'Oh my… aku telat pulang, semoga mama lupa dengan ucapan ku tadi pagi' Batin Revan berkata-kata dengan penuh harap. Dibukanya pintu utama rumah itu, melangkahkan kaki nya menuju kamar. Seketika hendak sampai di depan pintu kamar, mamanya menegur yang pada saat itu menuruni tangga menuju kamarnya dan Nadya. Dengan membawa obat, mengejutkan anaknya.
"Baru pulang, Van? Kenapa pergi tidak bilang-bilang? Pamit saja tidak!?" tanyanya tegas.
"Ma, tadi teman Revan menelepon meminta sekedar untuk bertemu, sudah lama libur sejak ujian semester kemarin, sekalian kami nonton" jelas Revan dengan wajah memelas.
"Berikan obat ini ke menantu mama, tadi perutnya sakit, mama kasihan" diulurkannya obat yang digenggaman pada Revan.
"I-iya ma" ia mengambil obat yang diberikan Riana, berlalu menuju istrinya, dikamar.
"Cklek.." Revan menekan knop pintu, dibuka perlahan-lahan. Terlihat Nadya melengkung diatas ranjang ditutupi selimut tebal miliknya. Dia langsung menghampiri penuh khawatir, mungkin ini yang dinamakan kekhawatiran seorang suami, entahlah...
"Nad, ini obat dari mama" ucap Revan sambil meletakkan obatnya di meja dekat ranjang.
"Iya kak, terima kasih" Nadya mengambil obat itu lalu meminumnya hingga hampir habis.
"Masih sakit perut kamu, Nad? Ada yang bisa aku bantu biar sakitnya berkurang?" Revan menunjukkan kepeduliannya juga kekhawatiran.
"Tidak apa-apa kak, bentar lagi juga sehat" Nadya terkekeh melihat betapa gemasnya raut Revan ketika sedang khawatir.
"Sakit kenapa masih bisa tertawa, Nad?" tanya Revan heran. "geser sedikit" pintanya, agar ia duduk disamping Nadya yang sedang terbaring.
"Ka-kakak mau melakukan apa?" tanya Nadya melihat tangan Revan mulai menurunkan selimut yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya.
"Kamu diam saja"
Revan mulai mengelus pelan dan lembut perut Nadya dengan tangan besarnya, berharap yang ia lakukan benar dan bisa mengurangi rasa sakit perut istrinya itu.
"Gimana? Enak gak? Siapa tau berkurang sakit nya, hehe".
"Hmm.. lumayan membantu kak" senyum tipis Nadya menghargai usaha suaminya.
"Kenapa bisa sakit, Nad? Kamu habis makan apa?" kali ini Revan bertanya karena penasaran, setahunya tadi pagi Nadya baik-baik saja.
"Eum.. biasa kak. Namanya juga perempuan" terang Nadya, belom bisa membuat Revan mengerti.
"Sumpah aku gak paham".
"Haaah.. setiap bulan perempuan mengalami haid, kak. Biasanya dihari pertama rasa sakitnya datang" Jelasnya cukup detail.
"Oh gitu.. baiklah. Mulai sekarang tiap bulan nya aku yang bakal elus perut kamu biar gak sakit lagi". Dengan bangga Revan mengatakan nya, ia pikir perlakuannya saat ini sangat membantu, apa salahnya tiap bulan dia melakukan hal yang sama.
Nadya cuma diam, tidak bisa berkata apa-apa lagi, jantungnya hanya bisa berdegup tak beraturan mendengar semangat suaminya itu.
***
"Kringg… kringg…" suara ponsel diatas nakas yang tak jauh dari posisi Revan tidur, tangan nya berusaha menggapai dan meraba benda pipih tersebut. Dengan susah payah ia membaca nama dilayar handphone hingga mengedipkan matanya beberapa kali.
"Halo?" serak suara Revan khas orang baru bangun tidur.
