Sempat transit di Kupang selama setengah hari yang masih menegangkan baginya, Anya akhirnya sampai di bandara Soekarno Hatta. Duduk menunggu Amor yang baru saja ia hubungi. Memintanya datang untuk menjemputnya.
Hanya Amor seorang, satu-satunya sahabat yang bisa Anya andalkan. Meski wajah Artha sempat terlintas di benaknya. Namun Anya terlalu malu menghadapi Artha yang pernah memperingatkannya dengan keras perihal Pasha.
Ya, kini nasi bukan lagi sudah menjadi bubur. Tapi sudah menjadi tinja. Begitu yang Anya rasakan. Kini ia harus menghadapi masalah ini dengan kuat dan menganggapnya menjadi salah satu cobaan hidup terbesar dari Tuhan yang diberikan untuknya. Cobaan yang menurut orang-orang bisa menjadi sebuah ujian untuk naik level hidup atau cobaan ini terjadi karena untuk menegur dosa-dosa Anya di masa lalu.
Sambil menyesap ice coffee latte-nya, Anya mengingat reaksi sahabatnya itu. Amor begitu terkejut mendengar ia memintanya untuk datang menjemput di bandara. Namun ia belum menceritakan segalanya. Amor bisa lebih emosi lagi jika mendengar yang sebenarnya.
Tapi Anya tidak akan menutupi. Setelah Amor datang ia akan menceritakan segalanya.
Anya sesekali melirik arlojinya. Sudah dua jam berlalu setelah ia menghubungi Amor. Ibu dua anak balita yang wajahnya masih seperti remaja 17 tahun itu belum juga menampakan batang hidungnya.
Menunggu Amor datang, Anya duduk di salah satu sudut ruang tunggu bandara yang lumayan tersembuyi sambil mengamati keadaan sekitar. Ia masih harus berhati-hati. Meski pun Anya yakin Pasha masih tertahan di Sumba, tapi anak buahnya di Jakarta tentu saja tidak. Bisa saja lelaki jahat itu telah mengerahkan anak buahnya untuk mencarinya.
Anya menghela nafasnya lagi, lagi dan lagi agar beban di dadanya sedikit lebih ringan ia rasakan.
Ponselnya lalu berdering. Anya melihat nama 'Amor memanggil' di layar ponselnya.
"Hallo Moy."
"Di mana lo? Gue udah di depan pintu nih."
"Oke, gue ke sana sekarang."
Anya bergegas menuju ke tempat di mana Amor berada. Berlari-lari kecil sambil menyeret kopernya dengan riang. Seriang anak TK yang sedang dijemput orangtuanya pulang ke rumah.
Saat melihat Amor tampak menunggu di depan pintu ruang tunggu, Anya langsung menubruk sahabatnya itu dan memeluknya dengan keras.
"Moooy! Gue seneng akhirnya lo datang juga!"
Dipeluk begitu erat oleh Anya, Amor merasa sangat heran. Lebih heran dari pada saat ia menerima pesan dari Anya yang tiba-tiba saja memintanya menjemputnya segera tanpa melibatkan Jovan suaminya mau pun Artha.
"Jelasin dulu kenapa lo sendirian, Nyak? Suami lo mana?" tanya Amor berusaha melepaskan pelukan Anya sehingga bisa melihat dengan jelas keadaan Anya yang siang itu mengenakan masker dan kacamata hitam.
"Gue nggak bisa jelasin di sini. Ayo kita segera pergi dari sini, Moy. Bawa gue kemana aja lo mau. Tapi jangan dulu ke rumah lo apalagi rumah Pasha."
Mendengar kata-kata Anya yang tampak terdengar ketakutan dan gelisah, Amor merasa ada yang tidak beres dengan sikap Anya.
"Oke. Ayo." Amor merangkul bahu Anya dan membawanya pergi menuju parkiran.
"Lho? Lo ke sini sendirian, Moy? Nggak bawa sopir?" tanya Anya kaget mengetahui Amor ternyata mengendarai sendiri mobilnya untuk menjemputnya di bandara.
Amor meringis sebelum menjawab, "iya lah, sama siapa lagi?" Sambil memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobilnya.
Namun Anya buru-buru menahan tangan kiri Amor yang baru menyentuh setir mobilnya sambil berkata, "tunggu!"
"Kenapa, Nyak?"
"Gue aja yang setir gimana?" pinta Anya, mengingat Amor belum lama berlatih mengendarai mobil dan Anya tidak ingin nyawa mereka berdua terancam.
"Nggak apa-apa, Nyak. Gue bisa." Amor tersenyum lebar sambil memundurkan mobilnya dulu sebelum keluar dari area parkiran mobilnya.
Anya diserang was-was. Mengapa harus pakai mundur dulu?
BRUUKKK!!!
Bagian belakang mobil Amor menabrak sesuatu. Walau pun tidak terlalu keras namun membuat keduanya tetap kaget.
Amor membuka kaca samping mobilnya untuk melongok ke belakang mobilnya. Rupanya bemper belakang mobilnya mengenai pembatas parkir dari beton.
"Tenaaaaang, bukan korban jiwa kok. Cuma beton," ujarnya santai sambil meringis lebar untuk menepis kekhawatiran Anya. Namun sebenarnya Amor sedikit khawatir dengan cat bagian belakang mobilnya. Harapnya, semoga tidak ada lecet yang berarti. Meski ia yakin suaminya tidak akan mempermasalahkannya.
Dengan tenang, Amor perlahan-lahan menginjak gas mobil matic-nya dan meluncur dengan lancar. Anya menarik nafas lega untuk sementara.
"Waktu di jalan tadi, lo nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Anya lagi kembali memastikan saat mobil yang membawa mereka berhasil melaju keluar dari area bandara.
