WARNING!!Dalam cerita ini mengandung perbuatan yang tak pantas untuk ditiru. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
"Makasih udah dibantuin beres-beres." Ucap Dariel saat meletakkan piring terakhir yang dia cuci sementara Nino membereskan ruang tamu. Ruangan itu jelas seperti kapal pecah akibat kekacauan yang dibuat teman-temannya tadi siang.
"Iya sama-sama." Nino meletakkan sapu ditempatnya. Rasanya sedih sekali malam ini adalah malah terakhir dia menginap dirumah Dariel. Mereka kini berjalan ke ruang tengah dan duduk disana dengan santai seolah melepaskan rasa lelah.
"Temen-temen lu asyik semua."
"Iya mereka baik-baik, seneng bercanda jadi kalo tadi mereka ngomongnya rada aneh jangan masukin hati ya No."
"Iya engga kok, santai aja." Nino memanjangkan kakinya begitupun Dariel yang mulai mengipas dirinya sendiri.
"Riel..."
"Hem.."
"Gw bakalan pergi ke Tokyo."
"Oh..nyusul orang tua?"
"Engga. Kayanya...gw bakalan diem disana."
"Maksudnya?" Dariel kini duduk tegak lagi.
"Gw bakalan tinggal disana, Kebetulan kerabat Mama juga disana. Mama jadi nyuruh gw buat belajar jadi...mau ga mau gw harus kesana."
"Kapan?"
"Lusa gw bakalan pergi." Nino membuat Dariel terkejut. Secepat itu?bukankah mereka baru kenal?. Rupanya begiulah pertemanan dimana ada awal pasti ada akhir, dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan.
"Padahal gw baru aja pindah sekarang lu yang pindah."
"Iya mau gimana lagi, kalo Mama yang udah ngomong berarti Papa udah kesel, udah dari dulu Papa nyuruh gw pindah."
"Lu bakalan menetap disana?"
"Engga tahu."
"Pokoknya gw doain yang terbaik deh buat lu No.." Dariel dengan tulus. Nino tampaknya yang paling bersedih. Entah kenapa ada perasaan yang menariknya agar tak berpisah dengan Dariel. Suasana hening. Tak ada satupun yang berbicara diantara mereka. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Apa lu ga mau ikut?"
"Ikut?ngapain?"
"Ya belajar. Semua biaya gw tanggung."
"Engga...ga usah gw disini aja." Dariel bingung.
"Disana enak kita bisa bebas."
"Bebas?gw lebih seneng disini kayanya." Dariel menolak mentah-mentah. Dia tak tahu kenapa Nino malah mengajaknya.
"Kenapa?lu kan belum nyoba."
"Gw ga ada niat kemana-mana No.."
"Ayolah Riel.." Nino bangkit dan memaksa Dariel. Dia bahkan menarik-narik tangan Dariel. Mata Dariel menatapnya aneh. Kenapa begitu memaksa?.
"Engga No. Bapak juga pasti ga ngijinin."
"Gw yang bakalan ngomong sama om Stefan."
"No cukup, kenapa sih?kenapa lu harus sampe maksa gini?mungkin orang tua lu pingin yang terbaik buat lu makannya mereka nyuruh lu kesana."
"Karena mereka mau jodohin gw Riel makannya gw ga mau."
"Ya udah bilang aja baik-baik."
"Ga bisa. Mereka butuh bukti alasan gw nolak."
"Ya udah bawa pacar lu kesana kek."
"Ehm...makannya gw pingin bawa lu Riel.."
"Hah?!!" Dariel bingung maksudnya. Dia tak mengerti. Apa urusannya dengan dia ikut ke Tokyo. Belum juga terjawab Nino malah mencium bibirnya. Dariel diam sejenak dia merasakan gerakan bibir seseorang dimulutnya. Astaga...ini ciuman?apa rasanya seperti ini?. Dariel terpaku karena gerakan Nino yang terus membuka dan menutup mulutnya secara perlahan sementara satu tangannya masih berada di lengan Dariel. Kenap Dariel malah terpaku sekarang?. Dia seakan membiarkan Nino melakukan aksi terlarang itu.
***
"Dad...Daddy..." Ara sudah berada di ruang kerja ayahnya. Dia duduk di bahu kursi dimana Kenan masih berdiam diri disana sambil melihat beberapa dokumennya.
"Apa kak?Ga dirumah ga di kantor seneng ngintilin Daddy..."
"Daddy nih ga dirumah ga dikantor kerja....mulu."
