WARNING!!Dalam cerita ini mengandung perbuatan yang tak pantas untuk ditiru. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
Dariel tak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini pada dirinya. Nino mulai mencium bibirnya. Dariel diam sejenak dia merasakan gerakan bibir seseorang dimulutnya. Astaga...ini ciuman?apa rasanya seperti ini?. Dariel terpaku karena gerakan Nino yang terus membuka dan menutup mulutnya secara perlahan sementara satu tangannya masih berada di lengan Dariel. Kenapa Dariel malah terpaku sekarang?. Dia seakan membiarkan Nino melakukan aksi terlarang itu. Nino semakin menekannya bahkan bibirnya tampak semakin basah. Mata Dariel yang terbuka dapat melihat mata Nino yang justru tertutup. Dia seperti ingin menikmati ciuman ini. Jantung Dariel semakin berdegup. Apa benar?apa ini salah?.
"Lu apa-apaan sih?" Dariel langsung protes setelah berhasil mendorong dada Nino. Dia kini tersungkur dekat meja.
"Aku suka kamu Riel..." Nino mulai berbicara lagi bahkan kali ini panggilannya berubah. Dariel langsung mengusap-usap bibirnya. Seakan menghapus semua bekas ciuman tadi.
"Mending lu pulang!!" Dariel langsung mengusir Nino.
"Riel..aku pingin sama kamu Riel."
"Pulang!!" Dariel segera berdiri dan merentangkan tangannya ke arah pintu. Dia benar-benar tak ingin melihat Nino sekarang. Lelaki itu kini mengeluarkan air mata selayaknya seorang perempuan. Nino berjalan lemas menuju kamarnya lalu mengambil semua barang-barang yang ada disana.
"Aku tahu kok kamu punya perasaan sama aku meskipun sedikit." Nino berkata-kata lagi sebelum pergi. Dariel hanya memalingkan wajahnya. Dia tak suka dengan sikap tetangganya itu tadi. Dia pikir Nino tak seperti itu. Dia pikir Nino baik dan tak mempunyai maksud apapun saat bersamanya. Kini Nino pergi berlalu dan dengan segera Dariel menutup pintu pagarnya. Dia bahkan tadi tak mengantar Nino. Dariel duduk dengan lemas.
"Barusan itu apa?" Dariel dalam hati sambil memegangi bibirnya sendiri. Meskipun dia kesal tapi ada sensasi yang berbeda saat seseorang menyentuh bibirnya. Ini benar-benar pertama kali ada bibir lain yang menempel di bibirnya. Dariel bahkan tak pernah berani mencium bibir Rena. Dia hanya mampu mendekap dan mengecup pipi mulusnya. Dariel menghela nafas untuk menenangkan degup jantungnya yang kini masih berdetak dengan cepat. Rasanya bahkan seperti mau copot saja. Tangannya kini dia letakkan di dada. Mengusap-usap itu pelan setelah tadi bibirnya. Beberapa menit kemudian barulah semuanya mereda. Jantungnya terasa normal, wajahnya tak sepanas tadi dan bibirnya tak selicin tadi. Dariel naik keatas tepatnya ke kamarnya. Dia membaringkan badannya di kasur empuk miliknya. Mungkin untuk lebih menenangkan diri dia harus tidur. Ya...tidur saja daripada memikirkan perbuatan tak terpuji Nino tadi. Dia sudah gila dan Dariel bisa ikut gila jika memikirkannya.
***
Wira masih meraih bibir Ara. Dia tak segan melakukannya di dalam mobil bahkan tanpa sadar dia sudah melepaskan safety belt nya sendiri agar bebas mendekati Ara. Wanita itu hanya duduk diam dikursinya. Ara mencoba menyeimbangi permainan bibir Wira yang begitu memabukkan. Dibanding David, Wira terkesan lembut dan mengerti apa maunya. Wira tak pernah terburu-buru. Dia seperti menikmati setiap inchi bagian bibir Ara. Entah berapa lama mereka bertahan yang jelas Wira perlahan menjauhkan bibirnya namun dia tak mau tautan itu cepat berlalu. Dia masih ingin dekat. Dapat Wira rasakan panasnya nafas Ara. Sekali lagi dia mengecup bibir Ara yang sudah bengkak akibat ciumannya.
"David siapa?" Wira mulai membuka matanya. Menatap lekat Ara. Dia benar-benar tak bisa jauh dari wanita itu.
"Temen aku."
"Temen?Tadi nyamperin kamu sambil senyum-senyum." Wira bersikap manis dengan mengusap bekas ciumannya di bibir Ara lalu meletakkan tangannya di pipi Ara yang merah.
"Emang ga boleh senyum?"
"Ya boleh tapi aku ga suka."
"Dia banyak bantuin aku soal skripsian. Kita cuman deket karena itu." Ara seakan menjelaskan kecemburuan Wira.
