Lebaran datang dan berlalu. Seiring dengan habisnya ketupat opor ayam, raibnya isi toples nastar beserta teman-temannya dan dompet yang menipis karena panjangnya barisan keponakan yang mengantri minta angpao Lebaran.
Namun Artha lebih senang dengan perginya sanak saudara yang kerap bertanya, kapan nikah?
Sejujurnya Artha lebih senang dipalak serombongan keponakan yang menagih angpao Lebaran, dari pada ditanya mana calonnya? Kapan nikah? Lagi sama siapa sekarang? Yang lebih sadis malah langsung bertanya, anak lo udah berapa?
Kalau boleh balik bertanya pada mereka, maka Artha akan bertanya, "kalo kalian kapan mati?"
Niscaya mereka tidak akan sanggup menjawabnya.
Bagi Artha dan sebagian besar kaum jomblo di dunia, jodoh dan kematian memiliki kesamaan. Tidak tahu kapan datangnya. Bisa nanti, besok, lusa atau entah kapan.
Beruntung, Artha memiliki Mamah yang hiperaktif dan selalu tidak pernah bosan memberi konfirmasi setiap kali ada yang menanyakan Artha kapan menikah.
"Artha mah udah ada calonna. Namana Gita. Geulis pisan pokokna. Ya kan Tha?" Sambil melirik Artha yang selalu pasang tampang malas dibalik rimbunnya rambut kribonya.
Begitu terus tiap kali ada yang bertanya. Mungkin pertanyaan yang sama akan terus terulang hingga Lebaran tahun berikutnya. Atau sampai kedua adiknya si Bima dan Arya menikah terlebih dahulu.
Mengenai kedua adiknya yang lebih beruntung darinya, masing-masing dari mereka sudah punya pacar. Tapi tidak ada satu pun orang yang menanyakan mereka kapan nikah? Si Bima, adiknya yang paling ganteng malah ditanya kapan putus sama pacarnya. Kalau si bungsu Arya cuma ditanya kapan lulus kuliah. Hanya Artha saja yang selalu ditanya kapan nikah.
Apakah karena tampang Artha sudah mulai kelihatan tua? Padahal dalam usianya yang telah menginjak 32 tahun, Artha merasa wajahnya tetap tampak awet muda. Tak seperti wajah Bima yang boros meski lebih tampan darinya.
Dan setelah semua pergi dan tidak ada yang bertanya, ganti sang Mamah yang mulai bertanya soal Gita.
"Gita kumaha Tha? Mau dilamar kapan?"
"Lebaran kuda mah," jawab Artha santai sambil sebelah tangannya mengais sisa-sisa remahan rengginang di dalam kaleng bekas biskuit sambil menatap kosong ke luar jendela.
"Kumaha sih? Mamah serius Tha." Saking kesalnya mamahnya sampai memukul paha Artha.
"Serius atuh Thaaa...Kamuh sama Gita udah deket kan? Udah sampe tahap manah? Mamah penasaran pisan."
"Nggak ada tahap-tahapan mah. Ngalir ajah," jawab Artha semakin malas membahas mengenai Gita, gadis manis anak teman Mamahnya yang belakangan ini ia jadikan pelarian agar dapat melupakan Anya.
Namun nyatanya, percuma. Hingga detik ini, ia masih belum melupakan perasaan dan harapannya pada Anya yang sebentar lagi akan menjadi milik Pasha Iskandar.
"Thaaa, tolongin Mamah!" tiba-tiba terdengar suara Mamahnya dari ruang tengah di mana Mamah biasanya menonton sinetron kesukaannya.
"Kunaon Maaah?!" Artha menyahut sambil meletakan kaleng kosong ke atas meja.
"Tolong benerin antena tipi di atas!"
"Ya Maaah!" Artha bergegas menuju ke samping rumah untuk mengambil tangga.
Begitu sampai di atas genting, Artha mengutak-atik antena televisinya. Geser sana geser sini hingga sang Mamah berteriak dari dalam rumah.
"Belum, Thaaaa! Masih banyak semutnaaa!"
"Sabar atuh Maaah!" sahut Artha sedikit kesal sambil kembali menggeser posisi antena dari arah selatan hingga ke arah barat lalu menunggu instruksi Mamah berikutnya.
"Gimana Maaaah?!"
"Masih ada semutnaaa!"
"Okeh," Artha menghela nafas panjang. Urusan antena kadang bisa membuat orang mudah depresi. Artha mengeser kembali antenanya ke arah timur.
Di kala ia sedang berusaha menyenangkan sang Mamah agar dapat menonton sinetron kesukaannya tanpa hambatan, ia dikejutkan dengan masuknya notifikasi ke dalam ponselnya.
Dari sepupunya, Amor. Mengiriminya sebuah potret Anya yang tampak mempesona dalam balutan busana adat Aceh.