"Van, cepat kekantor. Ada proyek yang harus kita selesaikan".
"Proyek apaan? Kenapa kamu yang sibuk? Yang kerja kan aku?" ia keheranan mengapa Adit semangat sekali dan mengurusi urusan kantornya.
"Kamu lupa? Mulai hari ini aku, Adit, menjadi sekretaris kamu selama magang" jelas Adit kalau-kalau bos sekaligus temannya lupa.
"Iya-iya. Aku kesana lebih cepat, kalo perlu aku manfaatin ilmu teleportasi yang aku punya".
Segera Revan membangunkan tubuhnya, diawali menggerakkan kedua kaki hingga menjuntai ke lantai kemudian ia duduk diatas ranjang. Tersadar dari rasa ngantuk setelah melihat Nadya menggunakan jam tangan siap untuk berangkat ke kampus.
"Loh, pagi-pagi udah siap aja kamu, Nad?" tanya Revan tanpa sedikitpun bergerak untuk mandi.
"Iya kak. Ada urusan dikampus pagi ini". Jawabnya sembari memegang gagang pintu dan menariknya agar terbuka.
"Eh, Nad. Gak mau barengan yah?"
"Gak usah kak. Kakak kan belom bersiap dari tadi". Kemudian ia berlalu meninggalkan kamar itu.
'Astaga!' Revan teringat dan reflek menepukkan tangannya ke kening. 'Perasaan tadi udah pakai kemeja, mimpi mungkin ya. Gak biasanya Revan seperti ini.' gumamnya menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya atas sikapnya sendiri.
Setelah bersiap dengan tergesa-gesa akhirnya Revan sampai juga dikantor, terlihat seorang laki-laki telah duduk dan bersandar pada sofa di ruangan kerja nya.
"Ngapain kamu disini, ha?!" Revan menunjukkan ketidak sukaannya terhadap Adit, sangat terburu-buru menurutnya menunjukkan posisi sekretaris terlebih ia masih dalam masa magang.
"Aku juga magang disini, Van. Kebetulan papa bawahannya om Wahyu, jadi aku disuruh bantu-bantu kamu disini. Daripada cari tempat magang sana-sini, mending pilih yang pasti aja" jelas Adit pada Revan yang masih berdiri membelakangi nya.
"Baiklah. Apa yang kau bicarakan di telepon tadi?" Revan berjalan menuju kursi paripurnanya.
"Kamu memiliki peluang cukup besar memegang perusahaan ini, Van" belum usai ia menjelaskan, Revan yang tadinya duduk langsung berdiri dan mendekati Adit disofa tempat awalnya duduk.
"Ha? Serius?" tanya nya memotong omongan Adit.
"Aku jelasin dulu. Jangan langsung motong gitu aja, gak semudah yang dibayangin, Van"
"Oke. Aku harus ngapain?" tanya Revan tak sabar mendengar penjelasan dari Adit.
"Ada produk parfume baru yang bakal dikeluarkan perusahaan ini, om Wahyu mempercayakan proyek ini pada kita, kalau penjualan dan permintaan pasar meningkat 5 % saja dari produk-produk sebelumnya, tanpa ragu kamu akan diangkat jadi pemimpin disini, Van".
Revan tampak serius berpikir setelah mendengar penjelasan teman sekaligus sekretaris magangnya. Mulai hari ini ia sibuk mengurus proyek yang di tugaskan padanya, rapat untuk penentuan parfume seperti apa yang disukai konsumen. Pada rapat tersebut Revan menjelaskan ide dan pendapat yang sudah bermunculan dalam pikirannya sedari tadi.
Perusahaan dibangun sejak ia belum lahir diawali dengan penjualan wewangian seadanya, kala itu tempat asal ayahnya cukup tertinggal. sehingga ada inisiatif mencoba peluang menjajakan wewangian berbentuk cair dan dikemas sedemikian rupa.
