Pintu lift terbuka, ada beberapa karyawan keluar dari lift tersebut. Kemudian masuklah mereka kedalam lift yang sama. Perempuan tadi menekan angka nomor 5, kebetulan atau tidak, Adit juga menuju lantai itu untuk mengambil berkas diatas meja kerja Revan.
'Kenapa dia kelantai yang sama denganku. Siapa dia, disana hanya orang tertentu saja bisa mendatanginya' pikir Adit.
"Dik, kamu menemui orang tuamu ya?" tidak ada rasa canggung darinya. Hanya saja ia terus memanggil Adit dengan sebutan dik. Dan membuat adit tersulut emosi.
"Iya kak. Papa saya kebetulan bekerja disini" seramah mungkin dan semanis mungkin ia mengembangkan senyum dibuat-buat.
Adit pergi dulu meninggalkan perempuan tadi, bergegas memasuki ruangan kerja Revan mengambil berkas yang dibutuhkan.
Tepat dipintu ruangan itu terhenti langkahnya, tak sengaja mendengar perempuan tadi bertanya pada karyawan disana.
"Ruangan Pak Wahyu dimana ya?" tanyanya.
"Mari Bu, saya antarkan" ujar karyawan itu sopan.
Belum sempat mereka beranjak, Adit menghampiri.
"Biar saya yang antar" tawar Adit. Dianggukan oleh karyawan wanita disana.
"Ayo" ajak nya. Diikuti perempuan itu.
"Kau siapanya Pak Wahyu?" tanya Adit penasaran. "Karyawan barunya? Tapi kenapa langsung kesini? Bukan urusan bos dalam hal terima karyawan".
"Tidak usah banyak tanya, dik. Umurmu belum cukup mengetahui begituan" candanya dari belakang yang mengikuti Adit.
Menghela napas panjang, menentramkan pikirannya, Adit memasang wajah datar. Meredam emosi untuk tidak menyumpal mulut perempuan itu.
"Ini ruangan nya" tunjuk Adit dengan dagunya. Perempuan dihadapannya tersenyum manis melihat raut Adit yang penuh kekesalan. Tanpa kata Adit berlalu.
"Terima kasih" raung perempuan tadi. Adit tidak memperdulikannya, ia tetap melangkah mendekati lift disana. "Namaku Nabila" ungkapnya menghentikan langkah kaki pria berkemeja itu sesaat.
"Untuk apa ia memberi tahu namanya, mana aku peduli" gumamnya didekat lift yang terbuka.
***
"Mana sih toko yang Adit bilang tadi. Udah mutar-mutar belum ketemu" gerutu Revan dibalik kemudinya, sambil mengedarkan pandangan, fokus mencari 'Moon Flowers' yang disarankan.
Beberapa kali ia mendatangi tempat yang sama, ia merasa masih kurang teliti mencari. Revan tetap kekeh menemukan toko bunga itu, saran seorang teman biasanya tidak mengecewakan.
"Kenapa bisa tidak terlihat sih. Padahal berulang kali aku melewati jalan ini. Untung butik pakaian muslim ini kutemukan" pada akhirnya ia menemukan tempat yang dicari-cari selama dua puluh menit.
Toko bunga itu tepat disebelahnya, bagi pelanggan pertama memang agak sulit menemukannya. Toko nya kecil dan sedikit ditutupi butik pakaian muslim. Plakat yang disediakanpun sudah mulai memudar termakan cuaca.
Kedatangannya disambut bermacam-macam bunga, beraneka ragam dan warna. Terdengar bunyi lonceng disaat Revan membuka pintu.
"Mencari bunga jenis apa, Tuan?" sambutan dari salah satu pekerja disana.
��Saya mencari bunga untuk istri saya" Revan tak paham betul jenis-jenis bunga.
"Biasanya para lelaki yang datang kesini meminta mawar merah, Tuan. Sebagai hadiah untuk pasangannya" pekerja itu menunjuk kearah kumpulan mawar beraneka warna. "Istri anda menyukai mawar warna apa, Tuan?" lanjutnya.
Revan kelagapan, mana tahu bunga kesukaan Nadya. Setelah mereka bersama, ia sama sekali tidak bertanya hal-hal kesukaan ataupun semacamnya. Pria itu terdiam sejenak.
"Saya mau mawar merah saja" pintanya. Ia malu jika sebagai suami tidak mengetahui apapun persoalan istrinya. Ia asal menerka saja dengan meminta mawar merah.
"Tuan. Anda bisa memilih mawar asli yang kami petik dari kebun atau mawar yang terbuat dari bahan buatan"
"Saya mau yang asli" ia berpikir 'untuk apa yang palsu jika aslinya saja bisa kudapatkan'. "Bucket besar ya, mbak" tambahnya saat pekerja itu beranjak.
Revan berkeliling melihat-lihat bunga-bunga cantik ditoko itu. Memegang dan membelai kelopak-kelopak bunga yang menurutnya menarik selagi pekerja menyiapkan pesanannya.
