"Malam itu Nino cium gw." Pengakuan Dariel membuat Farah melotot. Dia benar-benar syok. Badan Farah membeku. Dia tak mungkin salah dengarkan?. Dugaan dia tentang Nino hari itu benar tapi bagaimana bisa Dariel menjadi seperti ini hanya karena Nino menciumnya?harusnya dia tahu itu salah dan biasa saja. Apa jangan-jangan…..Tidak-tidak Farah mencoba menyingkirkan pemikiran gila itu dari otaknya. Temannya yang begitu rupawan itu tak mungkin membelok ke arah lain. Tapi tunggu dulu….itu mungkin saja terjadi mengingat dalam kehidupannya dia selalu bermasalah dengan seorang wanita. Kini Farah memikirkan apa Dariel trauma dengan wanita?apa karena masa kecilnya itu Dariel benci dengan wanita?. Pikiran Farah menjadi liar.
"Farah?" Dariel memanggilnya. Dia melihat ekspresi wajah temannya itu yang membatu.
"Lu pasti kagetkan?"
"Lu..lu ga main-main kan Riel?maksud gw yang lu omongin tadi beneran?Nino cium lu?"
"I..iya. Gw juga kaget Rah. Waktu itu gw diem. Itu pertama buat gw, gw sampai lupa orang yang cium itu cowok atau cewek yang jelas ada orang yang cium gw. Dia tempelin, dia gerakin bibirnya Rah." Dariel dengan refleks memegang bibirnya sendiri membuat Farah semakin dibuat tak percaya. Kenapa temannya harus bersikap seperti itu?apa Dariel kini tak bisa melupakan ciumannya?oh iya itu ciuman pertamanya. Jelas sudah. Farah pun begitu dulu.
"Riel…lu salah riel. Stop Riel. Nino sakit Riel…" Farah mencoba menyadarkan.
"Gw tahu Rah, gw bahkan sempet marah sama dia tapi gw ga ngerti sama diri gw sendiri sekarang. Nino pergi ke tokyo harusnya gw seneng karena dia ga akan deketin gw lagi tapi entah kenapa gw malah punya perasaan sedih." Dariel membuat pengakuan yang mengejutkan lagi. Jangan sampai Dariel mempunyai perasaan pada Nino.
"Riel sadar Riel, Kalo bapak sampe tahu dia pasti bakalan marah."
"Jangan kasih tahu bapak Rah, please…"
"Riel…lu tuh sedih cuman gara-gara ditinggal temen aja. Itu aja kok Riel ga ada yang lain. Perasaan lu campur aduk kaya gitu karena kalian berpisah ga baik-baik. Maksud gw berpisah tuh pamit. Lu bilangkan tadi lu sempet marah."
"Apa iya cuman itu?"
"Riel jangan berharap lebih. Gw tahu lu ga gitu."
"Kadang gw selalu berpikir Rah. Apa iya bakalan ada cewek yang mau sama gw?terlepas itu dari tampilan atau dari uang. Keluarga gw tuh ga jelas Rah. Setiap kali orang-orang mulai bertanya siapa nama orang tua gw, kerjaan mereka apa. Gw selalu jawab tentang Pak Stefan dan Ibu bahkan gw bawa-bawa Rena tapi setelah mereka ketemu dengan orang yang gw sebut sebagai orangtua, mereka justru malah ragu. Mereka ragu bukan hanya dari kemiripan tapi malah nyinggung soal agama. Lama-lama mereka ngomongin gw lagi. Gw yakin kok mereka pasti nyimpulin sendiri status gw itu apa di keluarga pak Stefan. Punya pacar itu khayalan buat gw, jadi kenapa gw harus cape-cape nyari orang yang mau nerima gw disaat ada orang lain yang nyodorin buat nerima gw apa adanya." Perkataan Dariel membuat Farah menganga. Apakah itu artinya dia….
"Riel…lu cuman belum ketemu sama cewek yang pas aja."
