Sebenarnya tak mudah bagi Anya kembali setelah bersembunyi selama enam hari sisa masa cutinya. Namun ia bertekad, ia harus keluar menghadapi realita hidup. Bukannya terus menerus bersembunyi sampai busuk seperti pengecut di apartemen Amor.
Anya harus berani melangkah keluar dari zona amannya selama ini. Lagi pula Anya butuh pekerjaannya. Saldo tabungannya telah menyusut banyak karena ia berbelanja beberapa setelan baju kerja baru dan sepatu. Mengingat dalam waktu dekat ia tidak mungkin mengambil barang-barangnya yang telah berpindah ke kediaman Pasha. Termasuk mobil kesayangannya yang juga telah ia titipkan di sana sebelum pulang ke Aceh untuk menikah.
Andai sebelumnya ia tahu akan bernasib malang seperti ini, Anya tidak akan begitu gegabah memindahkan seluruh harta bendanya ke rumah lelaki jahanam itu.
Anya menghela nafas panjang sebelum keluar dari taksi online yang membawanya berangkat ke kantor. Mempersiapkan diri dari kemungkinan-kemungkinan baru yang akan ia temukan di depan sana. Termasuk kemungkinan Pasha yang akan tiba-tiba muncul di kantornya.
Tidak lupa menutup sebagian wajahnya dengan masker, Anya melangkah cepat masuk ke dalam kantornya. Bahkan ia nyaris akan bertemu dengan seorang pria berjas rapi yang Anya kenal sebagai salah satu anak buah Anya. Pria itu sudah pasti sedang menunggu kedatangannya di lobi. Bisa saja ada kemungkinan besar Pasha pun ada di dekat sana?
Meski diserang rasa cemas pria itu akan menghampirinya, Anya berusaha menguatkan dirinya sambil berkali-kali berdoa. Saking cemasnya, ia sampai membaca banyak macam doa. Dari doa pengusir setan, doa dijauhkan dari kesulitan hingga doa mau makan.
Dan doanya terkabul dengan cepat. Omar lewat!
Anya Bergegas mengejarnya dan menggamit lengan lelaki itu. Bertujuan untuk menyembunyikan dirinya di balik tubuh besar Omar yang tampak terkejut dengan ulahnya.
"Maaf, mbak siapa ya?" Omar bertanya berusaha menepis tangan Anya yang melingkar erat di lengannya tapi gagal.
"Ini gue, Mar. Anya," jawab Anya dari balik maskernya tanpa berhenti melangkah bahkan terkesan menyeret Omar agar mengikutinya.
"Aaah, lo Nyak? Bikin kaget aja. Ngomong-omong selam…"
"Iya-iya! Makasih Mar. Ayok cepetan kita masuk lift!" Anya dengan cepat memotong ucapan Omar dan menyeret Omar masuk lift sebelum anak buah Pasha menyadari keberadaannya.
Berada di dalam lift, Anya akhirnya dapat bernafas dengan lega setelah membuka maskernya. Omar sampai geli menatapnya.
"Kenapa lo geli gitu?" tukas Anya kesal dengan cara Omar menatapnya.
"Gue merasa heran aja," jawab Omar.
"Heran kenapa?" Anya bertanya lagi sambil merapikan rambutnya yang telah ia potong pendek sebahu kemarin lusa dengan bantuan Amor melalui panduan sebuah akun di youtube. Anya memang perlu mengubah penampilannya. Bagian dari ritual untuk membuang kemalangannya. Meski tidak sepenuhnya berhasil. Ia tetap saja merasa malang, sedih dan frustasi.
"Lo kayak orang ketakutan tadi di lobi," tukasnya.
Anya tersenyum mendengar tuduhan Omar yang memang benar adanya.
"Tau aja lo Mar," Anya menimpali. "Gue was-was tadi sebelum ketemu lo di lobi."
"Lho kenapa malah was-was?" kening Omar berkerut mendengar jawaban Anya yang menurutnya aneh.
"Gue merasa lagi dikuntit aja sama seseorang," Anya menambahkan.
"Dikuntit siapa?"
"Kayaknya sih salah satu penggemar gue, Mar." Anya berusaha meyakinkan Omar yang tetap saja memasang wajah tidak percaya. Duda ganteng yang pernah akan Anya ajak ke Aceh itu memang lelaki yang tidak mudah diyakinkan begitu saja.
"Penggemar gue yang nggak terima gue nikah, Omar." Anya tersenyum lebar sambil terus berbohong.
TING! Pintu lift terbuka.
"Lo tau sendiri dong, udah jadi rahasia umum gue punya banyak penggemar," ujar Anya sambil mengedipkan sebelah matanya sebelum keluar dari lift meninggalkan Omar yang masih melanjutkan sisa satu lantai lagi.
"KAK ANYAAAA!!!" Arini menjerit kegirangan begitu melihat Anya muncul di ruangan. Bahkan Arini langsung bergegas menghampiri dan langsung memeluk dengan kuat hingga Anya merasa sesak.
"Selamat ya Kaaaak!" ucap Arini masih memeluk.
"Makasih dek." Arini hanya tersenyum kecut menjawabnya. "Sarapan apa lo dek? Kenceng banget meluknya. Sarapan beton?"
"Aaah, kak Anya bisa aja deh. Aku malah belum sarapan kak," ujar Arini sambil menggandeng Anya menuju kubikel.
"Ngomong-omong, kak Anya ubah gaya rambut jadi keliatan tambah muda deh?" ujar Arini sambil menyentuh rambut bob sebahu Anya.
"Masa?" Anya tersenyum mengingat betapa susahnya memangkas rambutnya sendiri yang sempat disertai dengan sedikit kekacauan karena Amor yang membantunya sempat hampir salah memangkas.
