Selamat pak Wahyu. Akhirnya launching juga produk yang anda tunggu-tunggu" sapa laki-laki sebaya dengannya, berjabat tangan seperti kebiasaan jika mengucapkan kata selamat.
"Terima kasih banyak sudah menerima undangan dari pihak kami" balas pak Wahyu senang.
Semakin bertambah nya tamu semakin ramai pula suasana saat ini. Didepan sana sudah tertata dengan rapih, sebuah pita yang merupakan simbol identik peresmian sebuah acara. Kamera tersedia dibeberapa sudut siap melaksanakan siaran langsung pada stasiun tv swasta.
Selain para tamu perusahaan dan pemegang saham, pak Yahya selaku paman dari istri anak pemilik atau pewaris perusahaan sekaligus sahabat Wahyu pun hadir.
Suara khas keramaian mengisi ruangan tersebut seketika hening, melihat sepasang pemeran utamanya tiba. Tangan Nadya tersemat di lekukan siku bagian dalam suaminya, menandakan ialah perempuan yang dipastikan pasangan dari pewaris.
Satu jam sebelum berangkat ke Mall, tempat berlangsungnya acara peresmian...
Tuk tuk tuk.. suara hak tinggi bersentuhan dengan lantai, kaki putih tereskpos sempurna. Dress yang dipilih khusus oleh Revan sangat cantik terbalut ditubuh istrinya. Revan yang menunggu disofa dengan membaca sebuah buku, langsung saja berdiri menghampiri Nadya yang terlihat gugup.
'Tuhan tidak pernah salah mentakdirkan pasangan setiap makhluknya' Revan terpukau melihat perubahan Nadya.
"Cantik sekali." Revan terus memuji kecantikan yang baru ia sadari.
"Ini karena yang menghias aja udah profesional, kak." Balas Nadya mengelak pujian dari laki-laki tampan itu.
"Kak, gimana kalo aku gak usah ikut kesana. Lagian itu acara perusahaan, apa kata orang diluaran sana nanti" tutur Nadya, ia sungguh tidak percaya diri sekarang.
"Angkat kepala, tegakkan pandangan, aku selalu ada disampingmu, kamu tidak usah melepaskan tautan tangan mu padaku. Luapkan rasa percaya dirimu, tunjukkan kamu adalah orang yang layak untuk dihargai" Revan menatap Nadya intens.
Menggenggam tangan wanitanya sepanjang jalan, seolah wanitanya akan menghilang. Bohong jika Nadya tidak merasa gugup, sejak terbukanya pintu mobil kegugupan itu melanda. Revan yang disampingnya mengelus-ngelus tangan lentik lembut wanitanya, menenangkan.
Langkah demi langkah bergerak ke tempat yang ditentukan, memasuki keramaian dan disaksikan banyak manusia. Adit dan ayahnya Revan mengembangkan senyuman melihat kedatangan mereka berdua.
"Baru tau kamu tampan, Van." Puji nya tetapi dengan tatapan menjengkelkan.
"Sialan lo, Dit." Tatapan nya tak kalah mengesalkan. "Gak mengharap pujian dari lo"
"Hahahahah" mereka tertawa lepas setelah saling melemparkan candaan.
Seorang ber setelan jas semi formal menghampiri Revan, ia berbisik mengatakan sesuatu yang dibalas anggukan saja olehnya. Kemudian Revan melenggang ke atas podium berukuran sedang yang tersedia tidak jauh dari mereka berdiri.
"Kata yang ingin saya ucapkan adalah 'terima kasih' telah hadir pada acara peresmian serta launching nya produk kami. Ada hal lain yang akan saya sampaikan juga, saya hadir disini ditemani istri yang sangat cantik berdiri disana" Revan mengisyaratkan ke Nadya untuk berdiri didekatnya, ragu-ragu Nadya melangkah, dari kejauhan Revan meyakinkan istrinya. Namun, kaki Nadya terasa ada perekat antara lantai dan high heels miliknya.
Revan sangat tahu keadaan istrinya saat ini, ia berinisiatif menjemput istrinya dan naik ke podium bersama.
"Perkenalkan semuanya, namanya Nadya Pratiwi. Dia berstatus sebagai istri sah saya."
Suara tepukan tangan bersambut memenuhi tempat itu. Seorang pegawai mengantarkan nampan berisikan gunting dengan ikatan pita kecil diberikan kepada Revan. Dengan senang hati ia mengambilnya lalu mendekat kearah pita sebagai simbol peresmian produknya.
Suara tepuk tangan kembali memenuhi, banyak sekali yang mengucapkan selamat kepada Revan.
***
Sepasang mata terasa panas hingga mengeluarkan air mata tanpa di suruh tuannya. Terbaring lemah di atas sofa tempatnya menonton televisi. Tak disangka, tiba juga hari ini. Dimana hal yang ditakutkan terjadi.
Rea menyaksikan nya melalui siaran dari media televisi, ia sudah lama mengetahui status antara Revan dan Nadya. Ia selama ini berusaha mati-matian meyakinkan dirinya, cepat atau lambat Revan akan kembali padanya. Tetapi tuhan maha membolak-balikan hati.