"Sampai kapan Rah gw harus nunggu?gw bahkan selalu nunggu bisa ketemu ibu lagi meskipun dia udah ninggalin gw. Gw kayanya udah cape. Gw selalu iri dengan orang-orang yang punya pasangan tapi sekalinya gw suka sama cewek, cewek itu malah nyakitin gw dan lu tahu itu penyebabnya apa?karena gw yang sayang duluan dan mereka engga." Ucapan Dariel seakan ingin membuat Farah berteriak 'ADA AKU'. Haruskah Farah mengakui perasaanya sekarang?.
"Riel anggaplah lu sekarang sama kaya Nino. Apa lu ga pikirin perasaan pak Stefan?tante Vani?apa pernah mereka ngajarin lu ke jalan yang salah?apa pernah Riel?mereka bukannya merubah lu menjadi lebih baik?dalam segala hal pula. Apa iya lu setega itu bikin mereka kecewa?" Perkataan Farah membuat Dariel terdiam.
"Nino biar gitu lu jangan. Kalaupun di dunia ini ga ada satupun cewek yang bisa nerima lu, gw mau kok." Ucapan Farah disambut senyum kecil oleh Dariel dengan tangan yang terus memegang kemudi. Dia tak berniat menoleh pada Farah.
"Gw seurius Riel.." Farah seakan menjawab senyuman Dariel tadi.
"Iya Rah, gw tahu. Gw tahu lu pasti bakalan nerima gw. Bukannya gw nolak atau gw ga suka. Lu baik, cantik, cerdas siapa yang ga mau?dan karena kelebihan lu itu, orang tua lu pasti pingin pendamping yang terbaik untuk anaknya."
"Orang tua gw kan udah tahu lu."
"Iya mereka tahu. Mereka bahkan udah tahu gimana latar belakang gw kan?dan karena itu mereka…mereka…"
"Mereka kenapa?" Farah benar-benar penasaran dengan orang tuanya.
"Gw ga mau lu marah sama mereka setelah gw cerita. Tolong posisikan diri lu kaya gw, yang ga mau kecewain orang tua."
"Kenapa sih?"
"Entah mereka negur gw atau engga tapi…gw ngerasa diperingatin. Terakhir kali gw kerumah lu, om Deni bilang 'Farah itu punya darah bangsawan dan patuh sama aturan keluarga. Tahu kan bangsawan kalo cari pasangan gimana?'. Cuman dengan pertanyaan itu aja gw udah tahu maksudnya gimana. Mungkin om Deni punya feeling sendiri tentang gelagat gw. Gw suka sama lu? Iya Rah gw suka tapi…gw lebih suka lagi kalo lu sama orang lain yang sepadan. Yang orang tua lu suka, yang keluarga besar lu terima dan yang pasti lelaki yang jelas." Perkataan Dariel membuat Farah tak percaya jika ayahnya pernah berkata seperti itu. Apakah itu sebabnya Dariel selalu menolak jika dia ajak berkunjung ke rumahnya?. Apakah karena itu pula Dariel tak kunjung menyatakan cintanya?.
"Rah…gw udah pernah coba jadi orang ga tahu diri deketin Astrid dan ternyata ga bisa, gw juga udah coba deketin lu, tapi ternyata ga bisa juga. Salahnya bukan di lu atau om Deni. Ini…salah…salah gw aja."
"Riel..gw ga mau cuman gara-gara itu lu jadi salah jalan. Gw yakin Papa ga maksud gitu."
"Gw ga pernah marah sama om Deni. Dia tuh sama kaya bapak, protektif sama anaknya." Dariel mulai menepikan mobilnya di depan rumah Farah. Kini suasana menjadi canggung di dalam mobil sampai Farah memberikan diri untuk memegang tangan Dariel yang masih ada diatas kemudi.
"Rie..maafin papa."
"Ga usah minta maaf. Gw ga papa, dari kecil gw udah terbiasa dengan omongan gitu."
"Please Riel…jangan kaya Nino." Pinta Farah membuat Dariel diam.
"Apa mau kita coba?." Tambah Farah sambil memegang erat tangan Dariel. Pria itu tahu maksudnya apa tapi dia hanya tersenyum.
*** To Be Continue