"Aku bisa bantuin kamu."
"Engga, ga usah. Udah selesai kok." Ara yang secara tak sengaja salah fokus dengan mobil Kenan yang melintas di depannya dan kini mobil itu tengah diam menunggu pagar terbuka. Dengan refleks Ara segera mendorong Wira.
"Ada Daddy.." Ucapan Ara membuat Wira ke arah depannya.
"Aku bakalan temuin Daddy kamu."
"Jangan dulu deh."
"Kenapa?"
"Ga papa. Tenang aja nanti pasti aku kenalin. Aku masuk ya.." Ara bergegas membuka safety beltnya dan memeriksa sekitar kursinya takut-takut handphonenya tertinggal. Bisa gawat kalo Kenan memergoki apa yang tengah dilakukannya.
"Ra.." Panggil Wira lagi sambil menarik lengan Ara. Wanita itu menatapnya lagi padahal sudah siap turun.
"Ini hari pertama kita kan?." Tanya Wira sambil senyum-senyum. Duh...Ara tadi terbawa suasana tadi. Kenapa pake ada acara ciuman segala? Wira sudah pasti mengira itu adalah bentuk ungkapan cintanya. Ara berpikir sejenak.
"Iya sayang.." Ara dengan romantis.
"Nanti aku telepon, hati-hati." Wira senang. Dia membiarkan Ara turun dari mobilnya. Bola matanya mengikuti kemana Ara melangkah. Kini dia mulai masuk ke dalam istana megahnya. Sesampainya di depan pintu Ara menarik nafas dulu. Dia harus menyiapkan jawaban jika Kenan atau Jesica bertanya nanti. Kaki Ara mulai melangkah maju memasuki ruang tamu, maju lagi ke arah ruang tengah namun tak ada siapapun disana.
"Ah...syukur.." Ara mengelus dadanya sendiri. Kini dengan tenang dia naik tangga menuju kamarnya.
"Kok ngga ngucap salam?" Suara Kenan menganggetkan Ara.
"Ish...Daddy bikin kaget."
"Kenapa harus kaget?"
"Aku kira ga ada siapa-siapa tadi."
"Daddy lagi ambil minum di dapur."
"Assalamualaikum..." Ara langsung mengucap salam. Dia menjawab pertanyaan awal Kenan.
"Walaikumsalam." Jawab Kenan.
"Udah ya, aku ke kamar ya Dad."
"Belum selesai." Kenan membuat kaki Ara terhenti lagi. Dia menelan ludah. Siap-siap dengan pertanyaan Kenan yang mungkin bisa mengejutkannya lagi.
"Kakak ga bawa mobil?"
"Engga dad.."
"Dianter temen?"
"Iya dad.."
"Berarti mobil yang Daddy liat tadi di depan, temen kakak?."
"Iya Daddy."
"Kenapa ga disuruh masuk?."
"Dia ada urusan dad, dia cuman nganter aku terus pergi lagi."
"Temen kakak itu perempuan atau laki-laki?"
"Hm..."
"Jangan bohong ya." Ancam Kenan melihat Ara ragu menjawab.
"Laki-laki dad."
"Temen atau pacar."
"Temen Daddy..." Ara seakan lupa dengan ucapan manis tadi kepada Wira.
"Siapa namanya?" Kenan terus mengintogerasi anaknya. Kini Ara kembali menuruni anak tangga dan mendekati Kenan. Setelah dekat, dia melingkarkan tangannya di bahu sang ayah.
"Iihh....Daddy kenapa sih?"
"Kok kenapa?Daddy pingin tahu sayang."
"Aku kan ga nakal dad.."
"Daddy ga nuduh kamu nakal. Ayo sebut namanya siapa."
"Tapi jangan diapa-apain dad."
"Iya engga."
"Wira dad.."
"Ya udah lain kali ajak kerumah, Daddy pingin liat mukanya."
"Iya-iya." Ara dengan terpaksa. Kini Kenan mulai mencium aroma yang terasa asing di hidungnya.
"Kakak ngapain aja di dalam mobil sama Wira?."
"Nga..ngapain gimana sih dad?ya ngobrol aja."
"Ngobrol sampe parfumnya kecium gini."
"Masa sih?parfum aku ini dad." Ara salah tingkah dan ikut mengendus parfum miliknya.
"Engga. Daddy tahu wanginya parfum kakak gimana."
"Udah ah aku mau mandi dad." Ara segera melepaskan tangannya dari Kenan namun ayahnya kini menarik tangan itu lagi.
"Kak, jangan macem-macem ya.."
"Iya Daddy sayang. Gemes deh. Aku ga macem-macem." Ucapan Ara membuat Kenan melepaskan genggamannya. Kini Ara terburu-buru menaiki anak tangga agar tak ditanya lagi oleh ayahnya.
***To be continue