[ Istriku, bagaimana dengan kejutannya? Aku yakin kamu pasti menyukainya. ]
Sebuah pesan dari nomor ponsel tak dikenal kembali Anya dapatkan dan Anya yakin sejuta persen bahwa pengirim pesan itu adalah Pasha.
Tanpa berniat membalasnya, Anya menutup ponselnya lalu memblokir nomor kontak itu tanpa pikir panjang. Meski usahanya itu tidak menghentikan upaya Pasha yang selalu mengirim anak buahnya untuk menguntit Anya setiap hari.
Setelah di hari pertama ia menerima buket bunga dari Pasha, di hari-hari berikutnya, saat pulang kantor ia selalu dikuntit oleh anak buah Pasha. Untuk menghindari anak buah Pasha mengetahui tempat persembunyiannya selama ini, Anya selalu berganti-ganti menggunakan moda transportasi yang berbeda-beda. Dari taksi konvensional. taksi daring, ojek daring, ojek pangkalan, busway, MRT, sampai nekat meminta tumpangan Omar!
Seperti malam ini. Saat Anya terpaksa pulang terlambat karena harus lembur di kantor dan ia harus memutar otak lagi untuk menghindari kuntitan anak buah Pasha yang kian lama kian gencar menguntitnya.
Ketika ia kebetulan melihat Omar sedang melangkah keluar kantor, Anya buru-buru mengejarnya.
"Omaaaar!" seru Anya tidak terlalu keras. Ia bahkan menepuk bahu Omar dengan cukup keras hingga lelaki itu terperanjat kaget menatap Anya yang tampak sangat senang melihatnya.
"Ada apa?" Omar bertanya dengan keheranan.
"Lo mau pulang kan?" tanya Anya dengan penuh semangat.
"Iya."
"Kebetulan kalo gitu. Gue nebeng dong," pintanya kemudian membuat Omar kaget mendengarnya.
"Nebeng?" Omar tak habis pikir dengan permintaan Anya yang menurutnya aneh. Anya yang baru saja menikah dengan pengusaha sukses, meminta tumpangan darinya. Yang benar saja?
Logisnya, setelah menjadi istri pengusaha sukses, Anya akan memiliki mobil dan sopir pribadi yang akan setia mengantar dan menjemputnya. Tapi mengapa sekarang teman kantornya ini malah meminta tumpangan padanya? Omar tidak habis pikir.
"Suami lo nggak jemput lo pulang?" Omar dengan kritis bertanya. Merasa aneh dengan permintaan Anya dan itu merupakan pertanyaan sulit bagi Anya yang terpaksa harus memeras otak lebih keras untuk mencari alasan yang meyakinkan.
"Anu...suami gue lagi di luar negri, Mar. Dan ponsel gue kebetulan lowbat, jadi gue nggak bisa hubungi sopir pribadi gue buat jemput kemari," jawab Anya akhirnya. Berharap Omar percaya.
"Tapi rumah lo nggak jauh kan?" tanya Omar lagi seolah khawatir Anya akan memintanya mengantar hingga ke Bogor misalnya.
"Lo nggak usah khawatir. Gue minta tebengan ke lo karna kebetulan kita searah, Mar," ujar Anya meyakinkan.
"Gitu ya? Ya udah ayok." Omar akhirnya setuju dan mengijinkan Anya ikut dengannya.
Berboncengan sepeda motor.
Anya cukup terkejut karena awalnya ia mengira Omar akan menggunakan mobil seperti biasa. Tetapi ternyata Omar malah menggunakan motor bebek.
"Mobil lo mana, Mar?" Anya mulai khawatir. Jika ia berboncengan sepeda motor dengan Omar bukankah akan tampak mencolok dan mudah dikenali oleh anak buah Pasha?
"Mobil udah gue jual, Nyak. Sementara pake motor," jawab Omar sambil memberikan sebuah helm berwarna merah pada Anya. "Lo berubah pikiran?" tanyanya kemudian.
"Nggak kok. Gue cuma heran aja." Anya mengenakan helm yang bagian dalamnya beraroma menyengat campuran minyak rambut dengan aroma rambut yang seolah tidak pernah keramas selama setahun. Sangat bau! Anya sampai menahan nafasnya. Meski Anya mengenakan masker, tetap saja aroma buruk itu tercium oleh hidungnya.
"Helm siapa nih, Mar? Wangi amat?" tanya Anya menyindir.
"Helm si Felix. Tadi pagi nebeng gue," jawab Omar santai seraya mengenakan helmnya sendiri.
Aaaah si Felix sialan! Anya memaki dalam hati. Bau kecoak banget helmnya!
Omar lalu menstarter motornya dan Anya reflek memegang kedua sisi jaket Omar.
"Ngomong-omong gue harus anter lo ke mana?!" Omar bertanya saat mereka telah meluncur di jalanan.
"Ke jalan Mangga aja Mar!" sahut Anya.
"Itu alamat rumah lo yang baru?!"
"Iyaaaa!" sahut Anya lagi sambil diam-diam mengamati situasi di belakang mereka melalui cermin mini yang selalu ia bawa di tasnya.