Flashback on
Liburan bersama di Yogyakarta, saat itu Revan memanggil Nadya karena mamanya menelepon ingin berbicara dengan menantunya. Namun, dicurigai oleh Rea. Mengapa lama sekali kalau hanya menelepon sekedar mengungkapkan kata rindu. Rea menyusul mereka berdua, tidak memperdulikan Adit yang melarangnya pergi.
Tepat saja, Rea baru akan membuka mulutnya memanggil Revan, tetapi ia menghentikannya setelah mendengar Revan mengajak Nadya jalan melihat taman barang sebentar.
Tentu saja Rea mengikuti mereka, karena rasa penasaran yang mendominasi. Tak disangka, pada kursi sebagai perhentian Revan mulai mendekatkan tubuhnya pada tubuh Nadya, mengungkapkan apa yang seharusnya dia ungkapkan. Rea merasa sangat yakin jika wanita yang dinikahi sahabatnya adalah Nadya.
Berusaha menahan air mata agar tidak keluar dari wadahnya. Sungguh usaha nya sia-sia, sesak sekali rasanya, berjongkok menangis sendirian. Rea mulai mengontrol emosinya agar tidak diketahui para sahabatnya. Tidak! mereka bukan sahabat melainkan topeng yang berpura-pura.
Napasnya mulai teratur lalu Rea kembali ke tempat mereka berkumpul semula, Adit terkejut melihat mata sepupunya yang terlihat merah, orang bodohpun tahu kalau ia habis menangis.
"Dari mana aja, Re. lama banget" tanya Adit mengubah suasana sok asik.
Rea mengalihkan pandangannya agar Adit tidak melihat dan bertanya apapun sekarang. "Dari pesen minuman lagi, gue. Gak cukup segelas" sungut Rea menutupi kesedihannya.
***
Syukurlah, selesai juga peluncuran brand nya seolah mendapatkan kebebasan yang belum dirasakan oleh Nadya. Aku mau pulang rengeknya, tetapi hanya keinginan saja, tidak berani mengutarakan secara langsung ke Revan.
Tidak lepas dari pandangannya, Revan sangat mengerti betapa letih istrinya. Revan melihat, sesekali Nadya memijit-mijit bagian kaki antara lutut dan pergelangan kakinya.
"Udah capek ya istriku? Ayo pulang" Revan menggenggam erat tangan itu lalu menariknya. tidak bisa membantah, wanita itu hanya mengekori suaminya.
Revan telah berada dibelakang kemudinya, selain itu Nadya juga telah duduk dikursi penumpang sampingnya.
"Pegel ya kakinya?" Revan bertanya, karena ia melihat Nadya memijit kakinya berulang-ulang sejak tadi.
"Ehm sedikit. Wajar kok, tadi kan Makai sepatu tinggi, kak." Nadya memaksakan senyumnya mengembang, supaya dia tidak dikhawatirkan.
Mobil yang mereka tumpangi terus melaju, sopir tidak hadir diantara mereka untuk mengemudi mobilnya. Revan bersikukuh ingin mengendarai mobilnya sendiri tadi.
Kaki sebelah kiri lebih dulu menyentuh tanah setelah mobil berhenti. "Aww" Nadya meringis, perih rasanya kaki bagian belakang akibat gesekan high heels yang dipakai.
"Kenapa, Nad?" Revan baru saja keluar dari mobil langsung berlari kecil menghampiri istrinya.
"Eh. Tidak apa-apa kak"
'Selalu saja tidak mau merepotkan aku walaupun suaminya' Revan menggelengkan kepalanya tak percaya. Tidak perlu menunggu instruksi, Revan mengangkat tubuh istrinya.
"Apa yang kakak lakukan?" tanyanya malu sekaligus rona wajahnya timbul disaat yang tepat.
"Menggendongmu, apa yang salah? Kakimu lecet, perih. Jadi, aku bantu ke kamar mengistirahatkan tubuhmu, aku tahu kamu capek. Sedari tadi melihatmu memijit kaki. Bahkan dimobil."
"Kak tolong turun kan aku. Nanti mama liat" Revan seolah menutup kedua telinganya, tak mendengar ucapan Nadya. Terus saja ia melangkah ke dalam rumah besar itu.
"Mama? Mama belom pulang. Papa juga tuh" seringainya seperti meminta sesuatu.
Sia-sia saja usaha Nadya meronta agar diturunkan, hingga tiba dikamar Revan menduduk kan istrinya diatas sofa kemudian berjongkok, melepaskan sepatu yang dipakai Nadya satu per satu.
Baru saja Nadya membuka mulut belum sempat berucap "Ssttt" Revan langsung memotong omongannya. "Kakimu terluka, tunggu disini aku ambilkan obat."
Dengan telaten Revan mengolesi luka disana, sesekali ia meniup lembut agar perihnya berkurang, dan diakhiri menempelkan plester.
Nadya berdiri hendak menjangkau sesuatu di dekat pintu, Revan menatapnya dari belakang melingkarkan tangannya kepinggang Nadya, memeluknya erat.
"Sebentar saja seperti ini, Nad."