"Aa!"
Artha tersentak kaget pipinya dicubit keras oleh Gita, gadis manis yang kini menjadi kekasihnya. Mengingat kebiasaan Gita yang suka mencubit, Artha jadi curiga jangan-jangan Gita sebenarnya memiliki kekerabatan dengan kepiting.
"Aku ngomong dari tadi Aa' denger nggak sih?!" Gita kesal dengan Artha yang pikirannya beberapa menit yang lalu terbang entah kemana.
"Yaelah, Git. Jangankan dengerin kamu. Baru sadar kamu di sini juga barusan ajah," sahut Artha bercanda dan kembali menuai capitan alias cubitan pedas tanpa henti dari Gita pada lemak pinggangnya.
"Aa!!!"
"Ampun...ampun! Aa bercanda. Aa denger kok. Kenapa emangnya?!" Artha menjawab seadanya agar Gita berhenti menghujaninya dengan cubitannya.
Padahal sejujurnya dari tadi ia sama sekali tidak mendengarkan Gita bercerita panjang lebar. Penyebabnya adalah bayangan Anya yang tiba-tiba muncul dan berkelebat di benaknya.
Sumpah demi apa pun, Artha sebenarnya merindukan sosok itu. Sosok yang kini terlarang untuk didambakan. Anya yang telah menjadi istri orang.
"Aku dari tadi ngomong selama seperempat jam ngomongin apa coba?" Gita menguji Artha dengan nada gemas.
"Ngomongin kerjaan kamu kan?" jawab Artha sok tahu.
"Bukan!"
"Ngomongin baju incaran kamu yang akhirnya didiskon delapan puluh persen?"
"Bu-KAN!" Intonasi Gita makin meninggi.
Artha berpikir keras sampai lelah dipaksa menemukan jawaban yang tepat versi Gita.
"Aaah...Aa tau! Kamu pasti lagi ngomongin soal si So-Un EXO itu kan?!" tebak Artha dengan percaya diri tapi malah menuai keplakan keras di lengannya.
"SEHUN AA!!! BUKAN SO-UN!!!" Gita protes keras karena Artha salah menyebutkan nama idolanya.
"Iya itu Sehun kan? Yang dari tadi kamu bahas? Yang suka goyang ubur-ubur?"
Kali ini Gita menerornya dengan tatapan sadis.
"Oppa nggak pernah goyang ubur-ubur, Aa!" protes Gita galak. Sebagai penggemar berat EXO terutama Sehun, Gita tidak bisa menerima jika idolanya diledek siapa pun tanpa terkecuali oleh Artha.
"Ooh Ok. Aa emang ngarang tadi. Jadi soal Sehun kan yang kamu omongin dari tadi?" tebak Artha lagi berharap kali ini benar.
"Iiiiiihhh...bukaaaan!" Gita bersikukuh.
"Terus appaaah?!" Artha kini benar-benar frustasi menghadapi Gita.
"Beritahu Aa? Aa bukan dukun."
"Makanya kalo lagi nyetir jangan ngalamun wae!" Gita kembali mencubiti lengan Artha dengan gemas, membuat Artha memperlambat laju mobilnya.
"Aduh sakit Git. Sakit!" Artha mengaduh karena cubitan Gita kini sesakit gigitan semut api.
"Aa tau nggak? Aku tuh dari tadi ngobrolin tentang rencana Mamah Aa!"
"Rencana apa?" Artha menatap Gita dengan curiga.
"Soal ngelamar aku." Gita tersenyum dengan wajah tersipu malu.
Mendadak suasana di dalam mobil menjadi horor. Artha dicekam ketakutan. Pacaran belum genap dua minggu, namun Mamahnya sudah menerornya dengan rencana lamaran.
"Apa nggak kecepetan?" Artha mengusap wajah paniknya.
"Ya mana aku tau. Mamah Aa tuh yang bilang ke Mami kemarin."
Sambil menggenggam setirnya, Artha menggeram kesal dalam hati. Ingin menyalahkan Mamah tapi takut kualat.
"Lalu gimana? Emang kamu mau dilamar cepet-cepet?" Artha menatap Gita dan berharap gadis itu menolaknya. Sumpah, Artha belum siap menikahi Gita.
Gita menggeleng pelan. Sontak dalam hati Artha bersorak riang.
"Aku bingung Aa..." ujar Gita dengan nada suram.
"Kalo bingung tandanya jangan buru-buru Git." Artha pelan-pelan berusaha mempengaruhi Gita.
"Bukan aku yang minta buru-buru. Mamah Aa tuh yang minta buru-buru."
Artha menghela nafas panjang. Teringat betapa antusiasnya Mamah saat mendengar ia dan Gita akhirnya memutuskan berpacaran. Mamahnya langsung mengadakan tasyakuran dengan bagi-bagi kue bolu ke seluruh tetangga satu RT.
"Kita kan baru pacaran dua minggu, Aa. Aku belum siap aja," lanjut Gita membuat Artha merasa lega.
"Sama kalo gitu sama Aa, Git. Aa' juga maunya kita jalani dulu. Kita pacaran aja baru dua belas hari tiga jam dua puluh menit." Artha sampai menunjukan dua jarum di arlojinya.
"Lagian kita juga belum lama mengenal satu sama lain, Git. Kalo cepat-cepat Aa' lamar, kasian kamunya. Kamu teh baru dua tiga, Sudah pasti belum puas menikmati masa muda kamu." Artha berkilah untuk menyamarkan rasa enggannya.