"Dasar sepupu nggak ada akhlak!" Artha mengomel sambil membalas pesan sepupunya dengan cepat.
Artha: Ngapain lo kirimin gue foto itu, marmuuut?!
Lima menit kemudian dibalas.
Amor: Hahaha! Tapi seneng kaaan?
Artha: Lo mau bikin gue gagal ginjal?
Amor: Ups, sorry. Gue kirain bisa ngehibur lo.
Artha: Bikin gue nyaris oleng sih iya.
Artha menatap ke bawah atap rumahnya dengan ngeri. Gara-gara sepupunya mengejutkannya dengan foto Anya yang tampak lebih cantik jelita dari biasanya, Artha hampir saja oleng dari atas genting rumahnya.
Amor: Tiga hari lagi, Tha. Lo nggak kepikiran pengen melakukan yang nggak-nggak kan?
Artha tertawa getir membaca tuduhan Amor padanya lalu membalasnya.
Artha: Gue emang patah hati, Moy. Tapi gue bukan cowok menye-menye. Tenang aja.
Amor: Good! Gue tenang deh. Oiya, gue dan Jovan besok lusa berangkat ke Aceh, lo mau nitip apa? Nitip salam buat Anya mungkin...
Artha tertegun. Memikirkan jawaban untuk sepupunya. Haruskah ia menitip pesan yang berisi doa agar Anya dan Pasha bahagia? Artha sungguh tidak rela. Artha belum ikhlas dunia akkhirat, Anya menjadi milik orang.
Artha kembali menggerakan jemarinya.
Artha: Nggak ada.
Artha lalu menatap potret Anya kiriman Amor. Menatapnya sangat lama hingga hatinya tergerak untuk beralih mengirim sebuah chat untuk meredakan rasa rindunya yang kini terlarang. Chat yang ia kirim pertama kali setelah berminggu-minggu ia menjaga jarak dari Anya dalam bentuk apa pun.
Kali ini benteng imannya jebol.
Artha: Hallo gimana kabarnya calon manten?
Chat itu bahkan ia kirim dengan mata tertutup dan berharap pesan itu tidak sampai.
Namun sepuluh menit kemudian yang terasa bagai sepuluh hari bagi Artha, terdengar bunyi notifikasi pesan yang langsung membuat Artha nyaris melompat dari atas atap genteng rumah. Anya membalas chat-nya!
Anya: Baik. Lo apa kabar?
Sebuah balasan yang membuatnya begitu bahagia dan hampir saja lupa. Anya akan segera menikah dengan orang lain.
"Astaghfirullah aladzim!" pekiknya kemudian meniru nada suara ibu-ibu kasidahan dalam iklan televisi yang dulu pernah viral. Artha mengusap dadanya berkali-kali.
Artha kembali mengetik chat.
Artha: Kabar gue baik. Pak Abdullah Saleh, apa kabarnya? Gue kangen...
Artha sengaja mengetik kata kangen di akhir kalimat. Sebuah ungkapan untuk Anya sebenarnya, namun bisa saja salah diartikan oleh Anya.
Anya: Lo kangen bokap gue? Hampir aja lo bikin gue keselek biji rambutan!
Sambil jongkok di atas genteng Artha senyum-senyum membaca chat balasan dari Anya.
Artha: Gue serius nanyanya.
Anya: Alhamdulillah bokap gue sehat.
Artha: Btw, Selamat Hari Raya Idul Fitri ya.
Anya: Iya sama-sama. Maafin segala kesalahan gue ya.
Artha: Gue juga ya. Tapi banyakan dosa lo ke gue.
Namun chat itu cukup lama mendapat balasan dari Anya yang isinya membuatnya sedih.
Anya: Tha, mulai besok lo jangan chat gue lagi ya.
Artha membaca balasan chat Anya yang terakhir. Dadanya langsung terasa sesak dan matanya mulai berair.
Duh Gusti...
Anya tidak keliru. Ia harus mulai menyadari posisinya dan memahami posisi Anya.
"Tha! Kumaha antenana?!" terdengar suara nyaring Mamahnya dari bawah mengalihkan perhatian Artha dari ponselnya. Mamahnya berkacak pinggang dengan daster floral jumbonya yang berkibar diterpa angin.
Artha menepuk dahinya. Lupa kalau dari tadi ia mendapat tugas dari mamahnya memperbaiki letak antena televisi.
"Sakeudap mah! Lagi digeser-geser nih!" Sebelah tangan Artha pura-pura menggeser-geser arah antena, sementara tangan yang satunya sibuk memegang ponsel.
"Dari tadi ngapain ajah di atas?!" Mamah protes dengan mata bulat memelototi anak sulungnya yang malah enak-enakan jongkok di atas genting sambil mainan ponsel.
