Chereads / LoveSick / Chapter 35 - Lari

Chapter 35 - Lari

Berjalan sempoyongan karena sedikit pengaruh alkohol, Anya keluar dari hotel dan memanggil taksi. Pokoknya malam ini juga ia harus segera ke bandara dan mencari jadwal penerbangan tercepat menuju Jakarta agar ia bisa pergi dari Sumba secepatnya. Sebelum Pasha sadar dari pingsannya lalu mengejarnya.

Begitu di dalam taksi, Anya yang sebenarnya tidak dalam keadaan benar-benar mabuk, bergegas membuka aplikasi pemesanan tiket pesawat melalui ponselnya. Penerbangan tercepat yang ia temukan berangkat esok pukul enam pagi menuju Kupang. Itu berarti ia masih harus menginap di bandara Tambolaka atau mencari penginapan lagi.

Tetapi ketimbang mencari penginapan lagi, Anya lebih memilih opsi menginap di bandara.

Setelah berpikir banyak, Anya putuskan untuk memesannya. Yang terpenting ia menjauh dari Pasha dan keluar dari Sumba secepatnya. Di Kupang nanti baru lah ia memesan tiket pesawat menuju Jakarta.

Meski ia sedikit khawatir dengan jeda waktu menunggu jam terbang yang lumayan panjang. Khawatir jika Pasha mencarinya ke bandara. Itu sudah pasti. Anya harus benar-benar menyembunyikan dirinya dari pandangan lelaki jahat itu.

Sementara itu, sopir taksi yang membawanya sesekali meliriknya melalui spion mobil. Mengamati wajah penumpangnya yang tampak muram dengan bekas memar yang sangat kentara di kedua tulang pipinya dan bibir bagian bawah yang tampak luka dan bengkak.

"Ee...Nona bae-bae saja kah?" tanya sopir itu tiba-tiba dengan aksen khas Indonesia Timur.

Mendapat pertanyaan itu, Anya yang tadinya terpaku menatap aplikasi pemesanan tiket di ponselnya menjawab singkat, "saya baik-baik saja, pak."

Mendengar jawaban Anya, sopir itu malah tertawa.

"Nona jujur saja, tidak apa-apa. Siapa su puku nona seperti itu ee...?" tanyanya dengan nada cemas. Membuat Anya merasa terhibur ada orang asing yang justru memperhatikan keadaannya.

"Suami saya, pak," jawab Anya dengan nada tenang tapi meringis setelah mengusap sebelah tulang pipinya yang masih berdenyut nyeri. Bekas tamparan keras dari Pasha.

"Ee...Betul kah?!" Intonasi suara sopir itu tiba-tiba meninggi setelah mendengar jawaban Anya. Bahkan wajahnya sesekali menengok ke belakang ke arah penumpangnya. Memastikan penumpangnya baik-baik saja meski wajahnya tampak babak belur seperti itu.

"Iya, pak."

"Aduh mama sayang ee...! Laporkan saja itu suami nona ke polisi! Beta antar sekarang ee...?" sarannya kali ini dengan wajah menoleh lagi ke belakang.

"Jangan pak!" Anya menyergah dengan cepat. Teringat wajah letih sang Ayah saat ia berpamitan kemarin malam. Ayah tampak tidak sehat. Jika ia melaporkan Pasha ke polisi saat ini, Anya tidak bisa menjamin reaksi Ayahnya akan baik-baik saja. Ditambah lagi, Ayah sedang sangat berbahagia dengan pernikahan putri satu-satunya ini. Batin Ayahnya bakal terpukul hebat.

"Tolong tetap antar saya ke bandara," pinta Anya.

"Nona yakin tidak mau ke polisi kah?"

"Iya, pak."

"Baiklah kalau begitu. Tapi beta harus antar nona beli obat dulu di apotek ee...? Nona tidak buru-buru toh ke bandara? Harus diobati dulu itu nona punya luka."

"Boleh, pak. Terima kasih."

Sopir taksi itu lalu membawa Anya menuju apotek 24 jam di dekat sebuah klinik kecil.

"Kebetulan ada klinik juga. Nona mau sekalian periksa tidak?" kata sopir taksi itu menawarkan setelah taksi diparkir di depan apotek.

"Nggak usah pak, saya langsung ke apotek saja. Luka saya nggak serius kok," ujar Anya sambil menyelubungi separuh wajahnya dengan pashmina sebelum keluar dari taksi.

Di dalam apotek 24 jam itu, Anya mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang apotek hingga seorang wanita pramuniaga apotek memandang ke arahmya dengan acuh tak acuh padanya. Anya menghampiri dan langsung meminta obat-obatan yang ia perlukan.

"Plester luka, masker dan..." Anya tidak melanjutkan kata-katanya karena sedang mengingat suatu jenis obat yang biasanya untuk meredakan nyeri karena memar.

"Oke, saya tahu," sahut wanita itu sambil menuju sisi kanan etalase untuk mengambil obat yang Anya maksud.

"Ini kan?" Wanita itu menyodorkan satu tube gel khusus memar pada Anya. "Buat memar dan bengkak nona punya muka," katanya sambil tersenyum kecil.

Anya mengangguk lalu bola mata menatap ke arah sederet minuman mineral. Anya melangkah untuk mengambilnya sebotol air mineral. Ia juga membutuhkannya untuk meringankan efek alkohol.

