Chereads / LoveSick / Chapter 41 - Sepatuku Malang

Chapter 41 - Sepatuku Malang

Dengan langkah gontai, Anya berjalan pulang sampai ke apartemen Amor dengan selamat. Tanpa kuntitan anak buah Pasha yang telah berhasil ia kecoh setengah mampus dengan menghabiskan hampir seluruh energinya untuk kabur. Meski ia harus mengorbankan stiletto barunya yang mahal dan belum lama ia beli.

Jika mengingat soal stilettonya, Anya sangat kesal. Harganya lumayan mahal ketimbang harga setengah lusin baju di lemarinya namun haknya patah dengan mudahnya saat ia pakai untuk berlari.

Security apartemen yang bertugas malam itu tampak heran melihat Anya yang tampak berjalan dengan bertelanjang kaki sementara sepasang sepatunya ditenteng begitu saja. Penampilan Anya juga tampak sedikit berantakan dengan rambut berantakan dan sepasang kaki yang tampak kotor.

"Maaf, bu Anya kenapa pulang nyeker?" Satpam berwajah sangar itu menegur Anya yang tampak kacau.

Di antara ratusan penghuni apartemen, Anya memang cukup dikenal oleh para security apartemennya.

Anya berhenti melangkah dan menoleh untuk memperhatikan siapa security yang telah menyapanya barusan. Setelah dilihat lagi, ternyata security yang ia kenal bernama Agus.

"Hak sepatu saya patah, pak Agus." Dengan kesal Anya mengangkat tinggi-tinggi memperlihatkan sepatunya pada security yang Anya kenal bernama Agus itu.

"Wah, kenapa bisa sampai patah bu Anya?" tanya satpam bernama Agus itu dengan heran.

"Abis saya pakai buat jogging, pak," jawab Anya dengan nada santai, membuat security itu tertawa geli mendengarnya.

"Jogging di mana bu? Bukannya kalo jogging itu harus pake sepatu lari ya bu? Bu Anya bisa aja bercandanya."

"Udah terlalu mainstream pak, jogging pake sepatu lari. Sekali-kali jogging pake stiletto kayak gini pak, keren loh," ujar Anya sambil berlalu hendak menuju lift.

Pak Agus security itu kembali tertawa geli sambil menimpali, "kalo saya yang pake, yang ada kaki langsung keseleo sampai pinggang encok, bu Anya."

"Lagian saya bercanda kok pak," kata Anya sambil tersenyum menuju lift.

Namun kemudian ia berjalan mundur lagi untuk meminta sesuatu pada security itu.

"Saya boleh minta tolong nggak, pak?" pinta Anya setelah ia teringat akan sesuatu.

"Bisa, bu Anya. Smoga saya bisa bantu," sahut security itu tampak sedikit curiga dengan maksud Anya.

"Gini pak..." Anya lebih mendekat untuk berbicara. "Kalo nanti ada yang cari saya selain bu Amor dan suaminya, bilang aja nggak ada penghuni bernama Anya di sini. Saya minta tolong banget sama bapak. Bisa ya?"

"Lho emang kenapa bu?" Security itu diliputi rasa heran dengan permintaan Anya.

"Belakangan ini ada seseorang yang selalu menguntit saya, pak," ujar Anya sembari memasang wajah sedih. "Saya takut banget kalo orang itu psikopat."

"Wah bahaya itu bu! Laporin ke polisi aja bu." pak Agus tampak sangat percaya dengan cerita Anya.

"Pasti, pak. Cuma saat ini saya belum punya cukup bukti. Makanya saya minta tolong sama bapak."

"Siap, bu!"

"Satu lagi pak. Kalo ada laki-laki yang juga nekat ngaku-ngaku sebagai suami saya, usir aja ya pak. Orang gila itu pak," pinta Anya lagi.

"Baik, bu."

"Ngomong-omong ini ada sedikit rezeki buat pak Agus buat beli rokok." Anya lalu mengulurkan selembar uang kertas berwarna merah yang kemudian disambut dengan sukacita oleh sang security.

"Makasih ya, bu. Nanti kalo ada pergantian shift, saya juga akan bilang demikian ke teman saya," tutur pak Agus.

"Sip, pak." Anya mengacungkan ibu jarinya sebelum kembali menuju lift dan masih diikuti tatapan heran sang security.

Satu jam kemudian, setelah membersihkan tubuhnya dan berganti pakaian, Anya menghampiri sepasang sepatu malangnya.

"Sorry ya. Udah nyusahin kamu." Anya berkata pada sepasang stiletto merahnya yang ia anggap seperti mahkluk hidup.

Anya lalu mencari lem super yang seingatnya pernah ia simpan di laci nakas.

Setelah menemukannya, ia pun mulai merekatkan hak sepatunya dengan lem super itu. Dan ponselnya yang tergeletak di atas meja tiba-tiba berdering persis saat Anya sedang sibuk merekatkan.

Dari Amor yang sedang menghubunginya dengan video call.

Karena kedua tangannya sedang sibuk menekan kuat bagian hak sepatunya agar lemnya merekat kuat, akhirnya dengan menggunakan dagunya, Anya menekan ikon jawab.

