Chereads / Cinta Wanita Lugu / Chapter 23 - EPISODE 22

Chapter 23 - EPISODE 22

Tiba dirumah sekitar pukul tujuh kurang, langit sudah tidak terang lagi. Mereka tadi menyempatkan untuk singgah disebuah toko buku, membeli satu pack kertas HVS putih. Dilanjutkan berjalan-jalan sebentar mengitari kota.

"Bikinin kopi dong" Revan baru saja keluar dari kamarnya menuju ke ruang televisi yang menyala lalu duduk disamping istrinya.

"Pahit?" tanyanya yang segera berdiri melaksanakan permintaan tadi.

"Satu sendok saja gulanya"

Revan tampak mengotak-atik remote televisi mencari film aksi Hollywood disana. Menyelonjor kan kaki keatas sofa dan menyandarkan bahu. Matanya teralihkan oleh Nadya yang membawa gelas putih bertangkai dengan sendok disampingnya. Membungkuk meletakkan gelas itu dimeja tepat disebelah Revan duduk.

"Aw panas!" kilahnya, lalu meletakkan gelas berisi kopi ke posisi semula.

"Ditiup dulu, kak. baru beberapa detik yang lalu aku membuatnya"

Mondar-mandir Nadya mencari ponsel yang entah ia taruh dimana. Mengecek kedapur mungkin ketinggalan. Namun, nihil. Kembali ke ruangan menonton, membolak-balikan bantal diatas sofa berwarna tosca. Tetap saja hasilnya nihil.

"Mencari apa?" suara yang telah menyesap kopi bertanya. Fokusnya teralihkan pada sosok yang sibuk kesana-sini mencari.

"Ponselku. Aku lupa menaruhnya dimana"

"Tidak apa-apa. Mungkin dikamar, kalo hilang tidak mungkin. Dirumah Cuma ada kita" ucap Revan menenangkan.

Nadya berpikir, mungkin benar yang diucapkan Revan. Ia tak ambil pusing, ia melanjutkan nonton yang tertunda dua puluh menit lalu.

"Sejak kapan kamu menggunakan daster itu?" ternyata penglihatannya terpaku pada daster bermotif batik yang tersemat ditubuh istrinya. Warna hitam kombinasi cokelat semakin menampakkan tubuh putih nya.

"Ini baju tidur lama. Baru ku pakai saja, kakak bisa lihat warnanya masih mencolok" jawabnya santai.

"Baiklah" manggut-manggut mengiyakan.

"Coba cicipi kopi ini" pinta nya seraya menyodorkan sendok yang menampung sedikit kopi.

"Tidak perlu. Menurutku sangat pahit"

"Ini beda. Awalnya saja yang pahit, aku pastikan ujungnya manis" bujuk Revan menyeringai penuh maksud.

"Satu sendok saja, ya" ucapnya mengalah. Revan mengisyaratkan bahunya dengan artian 'tidak masalah'.

Semula Nadya berjarak dari ujung ke ujung sofa antara dirinya dan Revan, untuk dapat menyesap ia maju menipiskan jarak. Mendekatkan bibirnya ke sendok alumunium itu lalu menghirupnya.

Ia menyipitkan matanya, lidahnya tidak bisa merasa kecuali rasa pahit. Seringai Revan sudah memberi arti, ada maksud terselubung dibalik sesendok kopi. Secepat kilat ia menyambar dan mengecup bibir Nadya.

Sontak wanita itu membelalak kan mata, sikap yang bertolak belakang semenjak kepindahannya ke rumah ini. Seakan memiliki dua orang di tubuh yang sama. Revan kembali mencium bibir berasa kopi sedikit sentuhan manis gula. Melumat, menyesap dan menikmati perlakuan masing-masing.

Napas tersengal memberhentikan ciumannya, menghirup udara sebanyak mungkin. Melanjutkan hingga memuaskan keinginan seorang pria sejati.

"Sudah aku katakan. Awalnya saja terasa pahit. Kupastikan ujungnya lebih manis" terang nya membanggakan.

"Kamu sengaja menggodaku ya?" dengan tatapan jahilnya, seolah-olah pihak yang bersalah adalah Nadya.

"Ti .. Ti .. dak…" elaknya dengan suara tercekat bercampur rasa gugup.

"Buktinya. Kamu sengaja memakai baju tidur ini, kerah lebar nya memperlihatkan punggung itu" tunjuk matanya kepunggung Nadya "Itu bagian kesukaan ku. Asal kamu tahu saja"

Nadya terpaku tidak bisa menyanggah. Revan sangat ahli membuat istrinya gugup setengah mati. Dan berakhir sendirian di depan televisi menyala menayangkan film tadi.

***

Hari ini Revan memutuskan kembali ke kantor setelah pertimbangan perbincangannya kemarin. Adit teman tapi musuh menyapa penuh senyum. Walaupun Revan tak mengiraukan nya, Adit tak patah akal. Membujuk, bercerita sok akrab, basa-basi yang sudah basi.