Setelah membayar barang-barang yang ia beli, Anya bergegas menuju taksinya. Kali ini ia telah mengenakan masker di wajahnya untuk menghalangi setiap tatapan aneh yang tertuju padanya.

Di dalam taksi, ponselnya tiba-tiba berdering dan membuat Anya kaget hingga tak ingin mengangkatnya. Anya benar-benar takut jika penelepon itu Pasha. Meski di sisi lain Anya yakin, Pasha yang telah sadar tidak akan begitu mudah menghubunginya. Itu karena Anya telah membuang dua ponsel Pasha ke dalam kolam renang.

Kali ini ponselnya berdenting, dan itu adalah pesan Whatsapp dari sahabatnya, Amor.

Amor: Sori nih kalo gue ganggu! Tapi gue kepo boleh dong ya? Hihihi...

Amor: Btw, udah dimulai adegan panasnya?

Setelah membacanya, Anya menangis sekaligus menertawakan isi chat Amor yang konyol. Andai saja Amor tahu apa yang sedang ia alami kini. Ia yang sebenarnya sedang dalam keadaan berantakan dan terluka. Ibu dua anak itu pasti bakal histeris dan langsung mengamuk untuk membelanya.

Anya putuskan tidak membalas chat itu. Ia bingung harus menjawab apa? Jawab yang sejujurnya pahit atau kah manis tapi bohong?

Tidak pernah ada adegan manis atau panas seperti yang Amor sangka. Yang ada hanyalah adegan pertengkaran besar antara ia dan Pasha yang kemudian bertingkah bagai banteng kesurupan yang mengamuk melabraknya. Hingga ia nyaris mati andai ia tidak pernah mengantonginya stun gun, senjata kejut listrik di saku roknya. Benda yang bentuknya mirip alat cukur elektrik itu sengaja Anya selundupkan di dalam pouch make-up nya. Beruntung para petugas bandara yang ia lalui tidak mengetahuinya sehingga tidak menyitanya.

Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, taksi yang membawa Anya akhirnya sampai di bandara Tambolaka, Sumba Barat.

"Ee...kalau nona ke Sumba lagi, jangan lupa hubungi beta ee...Beta Martin bisa jadi pemandu wisata nona. Ini kartu nama beta. Nanti beta bisa kasih nona harga murah," ujar sopir taksi itu mengulurkan kartu namanya setelah menurunkan koper Anya dari dalam bagasi.

"Tentu," Anya mengangguk menerima kartu nama dari sopir taksi bernama Martin itu. "Terima kasih juga karna sudah antar saya ke apotek tadi."

"Sama-sama nona. Hati-hati di jalan ee...Jaga diri nona bae-bae..." katanya sebelum masuk kembali ke taksinya dan meluncur pergi.

Anya lalu menyeret kopernya masuk ke dalam bandara, ia harus mencari tempat yang aman di saat ia harus menunggu hingga jadwal terbang pesawatnya tiba.

Anya melirik arlojinya, waktu telah menunjukan pukul sebelas malam. Bandara di malam ini tampak lengang dan ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan. Terlalu terbuka menurutnya. Tidak ada sudut yang aman baginya untuk bersembunyi.

Aah, andai saja ia memiliki jubah tak kasat mata milik Harry Potter yang dapat membuatnya tak terlihat oleh siapa pun. Semua akan terasa mudah bagi Anya.

Anya menghela nafas dengan kasar sambil terus berpikir hingga tiba-tiba terbit ide konyol dari dalam otaknya.

Toilet wanita!

Sepertinya tak mengapa jika ia bersembunyi di toilet wanita berjam-jam hingga tiba jam boarding-nya. Di sana lebih aman baginya bersembunyi. Sekali pun Pasha tiba-tiba muncul di bandara dia tidak akan berpikir sampai ke area itu.

Setelah sekitar lima jam bertahan di toilet tanpa gangguan seorang pun, Anya melenggang keluar bersama kopernya menuju ruang boarding. Suasana pagi itu tampak tenang dan aman. Anya yakin Pasha kesulitan mengejarnya. Mengingat Anya telah mematahkan semua kartu debit dan kartu kredit milik Pasha, mengambil semua uang tunainya dan melemparkan kedua ponsel mahalnya ke dalam kolam renang.

Setelah melewati petugas boarding, Anya tersenyum lega meski kepalanya sedikit pening karena efek mabuk semalam. Tiga puluh menit lagi, akhirnya ia akan segera pergi meninggalkan Sumba. Meski ia masih menyimpan kekhawatiran soal Pasha yang pasti tidak akan melepaskannya saat di Jakarta.

Meski demikian ia tetap harus kembali sana. Tapi masalah baru muncul jika ia telah sampai di Jakarta, ia harus pulang ke mana? Kini Anya berganti menertawakan kemalangannya. Ia tidak mungkin kembali ke kontrakannya yang telah ia tinggalkan. Bahkan semua barang-barang dan mobilnya telah ia pindahkan ke kediaman Pasha. Itu karena sebelumnya ia tidak pernah menduga akan tertimpa musibah seperti ini.

Haruskah ia menebalkan muka dan datang ke rumah Amor untuk meminta perlindungan?