba dan mengganggu. Siapa yang tahu dia tertarik dengan Nadya, aku menangkapnya begitu. Karena tidak pernah bagiku melihat Revan bersikap demikian. Untung saja lonceng sekolah berbunyi, kami berdua undur diri dari kelasnya Nadya.

"Kau menyukainya?" tanyaku terlebih dahulu saat kami bersama berjalan menuju kelas masing-masing. "Diam mu berarti iya" senyumku, tak percaya.

"Bukan urusanmu" tekan nya dengan sorotan tajam mengarah padaku. Melihat punggung nya yang berlalu, aku memikirkan sesuatu seru untuknya.

Ada sesuatu bergetar di saku celana abu-abu yang kukenakan saat tiba dikelas. Pesan dari teman sepelatihan memanah. 'Latihan jam 16.00 hari ini' isi teks itu. Sekitar tiga bulan aku mengikuti pelatihan memanah, hanya sekedar hobi dan jawaban dari rasa penasaranku. Sejak Sekolah Menengah Pertama aku menginginkannya.

Disekolah ku jam pulang sekitar 14.45, aku meminta Randi mengantar kerumah sekedar ganti pakaian. Hari ini matahari terik, aku memakai celana pendek selutut sama kaos saja untuk latihan. Aku juga meminta Randi menunggu sebentar, sekalian diantar ke tempat latihan.

Untuk waktu tiga bulan menurutku sudah cukup pandai mengarahkan anak panah pada objek sasaran. Karena hari ini pikiranku kacau, tidak sedikit anak panah melesat tidak sesuai. Tepat sekali, pikiranku hanya terfokus pada Revan dan Nadya. lelaki bodoh saja yang tidak mengetahui Revan tertarik dengan Nadya.

"Aku pulang duluan ya" pamitku setelah meletakkan busur pada tempatnya, sebenarnya latihan belum selesai dari waktu yang ditentukan.

Tanpa menghiraukan teman yang menghentikanku dengan pertanyaan-pertanyaan, aku melenggang keluar. Aku bertujuan menemui Revan, kupikir berteman dengannya bisa mengulik sesuatu yang baru.

Sebelum itu aku telah meminta Randi mencari tahu alamat rumah Revan. Kupencet bell khas rumah yang dominan berwarna abu muda.

"Saya teman sekolah Revan. Kami ada tugas yang mengharuskan datang kesini" dusta ku pada pramuwisma pembuka pintu.

Setelah dipersilahkan duduk, bibi itu menghampiri Revan. Terlihat dari rautnya, Revan sangat terkejut. Aku siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.

"Ada perlu apa?!" tegasnya tak suka. Namun, berjalan mendekat.

"Menemuimu" jawabku santai seolah kami teman dekat.

"Aku tidak perlu ditemui. Dan sejak kapan tahu rumahku?"

"Alamatmu sangat mudah ditemukan. Siapa yang tidak tahu seorang Revan. Laki-laki dirindukan secara diam" candaku menahan tawa.

"Pergilah" suruhnya dengan melangkah kembali ke kamar.

"Eittss.. tunggu dulu" Aku langsung berdiri, berlari kecil melewati nya dan menghentikan nya. Revan tidak menghiraukan, malah melewati ku yang berada didepannya. Aku mengikuti nya hingga dikamar.

"Tidak usah basa-basi. Apa maumu?" ketusnya.

"Baiklah jika kamu memaksa" aku menghela napas sesaat. "Bersainglah secara sehat" ucapku lantang. Ia berpikir, mencerna maksud yang dikatakan olehku.

"Baik. Sekarang pergilah" usirnya terang-terangan untuk kedua kalinya.

"Sebelum itu aku ingin bertanya. Apa yang kau ketahui tentang Nadya?" tanyaku, siapa tahu dia luluh tentang Nadya.

"Apa kita sedekat itu? Kurasa tidak. Tidak perlu aku beritahu bukan?" ucapnya, sambil melenggang keluar entah kemana.

Ini bukan awal yang bagus menurutku, bagaimanapun aku orang pertama bertemu Nadya waktu itu. Dia yang datang setelah ku bukan?

"Halo. Ran. Ajak anak-anak kerumah. Ada hal-hal yang perlu kita lakukan" aku putuskan menelepon teman yang kupercayai, yaitu Randi setelah aku menjauh dari rumah besarnya Revan.

***

Sudut pandang Revan…

Mengesalkan sekali. Entah ada ilham apa dia kerumah ini. Namanya saja aku tidak tahu, memaksakan mengakrab kan diri denganku. Tahu apa dia tentang kehidupan ku.

Untuk menghilangkan kekesalan, aku membaringkan diri diayunan besi taman belakang rumah, nuansa hijau sedikit membuatku rileks. Menyendiri sambil memainkan ponsel salah satu penghilang kebosanan.

Tanpa sadar aku mengklik gambar telepon pada ponsel, belum tersimpan nomor nya ternyata. Aku tahu itu satu-satunya nomor yang belum tersimpan. Sudah tiga kali namun tidak ada sahutan disana.

'Besok disekolah ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Bisa bertemu?' kukirim kan pesan itu.

Lama sekali aku menunggu balasan nya. Jelas-jelas telah terkirim, apa memang dia yang menyatakan rindu waktu itu? Atau temannya saja yang iseng. Kenapa aku kecewa jika benar temannya melakukan itu? Ah.. sudahlah.

Selepas isya baru ada notifikasi pesan masuk diponsel ku. 'Baiklah' balasnya pada pesan yang aku kirim sore tadi. Empat jam sudah aku menunggu balasannya. Apa wanita memang seperti ini?

Lesu setelah membaca balasannya, aku seperti tidak dianggap. Jadi kusimpulkan pesan itu bukan dia yang mengirim.

"Bibi. Susu dikulkas kok tidak ada?" teriakku didepan kulkas yang pintunya masih terbuka. Benar sudah SMA pun aku masih minum susu, aku menyukainya. Jika ada teman mengejek ku, aku anggap dia tidak tahu apapun tentang nikmatnya minuman ini.

Bibi tergopoh-gopoh menghampiriku, sadar aku bukan anak yang baik. Berteriak pada hal sepele, tapi aku memang seperti itu. Jika suatu barang yang aku butuhkan tidak ada ditempat biasanya, mulutku yang mencarinya. Kupikir itu kebiasaaan buruk.

"Dalam lemari bawah kayaknya, Van. Bibi ambilkan dulu" bibi berjongkok menggapai kardus susu itu. Baru saja bibi memegang dua kotak susu untuk ditaruh dalam kulkas. Aku menahannya.

"Tidak usah, Bi. Revan aja yang menyusunnya" pintaku, setelah merasa bersalah berteriak padanya.

Kling… ponselku berbunyi. 'Bertemu ditaman kemarin' ternyata pesan dari Nadya yang tidak kusangka-sangka. Tentu saja aku mengembangkan senyum, walaupun secarik pesan darinya.

Jujur aku tidak tahu jelas, tetapi aku merasa pernah melihatnya. Hari itu tanpa sengaja aku melihatnya tersenyum, senyumnya mirip sekali dengan seseorang, bedanya sekarang giginya rapih dan putih. Ingatanku mengatakan senyum itu dulu menampakkan gigi yang ompong.