"Iya. Cantik banget. Potong di salon mana kak?" pujinya sambil tersenyum.
"Ada deh." Anya mengedipkan sebelah matanya.
Tiba di kubikelnya, Anya menemukan buket bunga mawar segar di atas meja kerjanya. Anya mengangkatnya dan menghirup aroma harum segarnya.
"Dari siapa ini?" tanyanya.
"Nggak tau kak. Tapi ini ada kartu nama pengirimnya deh." Arini mengulurkan kartu ucapan yang tadi terjatuh saat buketnya diangkat oleh Anya.
Penasaran dengan siapa pengirimnya, Arini membuka kartu ucapan itu dan membacanya dengan suara keras, "Sayangku Anya, terimakasih untuk kejutan manismu saat bulan madu. Dari suamimu yang tampan, Pasha!"
Mendengar nama Pasha disebutkan, buket bunga dalam pelukan mendadak Anya lepaskan dan jatuh di kakinya. Tubuhnya pun mendadak gemetaran.
"Aih, manisnya! Kak, aku sungguh iri padamu!" Arini mengulurkan kartu ucapan itu. Awalnya ia tidak tahu dengan perubahan sikap Anya, namun melihat buket bunganya telah tergeletak di dekat kaki Anya, Arini memekik kaget.
"Astaga! Kakak kenapa?" Anya memungut buket bunganya dan meletakannya di atas meja Anya. "Kenapa kak Anya sampai gemetaran gitu?" Arini segera menarik kursi untuk Anya duduk.
Anya menggeleng sambil menjawab, "nggak apa-apa dek, sepertinya karena lelah."
"Tunggu sebentar ya kak. Aku ke pantry, bikinin kakak teh manis," ujar Arini sambil berlalu.
Anya lalu meremas kartu ucapan itu dalam genggamannya. Lelaki itu jelas telah menunggunya dan buket mawar merah yang ia kirimkan untuknya jelas bagian dari intimidasinya.
Belum usai kecemasannya, Felix rekan kerjanya menghampirinya untuk memberinya selamat.
"Wah pengantin baru akhirnya ngantor. Selamat ya!" Felix mengulurkan tangannya.
Anya menatap tangan Felix dan membiarkannya menggantung cukup lama. Hingga ia terpaksa menyambutnya dengan jabatan tangan yang lemah.
"Tangan lo dingin amat, Nyak?" Felix akhirnya menunduk untuk melihat lebih jelas wajah Anya yang tampak lemas di kursinya.
"Kecapean Lix," sahut Anya berbohong.
Namun kemudian ia menyesali jawabannya yang malah memancing Felix memberinya tuduhan nakal, "gara-gara tempur tiap malam ni ye?"
Demi seiisi kebun binatang, pertanyaan Felix itu benar-benar membuat Anya kesal hingga ingin membuka kandang Singa agar menerkam Felix.
Nyatanya Anya hanya bisa menutupi wajah kesalnya dengan sebelah tangannya yang bersandar di atas meja yang malah dikira oleh Felix, Anya sedang merasa malu karena godaannya.
"Nggak usah malu gitu deh. Gue ngerti kok," ujar Felix dengan tatapan nakalnya.
"Ngerti apaan, kak?" Arini yang baru datang dengan segelas teh manis hangat menyambar omongan Felix.
"Makanya kamu buruan nikah juga, Rin," ujar Felix berganti menatap usil pada Arini yang tampak polos. "Jadi tau rasanya."
"Aku nggak ngerti deh apa maksud kak Felix. Sana kak Felix pergi aja. Kak Anya lagi kurang sehat tau." Arini mengusir Felix pergi dari kubikel mereka.
Tapi sebelum pergi, Felix berkata pada Anya, "ngomong-ngomong gue tunggu undangan resepsinya ya."
Mendengar kata 'resepsi', Anya mendadak kaku. Teringat dua minggu lagi adalah hari di mana ia dan Pasha seharusnya akan menggelar resepsi pernikahan mereka di Jakarta. Andai ia tidak pernah tahu fakta yang sebenarnya.
"Diminum dulu kak, tehnya. Mumpung masih hangat." Arini mengulurkan mug putih berisi teh manis hangat pada Anya yang tampak linglung.
"Makasih dek." Dengan tangan masih gemetar, Anya menerima uluran mug dari Arini lalu menyesapnya perlahan-lahan.
"Gimana kak? Baikan?" Arini bahkan menyodorkan segepok tissue pada Anya. Ia melihat kening Anya berkeringat cukup banyak.
"Lumayan," jawab Anya sambil mengusap keningnya dengan tissue sembari melirik ponselnya karena mendengar notifikasi pesan masuk.
Anya membukanya dan membacanya sekilas. Sebuah pesan dari Wedding Organizer yang mengabarkan tentang persiapan resepsi dua minggu mendatang.
Anya menutup wajahnya lagi dengan tangannya. Ia tidak mungkin melanjutkan resepsinya. Sudah tidak sudi lagi. Anya harus menghubungi pihak WO untuk membatalkan acaranya. Meski sikapnya itu akan menyulut api baru dalam putaran masalahnya.
"Kenapa kak?" Arini yang terus memperhatikannya kembali bertanya dengan nada cemas.
"Pusing dek," keluh Anya.
"Aku cariin obat ya kak?" ujar Arini bergegas pergi tanpa menunggu jawaban Anya.
Sepeninggal Arini, Anya menghela nafas panjang. Dalam hatinya ia berkata, obat apa pun tidak akan bisa menyembuhkan rasa kekhawatirannya. Apalagi menyelesaikan masalahnya.