"Iya, Moy. Ada apa?" Anya menjawab.

"Nyak...Anyak...lo di mana? Muka lo di mana?" terdengar suara protes Amor karena yang ia lihat bukannya wajah Anya melainkan langit-langit apartemen.

"Bentar, Moy. Gue lagi sedikit sibuk," Anya menyahut sambil salah satu tangannya mengangkat ponselnya dan menyandarkannya dengan mug di atas meja agar Amor bisa melihat wajahnya.

"Sehat lo?" Bukannya ucapan salam, Amor malah langsung menanyakan kesehatannya dengan tatapan kesal.

"Alhamdulillah sehat, Moy. Cuma sepatu gue nih yang lagi sakit." Anya memperlihatkan sepatu malangnya pada Amor. "Patah nih haknya. Sedih banget gue..."

"Gue serius, Anyak. Belakangan ini lo susah banget dihubungi. Bikin gue khawatir aja. Kalo lo suka ilang-ilangan gitu mendingan lo gue usir dari apartemen gue nih," Amor menimpali dengan nada khawatir. Mengabaikan Anya yang sedang memamerkan sepatu rusaknya dengan tatapan merana.

"Yaaah, lo kok tega amat ama gue Moy? Kalo lo usir gue, mau di mana lagi gue tidur?! Emperan toko?" Anya menyahut dengan berpura-pura panik.

"Di rumah gue lah!" Amor melanjutkan kata-katanya sambil tertawa karena berhasil mengerjai Anya.

Anya menghela nafas lega. Hampir saja ia terpancing emosi.

"Abis lo suka banget bikin gue cemas. Dari pada gue lama-lama kena sakit jantung mendingan lo pindah aja ke rumah gue ya. Lebih aman deh. Lagian Jovan juga udah setuju dan gue jadi bisa tidur lebih nyenyak."

Anya terkekeh geli mendengar keluh kesah Amor soal dirinya. Satu-satu sahabat yang senang direpotkan olehnya. Makanya Anya tidak ingin menyusahkan Amor begitu banyak. Kasihan, Amor sudah terlalu sibuk mengurus dua bayi kembarnya, sehingga Anya tidak ingin lebih banyak menambah bebannya.

"Jangan khawatir, Moy. Gue bisa jaga diri. Lagian untuk sementara ini gue masih aman kok." Anya sengaja menutupi fakta soal anak buah Pasha yang kerap menguntitnya selama beberapa hari ini. Juga soal Pasha yang kerap menerornya dengan kiriman bunga hingga membuat seisi kantor mengira ia sangat beruntung memiliki suami yang super romantis seperti Pasha. Terutama Arini yang tak henti-hentinya menyanjungnya setinggi gedung pencakar langit.

Andai saja mereka tahu yang sebenarnya bahwa suami yang mereka anggap suami super romantisnya lebih layak disebut suami gila yang manipulatif.

"Tapi kalo ada apa-apa lo harus hubungi gue, ok?" Amor tampak menatapnya dengan cemas.

"Oke." Anya tersenyum lebar.

"Meski pun gue sibuk, gue akan tetap meluangkan waktu gue buat lo," ujar Amor sambil mendiamkan kedua bayi kembarnya yang mendadak rewel bersamaan.

"Iya bawel. Sana cepat urusi si kembar. Gue mau lanjut ngelem sepatu." Anya menyudahi video call-nya dan kembali berkutat dengan sepatunya.

Sambil merekatkan hak sepatunya, Anya berpikir keras. Anak buah Pasha kian getol menguntitnya. Mulai besok ia harus membuat strategi baru. Seperti mulai mengenakan sneakers ke kantor misalnya. Ketimbang mengenakan stiletto yang malah membuatnya kesulitan berlari seperti tadi.

Anya lalu teringat akan pergelangan kakinya yang masih terasa nyeri meski hanya terkilir ringan. Setelah urusan dengan sepatunya selesai, ia akan mengurutnya dengan balsem.

Ponselnya tiba-tiba kembali berdering. Kali ini dari sang Ayah di Aceh. Anya meletakan sepatunya hanya untuk mendengarkan ponselnya berdering hingga berkali-kali.

Anya ragu untuk mengangkatnya. Ayahnya pasti ingin mengetahui keadaan putri satu-satunya ini. Sementara ia tidak ingin berbohong pada sang Ayah yang begitu bahagia dengan pernikahannya. Apalagi mengingat kesehatan sang Ayah sedang dalam keadaan kurang baik.

"Maaf Ayah. Cut sekarang belum bisa terima panggilan Ayah. Cut belum bisa bohong sama Ayah."

Anya mengusap kelopak matanya yang basah dengan salah satu punggung tangannya. Namun air matanya malah semakin deras mengalir, membuatnya menangis seperti anak kecil yang telah berbuat kesalahan serta berharap Ayahnya akan datang untuk mengusap rambutnya dan memaafkannya.

Namun faktanya, ia sendirian dan harus berjuang menyembuhkan luka hatinya sendiri.