"Apaan sih pertanyaan lo? Masih aja meragukan kemampuan gue nyetir. Jovan aja tenang-tenang aja pas tadi gue telepon pamitan mau nyetir sendirian ke Mall," Amor menimpali dengan geli.
Anya tertawa getir dari balik masker yang masih ia kenakan. Siapa yang tahu nun jauh di sana jantung Jovan sedang jumpalitan tidak tenang. Mengetahui istrinya yang baru belajar setir mobil nekat mengemudi sendiri mobilnya tanpa pengawasan.
"Gimana kalo kita pergi cari makan dulu?" usul Amor tiba-tiba sambil terus fokus mengemudi, menatap lurus ke depan.
"Boleh," sahut Anya sambil membuka kacamata hitam dan maskernya. Luka-luka di wajahnya kini terpampang jelas dan membuat Amor yang sekilas meliriknya sontak banting setir ke kiri dan berhenti di bahu jalan. Hampir saja Anya histeris gara-gara ulah mendadak Amor.
"ASTAGAAA! MUKA LO KENAPA ANYAAAK?!" pekik Amor terkejut sambil kedua tangannya menangkup wajah lebam Anya. Tindakan berlebihan dari Amor yang malah makin membuat pipi Anya kembali berdenyut nyeri.
Anya tidak langsung menjawab. Ia melepas sabuk pengamannya lalu menangis sambil memeluk Amor yang tampak shock dengan kondisi Anya yang baru saja dilihatnya tadi.
"Siapa yang melakukan ini, Nyak? Jangan bilang kalo pelakunya Pasha?" Amor menepuk-nepuk lembut punggung Anya yang berguncang keras karena terisak keras di bahu Amor.
Anya tidak menyahut, hanya mengangguk bersama sedu sedan tangisnya.
"Beneran dia?!" Mata Amor terbelalak lebar nyaris tidak percaya jika Pasha yang selama ini dikenal lembut, sopan dan penuh pesona itu bisa melakukan hal sekeji itu pada istrinya yang baru dinikahinya.
"Ayo kita bikin laporan aja ke polisi, Nyak." Amor mendorong pelan tubuh Anya agar melepas pelukannya.
"Jangaaaan!" Anya menggeleng keras.
"Laaah kenapa? Pasha sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, Nyak! Udah bikin muka lo jadi ancur gini kaya kue cucur."
"Please, jangan dulu Moy. Gue nggak mau bokap dan keluarga gue di Aceh tahu."
"Tapi keluarga lo juga perlu tahu, Anyaaaak!"
"Pokoknya jangan, Moy. Gue nggak mau bokap gue terpukul karena kesehatannya lagi kurang baik. Gue nggak mau beliau kenapa-napa setelah tahu putri kesayangannya begini."
"Terus sampe kapan lo mau tutupi Nyak?"
"Nggak tahu." Anya menunduk menatap kedua tangan di pangkuannya dan melihat lebam baru di salah satu pergelangan tangannya. Bekas cengkeraman tangan Pasha yang begitu kuat tertinggal di sana.
Menatap Anya yang menunduk murung, Amor mengusap kepala belakang Anya untuk menghiburnya.
"Oke. Kalo lo nggak mau bokap dan keluarga besar lo tahu, tapi setidaknya Jovan dan Artha juga harus tahu."
"Jangan dulu, Moy!" Anya tiba-tiba memegang tangan Amor. "Terutama Artha, dia nggak boleh tahu."
Amor terperangah lebar, bingung bercampur kesal dengan Anya yang memilih menutup rapat kasusnya dari orang-orang kecuali dirinya.
"Gue malu sama Artha," gumam Anya lirih.
"Terus kalo mereka nggak boleh tahu, keluarga lo nggak boleh tahu dan polisi juga nggak boleh tahu, gimana caranya orang-orang melindungi elo?"
"Biar Tuhan yang melindungi gue, Moy," jawab Anya sambil mengenakan kembali maskernya. Tidak ingin Amor terus menatap setiap luka di wajahnya.
Amor menghela nafas panjang, berusaha sabar menghadapi kemauan Anya yang menurutnya tidak masuk akal. Melihat sahabatnya dianiaya hingga seperti ini membuatnya ingin membalasnya dengan melindas Pasha tujuh kali bolak-balik dengan mobilnya.
"Oke. Gue capek debat ama lo. Dasar keras kepala." Amor bersungut-sungut sambil kembali menjalankan mobilnya.
"Mau mau makan di mana kita?" tanya Amor sambil sesekali melirik Anya yang lebih banyak diam sepanjang ia kembali mengemudi.
"Moy," Anya tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ya?"
"Apartemen lo masih kosong kan?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Gue boleh ya nginap di apartemen lo sementara waktu?"
"Kenapa nggak nginap di rumah gue aja sih, Nyak? Jauh lebih aman tauk!"
"Nggak Moy. Apartemen lo sepertinya juga aman. Pasha nggak pernah tahu lo punya apartemen."
"Tapi Nyaaaak…"
"Gue nggak mau ngerepotin lo lebih banyak Moy. Cukup lo pinjemin apartemen lo aja ke gue. Kalo lo keberatan gue minta gratisan, gue nggak keberatan kok bayar sewanya."
"Cih, kayak gue ini sahabat macam apa. Ada sahabat kesusahan masa gue tega ambil untung. Lo boleh pake selama lo mau."
"Thank's ya Moy. Gimana kalo kita langsung ke apartemen lo. Gue capek banget pengen istirahat."
"Nggak makan dulu?"
"Gampang," ujar Anya sambil memejamkan matanya. Ia sangat lelah karena pelariannya.
Rencananya ia akan menceritakan seluruh kisah pahitnya pada Amor setelah ia cukup beristirahat nanti.