Produk tersebut cukup berperan dalam dunia pemasaran, terlihat dari perkembangan perusahaan nya sendiri. Perusahaan baru yang menjual produk yang sama bermunculan, kurva penjualan produk KSM Group belakangan ini menurun.
"Saya mau produk kali ini berbeda dari yang sebelumnya. sebelumnya perusahaan hanya melaunching parfume pria saja, kali ini kita coba khusus untuk wanita. biasanya wanita itu suka kelembutan, kita buat harum yang tidak membosankan. dirapat selanjutnya kita akan bahas lebih detail. Kalian paham apa yang saya maksud?" Revan menjelaskan pendapat nya dengan penuh semangat sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan batas antara siang dan malam. Ia melirik arloji kesayangan yang terlilit ditangannya.
"Terima kasih untuk hari ini" Revan menutup rapat dengan singkat.
***
Keseharian Revan selalu bersama Adit selama dikantor maupun diluar kantor, walau tak seintens dikantor. Membuatnya semakin dekat dan akrab, ia merasa sangat klop jika berurusan pekerjaan didampingi seorang Adit narsis.
Kebiasaan Adit selama dikantor berhasil membuat nya menggeleng-gelengkan kepala, mungkin dalam sehari Adit merapihkan rambutnya sebanyak tujuh kali, itupun yang ia ingat saja. Tetapi, Revan sangat menyukai kerja sekretaris magangnya itu.
"Van, kapan-kapan ajak adik kamu kesini dong" celetuk nya dalam keheningan antara dirinya dan Revan yang serius membaca laporan.
"Kenapa tiba-tiba kamu nanya Nadya?" tanya Revan dengan tatapan sinis kearah sekretaris magang.
"Semenjak liburan kemarin, aku tertarik sama adik kamu" tanpa rasa bersalah Adit menjawab dengan santai.
"Jangan dekat-dekat sama adikku, dia sudah punya calon suami!!". Revan memberitahu alasan klasik supaya tidak ada niatan Adit mendekati Nadya.
"Cih.. baru juga calon. Yang sah jadi suami aja bisa cerai, Van"
Deg.
Mendengar ucapan Adit kali ini membuatnya berpikir, benar adanya perkataan Adit barusan, dan ia pun masih bingung dengan perasaan dan kemauan diri nya. Terkadang ia terhanyut dalam sebuah ikatan pernikahan mengingat tingkah lucu dan menggemaskan Nadya yang setiap hari ia pandang.
Disisi lain ia masih sedikit menyimpan rasa terhadap Rea. Ia berusaha meyakinkan diri, arah mana yang harus ia lalui dan benar. Entahlah.. yang jelas saat ini ia tidak suka jika seorang laki-laki mendekati istrinya terlebih mengucapkan kata tertarik seperti yang dilakukan Adit.
"Van, please… comblangin aku sama Nadya, yah" Adit memohon pada teman magangnya dengan mata berbinar-binar.
Selama semenit Revan memikirkannya akhirnya ia angkat bicara.
"Nadya itu istriku".
"Hahahah.. hahahahah.." Adit terbahak-bahak mendengar ucapan yang dilontarkan Revan.
"Candaanmu lucu banget sumpah" .
"Apaan sih! gak liat wajahku serius?" ia menunjukkan mukanya sendiri dengan tangannya.
Adit mengamati raut wajah teman magang itu lalu menjawab
"Gak! aku gak percaya, besok aku mau ajak Nadya ngedate" seringai Adit, ia penasaran reaksi Revan.
"Kau ngelunjak lama-lama, Dit !!" sedikit marah hingga Revan mengepalkan tangannya erat.
"Apaan sih, Van. Mana buktinya kalo Nadya istrimu?!" ia merasa umpannya disambar dengan cepat, melihat emosi sang Revan.
"Kamu tanyain aja sama papa. Dia yang menyuruhku menikah dengan anak temannya" mendengar penjelasan itu, Adit diam membungkam mulutnya, tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.