'Oke juga ilmu Adit tentang bunga. Toko ini menyediakan semua nya. Lengkap dan komplit' pikirnya mengangguk-angguk.
Merakit bucket bunga besar membutuhkan waktu lumayan panjang. Revan terus melihat jam dipergelangannya. Ia khawatir Nadya menunggunya terlalu lama.
"Mbak masih lama ya?" tanya Revan berulang-ulang.
Kali ini ia duduk dan gusar pada kursi yang tersedia ditoko itu menunggu bunganya. Baru ia akan bertanya untuk kesekian kali, pekerja toko sudah membawa bucket pesanannya. Bucket itu kebesaran jika dilihat dari tubuh pekerja yang lebih kecil dari Revan. Hampir menutupi seluruh wajahnya.
Pembayaran telah dilakukan sebelum pekerja merakit pesanannya. Sangat enteng Revan membawa bucketnya. Ia taruh dibagian belakang mobil. Menginjak gas menuju tempat sang istri magang.
"Untung tepat waktu aku datang" syukurnya.
Revan memainkan jarinya pada stir menunggu Nadya pulang. Selang lima menit ia melihat istrinya baru keluar, dan ia sendirian, tanpa teman seorangpun.
"Halo" sambut Nadya melalui telepon.
"Aku sudah diparkiran" Revan memperjelas, ia tak ingin jika istrinya kebingungan mencari-cari.
Pria itu sudah menunggu dengan bucket dipegangannya, tubuh bersandar pada mobil, menimbulkan sisi tipe pria yang digilai para wanita. Kacamata semakin membuatnya berkali lipat digilai para wanita. Hanya saja wanita disana cuma istrinya, jadi tidak ada yang berbisik-bisik membahas kesempurnaan yang ia miliki.
Nadya yang melihatnya pun tidak menyangka, sungguh terheran, terkejut. Bahkan ia merasa ini mimpi belaka.
Revan merentangkan tangan kirinya, siap diberi pelukan. Ia membayangkan Nadya berlari menghampiri lalu memeluknya penuh haru. Mengucapkan ribuan terima kasih.
Siapa menyangka itu khayalannya saja. Istrinya hanya menghampiri berdiri tepat di depannya dan bungkam. Nadya tak tahu harus bagaimana. Ia merasakan bahagia, tetapi terlalu malu baginya jika memeluk dikhalayak umum.
"Kejutann…" seru Revan tersenyum lebar. "Peluk dong. Susah-susah aku kesini membawa bucket besar ini" gerutunya lagi.
Nadya berbisik "Malu, kak. banyak orang melihat" kekiri kekanan ia melihat orang-orang.
"Untuk apa malu. Aku suamimu" Nadya ragu-ragu mendekatinya. "Baiklah jika kamu malu. Pegang bunga nya saja lalu berdiri disampingku" pintanya.
Nadya memegang bunga itu dengan kedua tangannya.
"Bagaimana bisa sama besar denganmu" Revan terkekeh.
Nadya sangat tidak menyukai ejekannya. Ia merengut bercampur kesal.
"Ayo foto dulu" ajak Revan pada Nadya yang berdiri disamping kirinya. Ia rangkul bahu yang separuh tertutup bunga. Tersenyum lebar menampakkan gigi masing-masing, berfoto untuk kenangan mereka kelak.
"Berdiam disana, Hon" intruksinya. Nadya canggung berpose disamping mobil tadi. Kaku sekali gayanya.
"Kak, tidak perlu banyak-banyak memotretku. Hasilnya juga akan tampak buruk" Revan tidak mendengarkannya, tetap saja pria itu memotretnya terus-menerus.
Lalu Revan tertawa melihat hasil fotonya hari ini. Ekspresi lucu Nadya yang kaku dan aneh sangat menghibur. Nadya menyunggingkan senyumnya melihat laki-laki yang memiliki kadar ego tinggi itu tertawa lepas. Ia lebih bahagia jika Revan merasa bahagia.
Ia memeluk pria dihadapannya tanpa ragu, menahan haru. Pikirannya terus menyanggah jika ini bukan mimpi. Berkali-kali meyakinkan hatinya bahwa ini nyata.
"Nad, kita dilihat orang loh" bisik Revan pelan ditelinga istrinya.
Nadya yang menyadari itu sontak melepas pelukan eratnya. Ia sangat malu, dan ia merasakan wajahnya bersemu merah.
***
"Terima kasih" lirih Nadya hampir tidak kedengaran yang duduk disamping suaminya.
"Hm? Kamu bicara apa, Nad?" tanya Revan selagi fokus mengemudi.
"Ti-tidak, tidak ada apa-apa" jawabnya cepat bercampur gugup. Revan tersenyum miring mendengar istrinya berbicara masih malu-malu.
"Sini" pintanya. Nadya tak paham maksud suaminya. "Mendekatlah" dengan polosnya Nadya mengikuti permintaan bodoh Revan.
Cup
Revan mengecup kening istrinya sekilas. Nadya terpaku, bagaimana Revan bisa semanis ini sekarang.