Anya sedikit lega malam ini. Tidak ada tanda-tanda anak buah Pasha yang tampak menguntitnya. Apakah mungkin karena ia membonceng Omar? Dan membuat para anak buah Pasha terkecoh?
Begitu sampai di jalan Mangga, Omar menurunkan Anya dengan ekspresi wajah tidak yakin karena Anya malah memintanya berhenti tepat di sebuah area pertokoan. Anya memang sengaja memintanya, karena tidak ingin Omar curiga.
"Yakin lo turun di sini?"
"Iya, Omaaar. Gue mau beli sesuatu di sini. Makasih buat tebengannya ya." Anya mengembalikan helm merah milik Felix pada Omar.
"Jangan lupa bilang ke Felix, suruh cuci helmnya! Baunya bikin pening. Bau banget kaya bau TPA!" ujar Anya membuat Omar tertawa geli.
"Iya...iya nanti gue bilangin. Bye Anya. Gue cabut." Omar kembali menstarter motornya melaju pergi meninggalkan Anya.
Anya tersenyum kecil. Untung ada Omar.
Anya akan melanjutkan perjalanan pulangnya dengan mengambil jalan pintas. Di dekat pertokoan kecil kebetulan ada sebuah gang kecil yang bisa menghubungkannya menuju apartemen milik Amor.
Akan tetapi, baru saja Anya akan melangkah, tiba-tiba ekor matanya menangkap penampakan sosok salah satu anak buah Pasha yang berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Sial!" Anya langsung ambil langkah seribu, menghindari anak buah Pasha yang juga langsung membuntutinya. Anya berlari sekencangnya menyusuri gang yang untungnya dilalui banyak orang. Sehingga akan dengan mudah bagi Anya meminta pertolongan pada siapa saja jika anak buah Pasha nekat menangkapnya.
Anya terus berlari hingga pergelangan kaki kirinya tiba-tiba terkilir membuat heels yang ia kenakan patah.
Seraya terus berlari, Anya mencopot sepatunya sambil meratapi sepatunya yang baru dibelinya seminggu yang lalu dan kini telah rusak. Membuatnya terpaksa harus berlari dengan bertelanjang kaki. Beberapa kali pula ia hampir menabrak orang-orang, nyaris menyenggol gerobak bakso cuanki, memisahkan sepasang kekasih yang sedang bergandengan mesra, menginjak kerikil tajam, hingga menginjak sesuatu yang lembek.
"Asem gue nginjak apaan ini? Bau banget!" Anya menjerit kesal.
Sungguh tersiksa menjadi buronan suami seperti ini. Apakah ini akan berlangsung seterusnya? Sesungguhnya Anya tidak tahu pasti sampai kapan ia akan bermain petak umpet seperti ini dengan Pasha.
***
Sementara itu, di dalam sebuah SUV hitam mewah, seorang pria tampak serius mengamati sosok Anya yang sibuk melarikan diri darinya. Pria itu, Pasha bahkan tampak begitu menikmati rasa takut milik Anya yang tampak jelas di depan matanya.
"Tuan, kita telah lama menemukan keberadaan Nyonya. Sampai kapan Tuan akan membiarkannya?" salah seorang anak buah Pasha bertanya dengan nada hati-hati.
Pasha yang masih menatap tajam punggung Anya yang kian menjauh tersenyum miring sambil berkata, "belum saatnya, aku masih ingin melihatnya bermain-main seperti itu," ujarnya dengan nada santai.
"Baik, Tuan."
"Tetapi tetap awasi dia tanpa terkecuali orang-orang yang selama ini membantunya," perintahnya lagi sembari mengusap jambang tipis di dagunya.
"Baik, Tuan."
"Ayo pergi. Aku cukup lelah malam ini," perintah Pasha kemudian sambil melonggarkan dasinya.
Istri bandelnya itu benar-benar merepotkannya. Namun ia malah menikmatinya dan menganggapnya sebagai bagian dari sebuah permainan yang menyenangkan. Bahkan ia telah memiliki banyak rencana manis yang akan ia lakukan dengan istrinya.
"O iya, Tuan. Andy mengabarkan bahwa foto pernikahan anda baru saja dikirim ke rumah dan ia bertanya apakah Tuan ingin menggantungnya di kamar tidur?" anak buah Pasha yang duduk di samping sopir memberi tahu lagi.
"Tentu saja pasang di kamar tidurku. Di mana lagi memangnya. Setelah istriku kembali ia pasti akan sangat menyukainya," sahut Pasha sambil tersenyum miring.
"Baik, Tuan."
"O iya jangan lupa perlihatkan hasil fotonya juga pada Ayah mertuaku agar beliau senang," tambah Pasha.
"Tentu Tuan."
"Satu lagi. Sebenarnya aku benci mengatakan ini. Tapi apa boleh buat. Aku harus sedikit mengalah pada istriku. Segera beri kabar pada Ayah mertuaku, bahwa resepsi minggu depan di Jakarta terpaksa dibatalkan karena sesuatu hal yang mendesak. Ingat, dan sampaikan permohonan maafku pada mereka."
"Baik Tuan."
"Kita pulang sekarang."