Sudut pandang Revan…
Sesuai permintaan nya kemarin, aku tiba terlebih dahulu ditaman terkahir kami bertemu. Ada rasa menyenangkan entah mengapa. Setelah Nadya tiba, buru-buru aku menghilangkan kembangan senyum, memasang tampang serius.
"Kamu tidak usah khawatir. Aku tidak akan menemui mu lagi. Jika aku melihatmu tanpa sengaja, secepatnya aku menghilang dari penglihatan" pernyataan nya tanpa basa-basi.
Aku terdiam sekaligus terkejut. Kembangan senyum yang sengaja aku tutupi tadi menjadi hilang dalam artian sebenarnya.
"Tentu. Itu yang mau aku katakan padamu sebelumnya. Syukurlah kamu mengatakan nya duluan. Tapi beritahu aku siapa yang mengirim pesan itu. Kuharap kamu tidak berbohong" aku menatapnya sinis dan kecewa. Benar sekali, aku merasa kecewa. "Dengan wajah polosmu itu tidak mungkin berbohong, bukan?" ketusku.
"Be.. benar" terdengar suaranya gemetar. "Tebakanmu benar. Kau sudah mendengar jawabannya kan?! Permisi" Nadya berlalu meninggalkan ku.
Aku menyunggingkan senyum kecut tak percaya. Perempuan itu berani sekali, sungguh aku masih tidak menyangka. Tanpa rasa bersalah ia menghilang dari pandanganku.
Sudut pandang Adit…
Tidak tahu kenapa, tubuhku selalu terdorong dan menginginkan menjumpai Nadya. berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri, apa keistimewaan nya? Anaknya saja irit bicara. Tubuhnya mungil, sangat berbeda dengan tipe perempuan impianku. Terkadang begitulah kehidupan, kebalikan dari kemauan itu sendiri yang kita dapatkan.
Belum sempat aku tiba dikelasnya, dia berjalan menuju taman didepan yang dekat gerbang utama. Bukan manusia jika tidak penasaran, aku mengikutinya diam-diam. Dia menemui Revan yang telah menunggu.
Aku mendengar Revan berbicara dengan menahan amarah, dan yang paling aku ingat adalah jawaban Nadya. jawaban itu berputar-putar di pikiranku. kecewa, sakit hati, Akupun tidak tahu, seorang Adit kalah sebelum mengungkap rasa.
Amarah memuncak, benci sebenci-bencinya dengan laki-laki itu. Aku ingin sekali meninjunya sampai hidungnya mengeluarkan darah. Tidak. Ada cara terbaik yang aku pikirkan.
Kususul Nadya yang melangkah menuju kelasnya. Mungkin dia tidak ada tujuan lain selain kelas ujung itu. Aku tidak pernah melihatnya bersuka ria diluar kelas, yang aku tahu jika lapar saja ia melangkah kekantin.
Kutatap rautnya yang sendu dari kejauhan, kenapa kamu sangat bodoh? Bahkan satu sekolah pun Revan itu tidak memperdulikan sekitarnya.
"Ran. Sore nanti temani aku melakukan sesuatu" pintaku saat menghampiri nya yang sedang serius menyalin catatan yang tidak seberapa itu.
"Kemana?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan nya dari buku tulis.
"Hanya membantuku. Mengantar ku pulang menjemput busur"
"Ha? Kenapa dibawa kesekolah? Nambah-nambahin kerjaan" kejutnya bercampur kesal.
"Ayolah… kau tidak perlu melakukan apapun, hanya menyopir untukku saja" senyum rayuku.
Ia bergeming dan aku tahu ia akan setuju, Randi tipe orang yang tidak bisa menolak, apalagi senyum manisku mampu menghipnotisnya.
***
Entahlah… rasa yang sangat menggebu mengharuskan ku melakukan nya. 'Aku berjanji tidak sampai menghilang kan nyawamu, Van. Hanya pelajaran kecil saja' gumam ku sembari menunggu Nadya keluar dari kelasnya.
Aku melihat-lihat pintu keluar masuk itu berharap dia segera muncul. Hingga murid terakhir pun Nadya tidak muncul juga. Bergegas aku mendekat dan menilik, baru saja dia menautkan ransel dipunggung. Syukurlah, kukira ia sudah pulang duluan.
Segera aku menarik tangan nya "Ayo kita bicara, apapun jawaban mu aku berjanji tidak akan terlihat lagi olehmu" ia terdiam, aku tahu apa yang dipikirkannya. Seperti ingin bertanya namun segan.
Nadya melepas paksa tangan nya yang aku pegang tadi "Bicara disini saja" pintanya. Aku memilih mengalah, padahal aku ingin mengajaknya makan atau apapun itu yang jelas bukan di lingkup sekolah.
"Halo, Ran. Tunggu aku dimobil. Rencana berubah, aku akan mengutarakan nya disini saja" aku meneleponnya, jarak antara parkir dan kelas tidak memungkinkan untuk bicara langsung.
"Okeey.. baiklah" jawabnya terdengar datar.