Melaporkan dan menjelaskan apa saja yang dilakukan selanjutnya dengan nada akrab dibuat-buat. Tetap saja, Revan menjawab seperlunya. "Ya" dua huruf itu digunakannya agar sekretaris itu cepat pergi.

Sebagian jendela-jendela diruang rapat ditutupi tirai otomatis, menyalakan proyektor, satu orang mempersentase kan hasil penjualan produk yang telah dikeluarkan baru-baru ini.

Pokok dari permasalahan nya, penjualan yang tidak sesuai target awal. Bahkan tidak menyentuh setengahnya dari target awal. Revan tetap biasa saja setelah rapat itu. Adit yang gencar mengomentari atasannya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

"Seharusnya kamu mencari solusi, Van. Bagaimana penjualan kita bisa naik, ini tidak sesuai dengan harapan sebelumnya" protes Adit, bukan karena penjualan tidak memenuhi target. Melainkan sikap acuh tak acuh Revan.

Revan bergeming hingga keruangannya, duduk meregangkan tubuh. "Produk ini terbilang baru ditengah masyarakat, lagipula aku beberapa hari belakangan tidak memfokuskan diri dikantor-" terangnya santai. Belum bisa meredamkan emosi Adit yang terlihat "Toh produk-produk kita yang lain masih bertengger ditoko-toko. Bahkan ada yang paling banyak peminatnya" tuturnya lagi.

"Baiklah. Aku tahu kamu sudah memikirkannya. Hanya saja aku kesal melihatmu teramat santai. Kalau begitu aku permisi dulu" Adit membalikkan tubuhnya mendekat ke pintu keluar.

"Tunggu! Mau ngopi denganku?" tawar Revan memberhentikan langkah Aditya baru saja ia akan mendorong pintu kaca disana.

Terdiam sesaat, Adit tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu maksud Revan dari ajakannya ini. Tidak mungkin ia terus menghindar dan seolah menganggap tak terjadi apa-apa.

"Baiklah. Kasih tahu saja tempatnya, nanti aku menyusul" putusnya, lalu meninggalkan ruangan itu.

***

"Halo" suara dari telepon menyambut.

"Aku menunggu diparkiran, kita barengan saja" ucap Revan tenang.

"Aku segera turun" akhirnya di telepon. Tergesa-gesa sekaligus gugup dan canggung. "Jelaskan saja apa yang ditanyakan Revan nanti" pikirnya sambil menuruni tangga mendekati pintu utama.

Tok tok… ketukan khas kaca mobil didengar rungu Revan. Revan mengemudikan mobilnya ke kedai kopi biasa mereka kunjungi setelah Adit duduk dikursi penumpang sebelahnya.

"Mbak" Revan melambai memanggil pelayan kedai itu.

"Kopi susu dua ya" ujarnya pada pelayan berseragam khas kedai itu.

"Bagaimana kantor saat aku tidak bekerja?" tanya Revan mengawali obrolan mereka sore ini.

"Seperti yang kamu tahu. Om Wahyu sepenuhnya mempercayakan semua padamu" jawabnya sembari jemari nya menggulungkan lengan kemeja keatas.

"Menurutku tidak-" ungkap nya terjeda. "Sikap egois papa memang tidak pernah hilang"

Baru saja Adit akan membuka mulut menanggapi pernyataan itu. Seorang pelayan berbeda membawa dua gelas kopi susu dengan gula terpisah.

"Terima kasih, mbak" ujar Adit.

"Om Wahyu melakukan semua ini demi kebaikan kamu, Van" tambah Adit setelah pelayan itu berlalu.

"Nadya juga perempuan baik. Sangat baik bahkan" sambil mengaduk-ngaduk kopi didepannya "Apa perlu aku membeberkan semuanya? Tapi aku merasa bukan hakku" tutup Adit yang hendak menyeruput kopi.

"Tak perlu dibeberkan. Aku sudah tahu" jawabnya santai dan menyeringai mencurigakan "Hanya saja tidak tahu detailnya" ucapnya yang juga menyeruput kopi.

"Aku tidak percaya tuh" Adit mengerucutkan bibirnya dan memalingkan pandangan. "Apa yang kamu ketahui?" tanyanya penasaran sekaligus masih tidak percaya.

"Apa perlu aku mengatakannya? Kurasa tidak. Cukup aku saja yang tahu" ucapnya tak kalah.

"Sekarang coba ceritakan detailnya, untuk meyakinkanku" tatapan yang sungguh-sungguh itu meminta. "Aku ingin menghilangkan semua kilasan tentang Rea"

"Baiklah. Siapkan lagi secangkir kopi untukku, ini bisa memakan waktu cukup lama. Mulutku bisa kering kalo berdongeng terus-terusan" candanya.

Revan menatapnya malas, ada-ada saja kelakuan anak ini. Perutnya yang sudah sangat cukup menampung secangkir kopi bahkan terasa tidak nyaman sekarang. Adit malah meminta secangkir lagi, apa tidak keblenger?

"Jangan beralasan. Ceritakan saja, nanti aku pesankan kopi untukmu. Panggil saja pelayan disana" matanya menunjuk pada pelayan pertama mereka panggil tadi.