Dariel memutar-mutar sebuah amplop putih ditangannya. Matanya masih terpaku pada satu titik. Pikirannya kalut entah kemana. Tadi pagi satpam rumah Nino memberikan surat itu padanya. Awalnya Dariel tak mau menerimanya namun satpam itu terus memaksanya bahkan dia sampai memohon-mohon hanya untuk sepucuk surat dari Nino yang sampai sekarang belum Dariel buka. Merasa kasihan dan tak mau dilihat tetangga lainnya akhirnya Dariel menerima surat itu. Dia langsung menyimpan surat itu di tas kerjanya dan pergi. Sejak kejadian malam itu dia dan Nino belum lagi bertemu atau bahkan Dariel berpikir jika Nino sudah pergi ke Tokyo menyusul orang tuanya.
"Riel…." Suara ketukan terdengar membuat Dariel segera memasukkan suratnya kedalam laci dan menyuruh orang yang mengetuk tadi masuk.
"Lama banget nyautnya, udah gw ketuk daritadi juga."
"Iya maaf bu. Ada apa?" Dariel berbicara formal maklum jika sudah dikantor sifat kakunya kumat.
"Ini pak Stefan minta gw ngasihin perjanjian sewa perusahaan, katanya buat bayar pajaknya, nah kata bapak simpen aja dulu di Pak Dariel. Besok beliau ambil."
"Oh iya tadi bapak juga telpon. Makasih bu." Dariel mengambil beberapa kertas di tangan Farah.
"Kenapa sih?mukanya gitu banget."
"Gitu gimana bu?"
"Kaya lagi sedih…gitu. Ada apa?lagi berantem sama orang?atau cinta di tolak?" Tebak Farah walaupun opsi kedua tak ingin dia dengar. Dia sepertinya akan patah hati jika benar Dariel bersedih karena urusan cinta.
"Lagi jam kerja dilarang mengobrol diluar hal pekerjaan."
"Seurius mulu."
"Saya digajikan buat kerja bukan buat ngobrol."
"Emang bisa kerja kalau lagi galau?"
"Bisa. Ada lagi ga yang mau dibahas bu Farah?"
"Engga ada pak. Saya kembali ke ruang kerja saya pak." Farah menurut lalu keluar dari ruangan Dariel. Lelaki itu kini kembali melihat dokumen pajak yang diberikan Farah. Dia memeriksanya satu per satu. Pak Stefan sebenarnya ingin Dariel yang mengurus semua perkejaannya mulai sekarang mengingat Pak Stefan akan resign. Dia tak mau mengambil banyak pekerjaan. Dia justru ingin menyelesaikan satu per satu dan mendelegasikan sisanya pada Dariel yang dia promosikan sebagai penerusnya. Dariel sendiri awalnya keberatan. Bukan karena tugasnya tapi karena selama ini dalam karirnya banyak sekali campur tangan Pak Stefan namun karena pak Dikta sudah tahu maka mau tak mau promosi Dariel tak bisa ditarik. Dia sudah tak peduli dengan anggapan orang yang menilai dirinya mudah naik jabatan karena pak Stefan. Dariel lebih memilih fokus untuk menunjukkan kinerjanya. Itulah kenapa dia jarang sekali mengobrol santai dengan rekan kerjanya saat jam kerjanya. Cukup di jam istirahat dia akan bersikap selayaknya teman sisanya dia adalah seorang karyawan.
***
Dariel mematikan lampunya lalu keluar dari ruangannya namun sebelum dia benar-benar pulang, dia berkumpul dengan teman-temannya di lobi. Entah kenapa Chandra menyuruhnya untuk datang ke lobi. Pikiran Dariel menduga-duga apakah ada sesuatu yang penting hingga dia merasa aneh orang-orang banyak mengobrol dan membicarakan hal yang sama. Sejak berjalan menuju lift, di dalam lift bahkan sampai dia keluar lagi orang-orang membicarakan Bos besar alias Kenan.
"Ada apaan sih?kok heboh dikantor?" Tanya Dariel yang melihat teman-temannya juga sedang membicarakan hal yang sama.
"Ini nih kebiasaan deh kudet, makannya jangan ngurung diri di ruangan mulu." Ledek Chandra.
