WARNING!!Dalam cerita ini mengandung perbuatan yang tak pantas untuk ditiru. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
Dariel segera membuka pintu pagar saat mendengar bunyi bel rumahnya. Dia baru saja selesai mandi sehingga tak aneh rambutnya masih tampak basah.
"Masuk No.." Dariel mempersilahkan tetangganya itu. Seperti kata Nino kemarin-kemarin dia berencana menginap dirumah Dariel sampai Minggu nanti.
"Wangi banget." Nino mencium aroma-aroma sabun.
"Iya baru selesai mandi.."
"Pantesan keliatan seger."
"Anggap aja rumah sendiri." Dariel mulai menutup pintu dan membiarkan Nino menjelajahi rumahnya.
"Om Stefan mana?"
"Bapak udah pulang kemarin."
"Kirain masih disini."
"Gw mau masak nasi goreng, lu mau ga?"
"Boleh-boleh, kebetulan gw juga belum makan."
"Ya udah bentar." Dariel segera menuju dapur. Dia mulai mengeluarkan dan mengolah bahan yang ada. Nino yang semula berdiri kini terduduk di kursi yang tersedia. Matanya melihat gerakan lincah Dariel yang sedang memasak. Dariel seakan fasih dengan setiap benda disana. Cara memotong bawang saja sudah terlihat jika dia pandai memasak. Tatapan Nino merajalela kemana-mana. Sejak kemarin bahkan dia begitu tertarik dengan tubuh Dariel apalagi sekarang matanya tak bisa berpaling dari bokong temannya. Dia seperti melihat makanan yang begitu lezat. Nino bisa ngiler jika terus memandangnya.
"Oh iya nanti pake aja kamar yang disana." Dariel menujukkan salah satu kamar di dekat tangga.
"I..ya.."
"Lu suka pedes ga?"
"Hm...ga terlalu."
"Berarti sama kaya gw, ga suka yang terlalu pedes."
"Kayanya lu jago masak ya.."
"Sejak kecil gw udah biasa masak."
"Wah... cita-cita jadi koki?"
"Engga.."
"Terus kenapa masak terus?"
"Nyiapin makanan buat orang tua."
"Ehm...pak Stefan pasti seneng dimasakin lu dari kecil." Komentar Nino tanpa tahu jika Pak Stefan bukanlah orang tua kandungnya. Kini Dariel mulai memotong kecil baso dan sosis sebagai bahan pelengkap nasi gorengnya.
"Kalo Mama ga pernah tuh masuk dapur. Minum aja minta diambilin." Nino mulai bercerita.
"Mungkin ga terbiasa aja."
"Makannya kita ngandelin pembantu dirumah kalo engga beli di luar."
"Kenapa ga lu aja yang belajar masak?"
"Iya, gw jadi mau belajar masak. Ajarin dong Riel."
"Gw juga ha jago-jago amat. Makanan yang bisa palingan makanan yang biasa aja."
"Ga papa buat pemanasan, jangan yang susah-susah dulu."
"Ya udah nih masak nasi goreng." Ucapan Dariel membuat Nino sigap berdiri. Dia segera menghampiri Dariel.
"Ini wajannya, lu nyalain kompor terus tuangin minyak." Dariel memberikan instruksi membuat Nino melakukan gerakan sesuai dengan perintah tadi.
"Eh...minyaknya jangan banyak-banyak." Dariel segera menghentikan tangan Nino.
"Maaf.."
"Udah cukup segitu."
"Oke.."
"Nih..susuknya." Dariel memberikan lagi peralatan masak lainnya. Setelah cukup hangat Dariel mulai memasukkan bawang-bawangan ke dalam wajan dan menginstruksikan Nino untuk mengaduknya saja. Dia menambahkan telor yang kemudian di orak arik sampai matang. Kini Dariel memasukkan nasi dan memberikan bumbu penyedap. Dia sama sekali tak memasukkan cabe disana sambil menunggu Nino mengaduk rata Dariel membersihkan semua peralatan sempat digunakan untuk mengiris bawang.
"Cobain, udah pas belum bumbunya." Dariel membuat Nino meraih sendok dan mengambil nasi secukupnya. "Enak." Nino memberikan jempolnya. Setelah cukup panas dan matang nasi goreng pun disajikan.