"Ada yang harus Daddy urusin sayang, penting."
"Aku ga penting?kita ga penting buat Daddy?" Ara merujuk pada keluarganya.
"Ya... penting dong. Kenapa?sekarang kakak pingin apa?" Kenan mulai membuka kacamata kerjanya.
"Gimana permintaan aku yang kemarin-kemarin dad?"
"Yang kemarin mana?."
"Daddy pura-pura lupa."
"Daddy beneran lupa sayang, ayo bilang apa?"
"Aku pingin kerja aja udah lulus nanti."
"Engga." Kenan dengan tegas.
"Dad...aku cape Daddy. Aku pingin cari uang aja."
"Uang buat apa?"
"Ya..buat apa kek, belanja gitu, nabung. Pokoknya buat aku."
"Daddy kasih besok." Kenan cepat dan jelas.
"Aku ga mau dikasih lagi sama Daddy. Aku mau usaha sendiri."
"Engga kak. Daddy ga setuju pokoknya anak Daddy sekolahnya harus tinggi."
"Ayolah Dad...kali ini....aja."
"Daddy bilang engga ya engga kak."
"Daddy....tega sama aku.."
"Kok tega?Daddy ga mau kakak cape-cape kerja."
"Iya tapi cape mikir disekolah."
"Jangan jadi anak pemalas kak. kakak ngeledekin Kay tapi kakak sendiri gini."
"Ya bedalah dad sama Kay."
"Kak, Daddy selalu nurutin loh yang kakak mau. Dari A sampe Z masa Daddy minta satu aja kakak ga nurut?."
"Aku bukannya ga nurut aku kan lagi bernegosiasi sama Daddy."
"Ini bukan negoisasi, kakak maksa terus."
"Argh....aku sebel sama Daddy." Ara segera berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Kak...kakak.." Panggil Kenan namun anaknya itu berjalan dan keluar dari ruangannya. Kini dia menemui ibunya.
"Mommy...."
"Kenapa?"
"Daddy nyebelin." Ara mengadu. Dia langsung duduk disamping ibunya. Bergelayut manja sambil bersandar di pundak ibunya.
"Nyebelin kenapa?."
"Masa aku pingin kerja ga diijinin mom..."
"Duh..Kakak ada-ada aja. Daddy kan suruh kakak sekolah."
"Udah deh aku cukup S1 aja mommy."
"Kenapa sih kak, sekolah kan enak banyak temen, banyak ilmu."
"Ya enak tapi aku udah pingin kerja aja mom. Mommy bantuin dong mom.."
"Bantuin apa?"
"Bujukin Daddy mom. Kalau sama Mommy kan Daddy suka nurut."
"Nanti Daddy nanya kenapa sama mommy. Kalau cuman alasan kepingin mana kuat kak. Daddy pasti bakalan nolak keinginan kakak."
"Katanya Daddy kalo aku minta apa aja diwujudin, kenyataannya ini engga."
"Ya habis kakak ada-ada aja."
"Lagian mom kalo aku nikah ujung-ujungnya kaya mommy gini."
"Eh kata siapa? Wanita itu boleh memilih kak. Ga harus dirumah juga. Mommy kaya gini karena pilihan mommy. Mommy udah puas kerja dulu-dulu. Mommy pingin istirahat ngurusin anak-anak tapi..ga menutup kemungkinan juga mommy bakalan kerja lagi."
"Pokoknya aku pingin kerja titik."
"Kakak butuh apa sih?coba bilang, mommy beliin."
"Engga mom, aku ga kepingin apa-apa. Ini karena memang aku aja yang pingin nyari kegiatan lain."
"Kakak aneh Kalo anak-anak orang kaya lain itu cenderung ga mau kerja dan banyak foya-foya. Ini kakak pingin kerja."
"Ya kan aku beda sama yang lain. Aku ga diajarin kaya gitu sama Daddy, sama mommy juga aku ga pernah diajarin buat foya-foya. Ayo dong mom. Mommy ga sayang sama aku?"
"Mulai deh keluar jurus pamungkasnya pake acara bilang ga sayang." Jesica menatap anaknya membuat Ara malu sendiri.
"Mom...mommy cantik deh. Daddy pasti nurut kalo mommy yang bilang." Ara kini mulai memuji-muji membuat Jesica hanya bisa senyum-senyum.
"Mommy pikirin dulu tapi mommy ga janji."
"Ye...makasih mommy." Ara mencium ibunya sebelum memeluknya untuk mengatakan terima kasih.
****To be continue