"Iya nih, Kalah sama anak baru. Sandi aja tahu." Gio semakin membuat Dariel seperti orang jaman purba.
"Ya udah kasih tahu ada apa?"
"Anaknya Bapak bos mau masuk." Sonya memberitahu.
"Bapak bos yang kita maksud samakan?"
"Bapak bos 2." Chandra merujuk pada Kenan. Mereka selalu memanggil Kenan dengan sebutan Bapak bos 2 sementara bapak Bos 1 adalah Riko dan terakhir tentu saja Dikta bapak bos 3. Panggilan itu seolah kode rahasia diantara mereka.
"Terus kenapa?kok heboh?Dulu ada gosip Rey mau masuk ga seheboh ini."
"Ya penasaran aja gitu. Anak bapak bos 2 kan terkenal manja. Apa iya bisa gantiin bapaknya?tingkah lakunya aja masih kaya anak kecil." Mia berkomentar seakan dia sangat mengenal Ara.
"Kok gitu sih Mi?kan kita ga tahu. Siapa tahu diluar dia begitu aslinya ternyata engga. Kepemimpinan ga bisa diukur dari karakter aja." Dariel mulai berceramah.
"Iya pak Dariel."
"Katanya sih sebelum bapak bos 2 pensiun anaknya bakalan ada dibawah pak Dikta dulu. Itu artinya ada kemungkinan bareng lu Riel." Sonya yang merupakan seorang HRD jelas tahu informasi detail mengenai masuknya Ara.
"Gw sih sama siapa aja ga masalah."
"Iya deh bapak gila kerja." Ledek Farah.
"Jadi kalian ngumpul cuman buat ngobrol anak bos besar 2?"
"Iyalah ini informasi penting. Meskipun belum tahu kapan anaknya masuk tapikan seengaknya udah prepare gitu. Bahayakan kalo kita ga tahu orangnya yang mana terus dia masuk dan kita berbuat seenaknya, bisa ngadu sama bapaknya. Tamat deh riwayat." Chandra ngeri.
"Udah ah gw mau balik, mau hujan nih ga bawa payung." Farah melihat ke arah pintu kaca di lobi yang menampakan awan hitam.
"Biar gw anterin." Dariel spontan membuat teman-temannya langsung memandang kearahnya.
"Ciw..ciw…pepet terus." Ledek Gio.
"Apa sih? Ada lagi ga yang mau bareng?" Tanya Dariel.
"Engga, Ga ada. Kalian berdua aja." Chandra mendukung. Kini Dariel berjalan menuju basement melalui tangga diikuti Farah di belakangnya. Wanita itu tampak senyum-senyum sendiri. Hal itu terus berlangsung bahkan di dalam mobil. Mata Farah kini beralih memandang wajah Dariel. Wajah pria itu rupanya masih menampakkan hal yang sama seperti tadi siang.
"Jadi masih ga mau cerita?"
"Cerita apa?"
"Itu mukannya kenapa gitu segala?"
"Kalo gw cerita apa lu bakalan kaget?apa lu bakalan ilfil?"
"Emang ada apa sih sampe gw bakalan kaya gitu?"
"Meskipun nanti gw cerita dan lu beneran kaya gitu, janji ya jangan cerita ke siapapun."
"Seserius itu?"
"Gw ga maksa. Kalo lu ga mau janji gw bakalan diem."
"Gw janji." Farah menjawab dengan tegas.
"Gw ga tahu perasaan gw ini apa namanya. Gw ngerasa marah, ngerasa sedih disaat yang bersamaan. Gw bahkan ga bisa bedain apa ini bener apa ini salah. Gw bingung."
"Apa yang bikin lu gitu?"
"Farah, ingetkan waktu kalian pulang dari rumah gw?"
"Iya, kenapa?"
"Malam itu Nino cium gw." Pengakuan Dariel membuat Farah melotot. Dia benar-benar syok. Badan Farah membeku. Dia tak mungkin salah dengarkan?. Dugaan dia tentang Nino hari itu benar. Tapi bagaimana bisa Dariel menjadi seperti ini hanya karena Nino menciumnya?harusnya dia tahu itu salah dan biasa saja atau jangan-jangan…..
***To Be Continue