"Ayo makan dulu biarin aja wajannya disitu." Dariel mulai duduk. Dia mengucap bismillah sebelum makan. Bagi Nino itu menjadi makan pertama dengan Dariel dan dia senang.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi dan teman-teman Dariel berencana berkunjung jam 11 siang. Dariel sendiri baru saja selesai berolahraga. Dia sedang membereskan semua peralatan yang digunakannya.
"Pagi..." Nino membuka pintu kamarnya dengan menguap. Dia sepertinya baru bangun tidur. Matanya terbalalak kaget dan lemas saat melihat sosok Dariel bertelanjang dada. Dia jauh lebih 'hot' dari pikirannya. Ada bulu-bulu halus memenuhi dada bidang Dariel. Handuk kecil tampak bertengker di bahunya.
"Rajin banget."
"Iya mumpung libur, pingin tes kolam sekalian." Dariel melihat kearah kolam renangnya. Kini dia melakukan peregangan tampak otot kekarnya didepan Nino.Tanda panjang di punggung Dariel tak membuat Nino tertanggung untuk menatap punggung tetangganya itu.
"Gw juga pingin berenang." Nino segera bergegas dan membuka kaosnya. Dia mengikuti gerakan pemanasan Dariel.
"Liat nih perut gw aja jauh sama punya lu.." Nino mengambil kesempatan untuk memegang perut Dariel. Dariel hanya tersenyum dan tak memikirkan apapun sementara Nino semakin dibuat suka. Aliran darahnya seperti semakin deras. Kini Dariel mulai mengambil ancang-ancang untuk masuk dan tak lama dia masuk menyelami dinginnya air kolam. Nino ikut menyusul. Dia mengikuti kemana Dariel berenang. Dia selayaknya anak ayam yang selalu mengikuti induknya kemanapun. Saat Dariel muncul dipermukaan dan membenarkan rambutnya sesuatu yang dimiliki Nino mulai menegang. Itu membuat Dariel benar-benar seksi. Dia jadi penasaran bagaimana rupa keperkasaan Dariel. Sepertinya itu jauh lebih menggoda.
"Setiap pagi lu suka kaya gini?"
"Engga sih, kalo libur aja."
"Ga enak dong sendiri?ga ada temen gitu."
"Gw udah biasa."
"Biasa?masa sih?temen lu kan banyak." Nino tak percaya. Kini Dariel menyandarkan badannya dipinggir kolam.
"Ehm..." Dariel ragu.
"Kenapa?." Nino ikut gaya Dariel.
"Masa kecil gw, ga kaya orang lain."
"Apa yang terjadi."
"Gw..cuman cerita-cerita ini ke temen deket. Gw cerita ke lu karena gw anggap deket." Ucapan Dariel membuat Nino senang. Teman dekat. Hanya dengan kata itu saja hatinya senang bukan main.
"Iya, gw ga akan ceritain lagi."
"Gw selalu sendiri dari jaman sekolah. Itu karena tampilan gw yang ga kaya anak-anak lain. Mungkin gw punya orang tua tapi mereka ga pernah anggap gw anaknya."
"Om Stefan dulu gitu?"
"Bukan. Bapak itu penolong. Orang tua asli gw bukan pak Stefan tapi...bukan berarti juga dulu gw tinggal bareng orang tua sebenernya, karena menjelang mereka tinggalin gw. Gw tahu, kalo gw bukan anaknya." Dariel membuat Nino sedikit sedih mendengar kenyataan itu.
"Mereka tinggalin gw dan pak Stefan yang nolongin."
"Mereka jahat banget." Nino berkomentar dan entah kenapa dia mencuri kesempatan untuk merangkul bahu tegap Dariel. Dariel sendiri hanya diam tak bercerita lagi. Dia tak mau terlalu membuka apa yang dia alami pada Nino. Hanya cukup sebatas itu saja.
"Tapi lu hebat kok bisa laluin itu." Nino sambil diiringi gerakan mengusap bahu Dariel.
"Berkat pak Stefan dan Tante Vani makannya gw ga enak kalo terus ngerepotin mereka jadi gw memutuskan buat pindah."
"Mereka pasti ga ngerasa direpotin kok Riel, om Stefan keliatannya baik."
"Mereka emang baik tapi gw juga harus ngerti ga semua orang bisa menerima kondisi dan kehadiran Gw." Dariel terdiam lagi mengingat alasan sebenarnya kenapa dia pindah namun dia tak berniat menceritakan itu pada Nino. Cukup dia saja yang tahu bahkan teman-teman kantornya pun tak ada yang tahu. Mereka hanya tahu jika Dariel ingin hidup mandiri.
***To Be Continue