Lalu pandangan ku beralih ke wajah berseri gadis mungil itu.
"Maaf, aku tidak tahu apa. Tetapi aku merasa harus meminta maaf sebelumnya padamu-" seperti dugaanku, dia hanya diam.
Tak sengaja pandangan ku menangkap Revan yang berdiri cukup dekat. Dan kukira cukup untuknya mendengar suaraku, tanpa sadar aku menyungging kan senyum menang tanpa sepengetahuan gadis ini.
Kuusap lembut rambutnya. Namun, langsung ditepis olehnya.
"Kumohon apapun yang aku katakan, anggukan saja kepalamu, Nad. Kumohon bantu aku" aku meminta juga memelas.
"Baiklah, jika aku menuruti mu. Kamu tidak seharusnya menghampiri ku lagi. Anggap kamu tidak mengenalku" wah baru ini aku mendengar bicara nya yang tidak irit.
Tetapi apa dia tidak mencurigai sesuatu? Kalau dipikir-pikir, untuk apa aku meminta menganggukkan kepala tanpa ada niat tersembunyi, dan hanya kita berdua disini. Kecuali Revan yang hanya aku mengetahuinya.
Aku menghela napas "Nad, jadilah kekasihku" ucapan ku terdengar membentak. Sontak Nadya melangkah selangkah kebelakang. Jujur aku gugup setengah mati, walaupun aku tahu jawaban yang terlontar dari mulutnya.
Nadya mengangguk seperti pintaku sebelumnya, ia sempat diam dan kelagapan. Lalu aku melirik lagi ke arah Revan, benar saja rautnya yang marah bercampur kecewa meninggal kan tempat itu.
"Terima kasih telah membantuku, aku sudah gugup setengah mati padahal hanya berlatih. Aku tidak tahu meminta bantuan siapa, terlintas dipikiranku cuma kamu, Nad. Maaf ya" elak ku supaya tidak terlihat mempermalukan diri sendiri.
Nadya terlihat lega sekali setelah mendengar pengakuan ku dan pernyataan ku tidak benar-benar serius. Itulah pentingnya mendengar dan melihat hingga selesai apa yang kita lihat dan dengar, contohnya Revan yang hanya mendengar sebagian, dan pergi dengan kekesalan dan amarah. Padahal endingnya tidak seperti yang kita banyangkan.
"Ngomong-ngomong, aku besok pindah sekolah kejogja. Pekerjaan ayahku pindah kesana. Entahlah aku hanya ingin memberi tahu mu saja. Terima kasih bantuan nya. Mau sekalian aku antar pulang, mumpung teman ku membawa mobil"
"Tidak usah, pamanku berpikir yang tidak-tidak nantinya. Terima kasih tawarannya. Permisi" Nadya berlalu menuju parkiran khusus motor.
Kukira dia tidak tahu apa-apa, ternyata lihai juga mengendarai motor. Kiraku perempuan itu bisanya cuma menye-menye tidak jelas. Mungkin dia lihai juga mengendaraiku di ranjang.
"Apa sih Adit. Usiamu baru menginjak delapan belas tahun, itupun resminya dua bulan lalu" bicaraku pada diri sendiri, juga tak habis pikir dengan otak mesum ini.
Saatnya aku bersantai dalam mobil yang menungguku sejak tadi "Lama ya pangeran Adit menyelesaikan misinya" ketus Randi sesaat aku duduk dikursi penumpang mobilnya. Aku hanya terkekeh.
Selang beberapa detik Revan menghampiriku, mengetuk-ngetuk kaca mobil. Wajahnya yang diselimuti amarah. Ku buka pintu mobil yang belum terkunci, dan satu pukulan mengenai hidung dan sudut bibirku, belum sempat berdarah. Randi segera meleraikan kami, ia takut sesuatu tidak diinginkan terjadi. Sebab aku membawa busur sekaligus anaj panahnya.
Benar kan tebakan ku, Revan telah jatuh pada pesona Nadya.
"Laki-laki seperti kau tidak pantas" tegasnya.
Tidak pantas? Aku tertawa terbahak "Terserah. Yang penting kami punya status jelas sekarang" senyumku penuh kemenangan "Jadi, terima kenyataan, Van"
Revan masih dipenuhi amarah, ia tidak memperdulikan Randi ditengah kami. Revan menarik kerah baju putih ku, menghantamkan buku tinjunya ke wajahku. Kali ini darah mengalir melalui hidungku, aku merasakan perih.
Revan masih juga kalap, aku sudah tidak tahan. Kuambilkan anak panah didalam mobil pada kursi penumpang belakang. Seharusnya aku menggagalkan rencanaku untuk membidikmu dengan anak panah ini, sepertinya kuurungkan. Aku sudah muak dengan mu.
Ku hujam anak panah mengenai lengan bagian atas kirinya. Menyucur darah dari sana. Revan berhenti menggenggam kerahku.
Kukira Nadya sudah pulang duluan, ia menyaksikan pertengkaran kami.