"Dua satu Aa," Gita protes.
"Iyah. Salah dikit. Lagian kamu bakalan dua tiga juga."
"Aa' mah bisa ajah ngeles kayak bajaj."
"Lagian kamu juga belum tau jelek-jeleknya sifat Aa'. Biarlah kita saling mengenal dulu. Takutnya teh kamu menyesal kalo udah tau." Artha meringis lebar hingga cuping hidungnya ikut mengembang.
"Gita udah tau kok."
"Apa?"
"Aa' kentutnya bau."
Artha memutar bola matanya ke atas lagi. "Ya iyalah Git. Mana ada kentut baunya enak kayak bau kuah indomie."
"Aa' tuh kalo mandi suka lama, nggak tau ngapain aja di dalam," ceplos Gita sangat mengena di sanubari Artha. Sampai Artha nyaris tersedak ludah sendiri.
"Ngilangin daki lah, Git. Masa Aa bikin candi?" Artha membela diri tentu saja. Andai saja Gita tahu apa saja ritual kebiasaan mandi Artha.
Saat mandi, Artha suka sering luluran, berkaca lama-lama untuk membanggakan otot tubuhnya yang tak seberapa hingga bermain menghabiskan sabun. Siapa pun tanpa terkecuali Gita, tidak boleh ada yang tahu perihal deretan ritual mandinya itu.
"Abis itu, aku juga tahu kalo Aa tuh genit."
Disebut genit oleh Gita, Artha tersentak kaget.
"Tau dari Mamah juga?"
"Nggak lah. Aku pernah liat sendiri." Gita terkekeh geli melihat ekspresi panik Artha. "Aku pernah lihat Aa lagi godain SPG jamu kuat tempo hari."
"Ooh..." Artha kali ini tak berkutik. Langsung menyesal sudah berburuk sangka pada Mamah tercinta.
"Kok masih mau sama Aa?"
"Mmm..." Gita melihat ke langit-langit mobil sambil berpikir sesuatu yang membuat Artha jadi penasaran. Apa sih yang disukai Gita dari dirinya yang playboy gamon alias gagal move on.
"Dari pada nggak ada A," jawab Gita sambil nyengir nakal dan memilih memainkan ponselnya. Kali ini Gita berhasil bikin Artha meringis prihatin. Nasib playboy kurang laku yang hampir expired.
Eh...tunggu!
Saat sedang menyetir, dalam gelapnya malam yang diterangi deretan lampu kota penglihatan Artha seperti menangkap sosok mencurigakan yang baru saja menyalip mobilnya. Sosok perempuan yang postur tubuhnya sangat mirip dengan Anya! Sedang berboncengan dengan seorang pria.
Penasaran dengan sosok itu, Artha putuskan untuk mengejarnya.
"Kenapa A? Kok makin kenceng nyetirnya?" tanya Gita heran kenapa Artha mendadak mempercepat laju mobilnya.
"Aa kayak liat temen Aa' di jalan," jawab Artha cepat.
"Tapi Aa, kosan Gita kan belok ke kiri ngapain jalan terus?" Gita menyadarkan Artha.
Haduuh!
"Kita jalan-jalan bentar, ok? Lagian baru jam delapan," Artha berkilah karena sudah kepalang basah membuntuti sosok mirip Anya yang telah membuatnya penasaran.
"Ya udah. Sekalian cari batagor ya?"
"Iya iya." Artha menyahut sambil terus fokus mengejar sepeda motor yang membawa sosok di depannya. Artha sengaja menempatkan mobilnya tidak terlalu dekat di belakangnya hingga ia melihat sosok itu turun di pinggir jalan dan melihatnya melepas helm. Membuat Artha dapat dengan jelas melihat rambut sosok itu. Rambut pendek sebahu dengan wajah tertutup masker.
Artha menghela nafas panjang. Tidak seharusnya ia mengikuti sosok itu. Sudah pasti sosok itu bukan Anya yang selalu memiliki rambut panjang yang indah.
Artha akhirnya melepaskan sosok itu dan membiarkan sosoknya hilang masuk ke dalam gang kecil.
"Aduh, A! Aku kebelet pipis nih," terdengar rengekan Gita yang membuatnya sadar ia sedang bersama gadis manja kesayangan Mamahnya.
Artha menatap Gita dengan tatapan 'kenapa harus sekarang Git?'
"Tahan Git," pinta Artha sambil kembali fokus mengemudi.
"Aku udah nahan dari sejam yang lalu, A!"
"Di semak-semak mau?"
"Aku bukan kucing, A!"
"Siapa yang bilang kamu kucing?"
"Aa serius dong. Udah diujung nih A!"
"Ya udah kalo nggak mau di semak-semak. Tahan dulu sampe ketemu SPBU."
"Cepetan, A! Keburu ngompol nih."
"Iya-iya!"
"Aa ngebut dong!"
"Iyaa sabaaaar! Aa bukan pilot pesawat tempur apalagi pesawat jet."
"Tapi udah di ujung, Aa!" Gita mengerang sambil memegangi ujung roknya.
"Beuh!" Artha yang kesal mendadak banting setir belok ke warteg.
"Ngapain malah ke warteg, Aa?!"
"Makan!" sahut Artha. "Ya mau antar kamu numpang pipis lah!"