Ara mundar-mandir tak karuan di depan pintu. Dia gelisah karena sedaritadi belum juga ada tanda-tanda kehadiran Dariel. Kamar mereka berhadapan pasti jika Dariel pulang dia bisa mendengar.
"Dih...kalo dipikir-pikir kenapa aku segininya?biasanya juga biasa. Udah ah cape mikirin orang itu." Ara kembali ke kasurnya. Berbaring sambil menonton. Dibanding Farah dia merasa lebih unggul. Kenapa Dariel betah berlama-lama dengan Farah sih?. Ara terus memikirkannya padahal baru beberapa detik yang lalu dia bertekad untuk tak memikirkan Dariel. Bagaimanapun seharian ini Dariel telah mengacuhkannya. Kini handphone Ara berbunyi dan itu tertulis Daddy.
- Iya dad.
- Kok ga telepon Daddy?
- Aku baru selesai mandi.
- Kakak udah makan.
- Belum.
- Kenapa?udah malem ini kak.
- Ga nafsu makan.
- Kenapa?kakak sakit?
- Engga, aku ga sakit. Udah kenyang.
- Katanya belum makan tapi kenyang.
- Ya emang harus makan dulu baru kenyang?
- Ya terus kakak kenyang karena apa?.
- Minum.
- Minum apa?
- Minum yang seger-seger pokoknya.
- Gimana dinasnya?seru?.
- Panas.
- Sabar, udah keliling mana aja kak?
- Keliling kantor cabang, pabrik.
- Jangan tidur malem-malem. Pulang kerja istirahat.
- Iya dad.
- Terakhir kakak kemana?
- Ke Jogja dad..
- Beliin oleh-oleh ya dari Jogja.
- Iya dad. Daddy pingin apa?aku beliin langsung deh.
- Beliin bakpia aja. Sekalian liatin restoran mommy.
- Iya-iya dad.
- Nanti pulang kabarin ya, Daddy jemput.
- Iya daddyku...
- Ya udah kakak tidur. Awas malah pacaran.
- Engga dad.
- I love you.
- Love you too addy.
Ara langsung menutup teleponnya. Ara diam lagi dan suara bel hotel terdengar.
"Siapa?" Ara heran. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ara beranjak dari tempat tidurnya dan disaat yang bersamaa handphonenya berdering lagi. Ara menyempatkan diri melihat layar untuk tahu siapa yang menelpon.
- Halo za..
Ara mengangkatnya sambil berjalan menuju pintu.
- Aku kira kamu udah tidur.
- Belum, tapi mau kayanya.
- Kapan pulang sih?
- Baru juga sehari pergi.
- Iya berasa sewindu buat aku. Aku jemput ya nanti.
- Eh ga usah Daddy aku jemput.
- Yah...
Eza kecewa. Ara yang ada di depan pintu mengintip sebentar dan melihat sosok yang ingin dia temui sejak tadi.
- Eh za nanti lagi aku telepon ya, ada yang mau aku kerjain dulu penting.
- Oke, Jangan istirahat malem-malem yang sayang.
Eza dengan mesra sementara Ara langsung menutup teleponnya tak sabar. Ara membenarkan pakaiannya kemudian membuka pintu.
"Malem..., apa aku ganggu?" Dariel langsung berbicara saat melihat Ara.
"Hm...engga, kenapa?"
"Tadi aku sama Farah habis makan jadi keinget ibu eh maksudnya Ara. Apa udah makan?." Dariel perhatian. Ara senang. Dilihatnya ada sebuah plastik di tangan Dariel.
"Belum, aku tadi banyak ngerjain kerjaan."
"Pas kalo gitu. Nih..aku bawain makanan. Udah ada sendok sama garpu di dalem." Dariel menyodorkan makanan. Ara diam sejenak. Dia rasanya ingin tersenyum tapi dia tahan.
"Kenapa?ga mau ya?."
"Engga kok aku mau." Ara langsung mengambilnya.
"Ya udah selamat malam."
"Riel..." Panggil Ara lagi. Pria itu kembali ke tempatnya.
"Kalo ga cape, boleh temenin aku makan. Bentar...aja." Pinta Ara. Dariel berpikir.
"Oke." Jawaban Dariel semakin membuat Ara berbunga-bunga. Kini dia mempersilakan Dariel masuk. Mereka memutuskan untuk duduk di sofa yang tersedia disana. Ara mulai membuka makanannya. Ah...untung saja dia tak makan tadi jadi...bisa langsung melahap bawaan Dariel. Memang jodoh.
