Dua buah tangan kecil, gemuk nan lembut meraba-raba wajahnya. Perlahan Artha membuka matanya. Tampak sosok bocah balita tampan yang baru bisa merangkak sedang menindih dadanya, tersenyum lebar memamerkan satu gigi susunya yang baru tumbuh.
"Taaa...Ta!" celoteh lucu nan menggemaskan meluncur dari bibir mungil itu bersaman dengan air liurnya jatuh tepat di dagu Artha.
"Ya nak? Papa sudah bangun. Tapi masih ngantuk..." Artha memeluk bocah balita itu dengan lembut dan kasih sayang sambil memejamkan matanya lagi.
Lalu terdengar suara lembut yang sangat ia kenal, "bangun sayang."
Pelan-pelan ia membuka matanya kembali. Menatap Anya yang tersenyum hangat di atas wajahnya.
Jangan bilang ini mimpi! Ia bahkan tidak ingin mengusap-usap kelopak matanya agar mimpinya tidak buyar.
"Ayo sayang jangan ganggu papa," kata suara Anya lagi sambil mengangkat bocah balita dari pelukan Artha.
Kedua tangan Artha lalu terulur ke atas, menanti giliran pelukan dari Anya.
Namun…
"Adaaauuw!"
Artha segera terjaga! Matanya terbelalak kaget melihat Everest anak Jovan dan Amor tertawa tepat di atas wajahnya sambil menjambak atau tepatnya bermain dengan rambut kribo kusutnya.
Aah...ternyata hanya mimpi. Artha mendesah kesal. Kecewa mimpinya buyar.
"Kenapa gangguin om Artha tidur sih Ev..." Artha balas dengan menarik gemas kedua pipi chubby Everest yang langsung berceloteh ramai.
"Taaa....taaa....taaaa...."
"Akhirnya om Artha bangun," terdengar suara Jovan. "Everest pinter ya bangunin om Artha sahur."
"Ta...ta...ta..." Everest berceloteh lagi. Tangan mungilnya masih terperangkap di dalam gumpalan rambut Artha. Bahkan beberapa kali berusaha menguyahnya dengan satu gigi susunya.
"Ugh...tepatnya sih ganggu mimpi indah om Artha." Artha bangun dari atas karpet sambil menggendong Everest yang tangannya tak berhenti memainkan rambut kribo Artha.
Jovan yang rupanya dari duduk di sofa terkekeh geli melihat Artha uring-uringan. Jovan tampak duduk dengan Momo kembaran Everest di pangkuannya. Sebenarnya Jovan memang sengaja membiarkan Everest merangkak dan mengganggu mimpi indah bin basahnya Artha.
"Pasti daddy kamu ya yang suruh ganggu mimpi indah om?" Artha melirik pura-pura sinis dengan sebelah mata disipitkan.
"Maksudnya mimpi basah lo Tha?" timpal Jovan sambil berdiri dengan menggendong Momo.
Artha mengusap dagunya yang basah-basah lengket karena air liur Everest masih tertinggal di sana. Benar kata Jovan, dia memang habis mimpi basah. Tapi mimpinya dibasahi oleh air liur anaknya.
"Om Artha, daddy ayo sahur. Makanannya sudah siap." Amor muncul dan mengambil alih Momo, bersamaan dengan suaminya yang mengecup ringan keningnya. Pemandangan sederhana yang lantas mengusik jiwa jomblo Artha yang cemburu dan kesepiaaaaan!
Aaarrgghhh! Artha jadi ingin menjerit, gue kapaaaan?!
Artha lalu menatap Everest dengan hati nanar.
"Om boleh kecup basah kamu nggak Ev?"
"Ta...ta...taaa!"
"Ok."
"Muaaachh!" Artha mengecup gemas pipi gembil Everest yang tangan mungilnya langsung balas menampar wajah Artha dengan telapak tangan mungilnya.
Duh...balita aja ogah gue cium. Apalagi Anya...ngenes banget gue. Batin Artha merana.
Setelah menumpang makan sahur bersama keluarga besar Jovan dan Amor, Artha duduk di sofa menonton sinetron islami khas Ramadhan. Tak sengaja ia melihat kertas tebal selebar ukuran setengah HVS berwarna merah dengan pita warna emas tertindih remote TV. Bentuknya seperti undangan pernikahan. Tidak mungkin undangan arisan PKK apalagi undangan sunatan.
Artha mengambilnya dan menatap dua inisial yang tertera di sampulnya dengan tinta emas.
P & A.
Seketika Artha tertawa mencemooh dua inisial itu.
"Pe-Ak kali!" gumam Artha sambil tertawa getir.
Dengan tangan gemetaran Artha nekat membuka undangan itu, tanpa mempersiapkan hatinya terlebih dulu atau minimal membaca bismillah. Artha malah memilih menahan nafas seolah sedang membuka sesuatu yang berbau busuk.
Aaah...baru melihat sebentar Artha langsung melengos.
Sakit hati rasanya.
Itu undangan pernikahannya Anya dan Pasha. Tega sekali Amor sembarangan menaruh benda yang begitu mengerikan bagi Artha.