"Iyah iyaah maaah! Lagi aku usahain! Sabar atuh maaah!"
"Cepetan atuh! Keburu eptipina tamat Tha."
"Laah? Lebih penting mana mah? Keselamatan anak mamah yang paling kasep ini atau eptipi?"
"Anak mamah dong." Mamah tersenyum lebar hingga pipi gembilnya mengembang seperti bakpau.
"Tapi pokokna cepet antenana dibenerin. Lagi seru-serunya nih!" tambahnya dengan nada galak.
"Emang judul eptipinya apa sih mah? Sampe segitunya ditungguin..."
"Cintaku kandas di kebun kopi!" sahut Mamahnya nyaring.
Kraak!
Antena tiba-tiba patah.
Mamah histeris. Artha pasrah dilempar sandal.
●○●
"Cut." Terdengar suara Medina, kakak iparnya dari balik pintu kamar.
"Masuk kak!" sahut Anya.
"Dah waktunya," kata Medina yang sedang hamil tua sambil melangkah masuk.
Anya yang sedang berbalas chat dengan Artha dan sedang menunggu balasan dari chatnya yang terakhir terpaksa menyimpan ponselnya.
"Cut kenapa melamun tadi? Kangen bang Pasha ya?" sindirnya sambil tertawa kecil.
Alih-alih menunggu Artha membalas chatnya, Anya lalu merapikan gamis brokat hijau toskanya.
"Dah cantek kok," komentar Medina sambil membantu Anya merapikan hijabnya yang senada dengan gamisnya.
Tiba-tiba Anya tersenyum lebar, merasakan tendangan lembut dari perut besar Medina yang kebetulan menempel di punggungnya.
"Kerasa banget tendangannya deh kak?"
Medina mengusap perutnya sambil mengangguk. Kandungannya sudah genap sembilan bulan dan sudah dalam hitungan hari ia akan melahirkan.
"Kalo dah kawen, Cut juga akan seperti ini," tambah Medina, berusaha menggoda adik iparnya.
Medina benar, bahkan Anya telah membayangkan seperti apa rupa anaknya bersama Pasha nantinya. Mirip Pasha atau mirip dirinya yang mendapat sedikit warisan wajah kolonial Belanda dari mendiang ibunya dan Oma.
Anya lalu menempelkan telinganya di perut Medina. Gemas rasanya apalagi sesekali ada tendangan halus yang Anya rasakan di pipinya.
"Ayo Cut, semua dah menunggu," Medina akhirnya mengingatkan.
Anya mengangkat wajahnya dengan tatapan tak bersemangat. Jujur ia tidak suka melakukan prosesi pernikahan yang ribet dan melelahkan. Kalau boleh ditiadakan, Anya lebih senang.
Tapi karena untuk menghormati adat istiadatnya, suka tidak suka Anya harus melakukannya.
Medina menggandeng Anya keluar dari kamar. Membawanya ke tengah ruangan paling besar di rumahnya di mana prosesi malam bohgaca atau malam mengenakan inai sebelum menikah akan dilangsungkan.
Omanya yang rela terbang jauh-jauh dari Belanda demi menyaksikan pernikahan cucunya, menyambutnya dengan senyum bahagia. Menggandeng tangan Anya dan membimbingnya ke tengah-tengah acara.
"Anya, Oma bahagia sekali," Oma berbisik di telinga cucunya sambil mengecup ringan pelipisnya.
Anya menggenggam tangan omanya dengan penuh haru. Sempat juga ditatapnya wajah ayahnya yang tak kalah bahagia. Keputusannya memang sudah benar. Menikah dengan Pasha.
Sebelum prosesi bohgaca berlangsung, mata Anya sempat menangkap sosok Rahma yang membisu dengan wajah suram. Kedua anak lelakinya yang masih kecil tampak duduk mengapitnya.
Perempuan itu sejak Pasha melamarnya secara resmi, lebih banyak membisu. Meski Anya tahu dari guratan wajahnya itu, Rahma tampak sangat frustasi.
Anya mengangkat bibirnya untuk tersenyum miring. Ada kepuasan sendiri melihat Rahma diam tak berkutik seperti itu. Menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Anya yakin perempuan egois itu pasti sangat terpukul karena mantan kekasihnya akan mengikat janji suci dengan anak tirinya.
Sebenarnya Anya sangat geram. Selayaknya Rahma tidak boleh bersikap seperti itu. Bagaimana jika Ayahnya sampai tahu? Bukankah akan membuat Ayah menjadi sedih.
Anya menghela nafas panjang mengusir gundah dan geram yang bercampur jadi satu. Prosesinya memberi inai di kedua tangan dan kakinya pun dimulai. Selanjutnya tiga hari kemudian ia melaksanakan ijab kabul dengan Pasha.