"Lembur sampe jam berapa tadi?"
"Jam 7an.."
"Kok bisa?"
"Ada selisih yang mesti dicari dulu."
"Kan bisa besok lagi."
"Ada yang harus dikerjain Farah besoknya." Dariel membuat Ara sedikit malas mendengar karena membicarakan Farah. Dia kembali mengunyah makanannya.
"Kita ke Semarang besok jam berapa?"
"Chandra bilang malem sehabis kerja. Disana dua hari baru ke Jogja."
"Masih panjang perjalanan."
"Kamu udah cape?" Perkataan Dariel terdengar menyenangkan di telinga Ara.
"Engga sih, aku seneng."
"Jangan cape-cape nanti bahaya."
"Kenapa bahaya?"
"Pak Kenan tahu jadi bahaya buat kita yang ikut."
"Enggalah, Daddy ga akan segitunya."
"Iya bercanda." Dariel sambil tersenyum. Melihat senyumannya Ara semakin dibuat jatuh cinta. Rasanya...belum pernah dia sejatuh cinta ini pada lelaki lain. Dariel melepaskan dasinya yang masih melekat lalu menyimpannya ditas yang dibawa setelah ini dia membuka kancing paling atas, berlanjut ke kancing selanjutnya dan berlanjut sampai kancing ketiga. Ara menelan ludahnya. Astaga...ada bulu-bulu halus disana. Ara suka. Dariel merentangkan tangannya membuat baju itu semakin terbuka. Ah...itu semakin seksi saja. Ara tak berhenti menatap namun dia harus cepat-cepat menurunkan pandangannya sebelum Dariel memergoki dirinya.
"Kalo udah ngantuk kamu boleh pergi kok."
"Kalo makananya udah habis baru aku pergi." Dariel menjawab tegas. Sesungguhnya Dariel berharap Ara makan dengan perlahan. Dia tak mau kebersamaan mereka hanya sebentar. Hari ini dia tak bersama Ara jadi..waktu makan malam ini dia harus manfaatkan dengan baik.
"Aku nyalain dulu AC.." Ara mencari remotenya.
"Kalo tidur suka dinyalain AC nya?"
"Iya tapi sewajarnya aja. Menjelang subuh baru dimatiin. Dingin.."
"Kalo tidur suka dimatiin dinyalain lampunya?"
"Dimatiin, kalo tidur aku sukanya redup."
"Sama dong." Dariel dengan cepat. Dia terhenti sejenak. Kenapa harus mempertanyakan soal 'kalo tidur?'. Bisa-bisa Ara salah paham. Duh..Kacau.
"Aku kadang suka ga bisa tidur di tempat pertama yang baru aku datangin."
"Kemarin ga bisa tidur dong?"
"Ya..sedikit. Aku baru bisa tidur subuh."
"Kenapa ga bilang?aku temenin ngobrol."
"Takut kamu udah tidur lagian aku bisa ngatasinnya."
"Ya udah sekarang kan hari kedua harusnya bisa tidur. Udah makan tidur."
"Ga baik. Bisa gemuk aku."
"Engga kok, ga gemuk. Kan ga setiap hari."
"Tetep aja bagi wanita kadang malem ga mau makan."
"Dimata aku wanita cantik bukan dilihat dari kurus gemuknya tapi dari sifatnya." Dariel seolah memberikan kisi-kisi tipe idealnya. Ara harus mencatat ini.
"Emang kamu sukanya sifat yang gimana?"
"Yang perhatian, yang cerdas pokoknya yang bisa ngerti aku deh."
"Hm...udah ketemu yang kaya gitu?"
"Udah." Jawab Dariel. Matanya melihat ke arah Ara. Jelas wanita itu maksudnya tapi...Ara justru kecewa. Bagi Ara berarti ada orang lain yang sudah mencuri hati Dariel.
"Wah seneng dong."
"Engga juga."
"Kenapa?"
"Karena aku ga tahu harus gimana." Dariel membuat Ara semakin menerka-nerka apa orang itu Farah?secara mereka sudah dekat dari dulu. Ara lesu tapi dia tak mau patah semangat. Selama janur kuning atau bahkan bendera kuning belum berkibar Ara akan memperjuangkannya. Siapa tahu Dariel bisa suka juga.
***To be continue