Di dalam undangan tampak juga foto prewedding Anya dan Pasha dengan balutan busana khas Aceh. Artha sampai menggigit bibirnya menahan cemburu.
Pedih.
"Lo masih kuat liatnya?" Amor tahu-tahu sudah berada di dekatnya dengan wajah geli melihat tingkah Artha yang kini bagai cacing kepanasan.
"Lo sembarangan banget sih taruh undangan kek gini?!" Dengan sewot Artha mengembalikan undangan yang menurutnya bertema horor itu pada Amor.
Namun dalam hati ia merasa heran. Mengapa ia belum mendapatkannya juga. Apakah Anya tidak akan mengundangnya?
Amor tertawa geli sambil merebut undangan itu dari tangan Artha. "Sorry...gue lupa sembunyikan dari lo. Tapi siapa suruh lo usil liat-liat segala." Amor menyimpan undangan itu di dalam laci nakas. "Jadi sakit kan?"
Artha memeluk bantal sofa dengan mimik sedih. Amor benar, hatinya kini terasa sakit. Seharusnya ia menahan diri sambil terus nonton sinetron Ramadhan ketimbang mencari tahu sesuatu yang akan makin membuatnya sedih dan terluka.
"Lo kok udah dapat undangan? Lebaran juga masih tiga minggu lagi," tanya Artha menyelidik teringat Amor pernah bilang kalau Anya akan menikah dua minggu setelah lebaran.
Amor menatap geli pada Artha. Tidak tega sebenarnya melihat raut wajah Artha yang sok kuat padahal dalam hatinya sedang meringis pedih.
"Gue sahabatnya, jadi gue spesial dapet duluan dong. Sorry ya."
Artha mencibir.
"Lo mau datang ke sono?"
"Ke hajatan dia di Aceh maksud lo?"
"Ya kali." Artha pura-pura acuh sambil memainkan gumpalan rambutnya.
"Iya dong. Pergi berenam. Gue, Jovan, Marlon, si kembar sama asisten rumah tangga gue."
"Nggak sekalian satu komplek RT lo ajak?" komentar Artha nyinyir.
"Sekarang lo jadi nyinyir ya sejak patah hati?" balas Amor dengan nada geli.
"Kalo jadi ustadz namanya hijrah Moy," Artha menimpali sambil merebahkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya.
Amor tertawa lagi sambil memukul kepala sepupu galaunya itu dengan bantal sofa.
"Gue denger lo mau dijodohin ya ama anak temen tante? True or fake?" tanya Amor tiba-tiba. Artha membuka matanya lagi dan menatap kosong ke atas.
"Udah," jawabnya tak bersemangat.
"Terus?"
"Namanya Gita."
"Kayak apa orangnya?"
"Cantik, muda banget karena baru lulus kuliah, baik tapi...agak manja." Artha agak malas-malasan menjawab. "Kemaren gue sama Gita malah nggak sengaja ketemu Anya."
Amor sontak melebarkan matanya. Tertarik dengan cerita Artha.
"Wow, reaksi Anya gimana?" Amor begitu penasaran. Mengingat Anya kini lebih banyak diam dan enggan berkomentar tentang Artha. Anya lebih senang membahas tentang rencana pernikahannya dengan Pasha. Amor juga tidak ingin mencampuri terlalu jauh masalah Anya dengan Artha. Walau pun sebenarnya Amor ingin tahu lebih banyak lagi.
Artha mengingat reaksi Anya kemarin. Tidak terlalu sulit membaca raut wajah Anya. Wanita itu tidak akan pernah berhasil menyembunyikan emosinya di depan Artha. Terlihat jelas di mata Artha, Anya tampak gelisah melihat kebersamaannya degan Gita. Meski wanita itu tampak sekuat tenaga menyembunyikan perasaannya.
"Entahlah." Artha menutup matanya lagi.
Amor menggeleng kepalanya. Belum puas dengan jawaban Artha.
"Tha jangan tidur dulu nanti kebablasan lupa solat subuh." Amor mengguncang bahu Artha. Mengingatkan.
"Gue cuma merem nyonyah. Bukan tidur," sahut Artha masih dengan mata terpejam.
Amor berhenti mengusik. Ditatapnya wajah dan rambut mengembang Artha dengan prihatin. Wajahnya tampak agak kurusan dibalik gumpalan besar rambutnya yang mulai menutupi sebagian dahinya. Sejak Anya menolaknya, Artha sengaja absen pergi ke barber shop. Sudah tidak peduli lagi dengan penampilan.
Amor mencopot bando tipis warna kuning yang ia kenakan, lalu memakaikan bandonya ke kepala Artha. Membuat kening Artha terlihat lebih jelas.
"Begini kan jadi mendingan ganteng. Gue pinjemin bando. Lo lebih butuh Tha."
Lelaki itu tetap memejamkan matanya tidak peduli dengan keisengan Amor.
Amor menatap wajah sepupunya sejenak sebelum beranjak pergi. Artha tampak masih terluka dengan keputusan Anya. Amor tahu itu meski Artha tidak pernah mau mengungkapkannya. Lelaki itu lebih memilih menyimpannya sendiri.