Mata Anya melotot kaget membaca pesan dari Amor yang tiba-tiba saja membatalkan rencananya datang ke Aceh. Ke acara pernikahannya.
"Kenapa batal sih?" Anya memasang wajah cemberut saat Amor menjawab video call-nya.
Amor menghela nafas panjang sembari memasang wajah penyesalan.
"Gue udah packing semua bawaan gue dari seminggu lalu. See?" Amor memperlihatkan dua koper besar di salah satu sudut kamarnya.
"Lalu? Kenapa harus batal?"
"Dengan sangat menyesal dan kekecewaan yang mendalam...Gue harus bilang...gue dan Jovan nggak bisa datang ke Aceh, Nyak," ujar Amor makin membuat Anya sedih.
"Yaaah...kok gitu sih Moy? Lo keabisan tiket pesawat apa gimana sih?" tukas Anya dengan kesal.
Amor kembali menarik nafas panjang.
"Bukan itu. Kita bahkan udah prepare pesan tiket seminggu sebelumnya Nyak. Lima tiket kelas eksekutif. Reservasi hotel juga udah. Tapi mendadak semalam si kembar kompakan sakit." Amor menceritakan alasannya sambil memperlihatkan suaminya yang sedang menggendong baby Everest yang tampak rewel sambil menepuk-nepuk lembut punggung mungilnya. Sementara baby Momo tampak tidur lelap di atas kasur.
"Baby Everest panas tinggi, Momo juga," tambah Amor dengan nada sedih.
"Ya Allah...trus gimana? Udah diperiksakan ke dokter? Gue ikut sedih jadinya..." Mata Anya fokus pada si kembar. Ikut khawatir. Kekesalannya yang tadi telah sirna.
"Sudah Nyak. Dua jam yang lalu kami baru balik dari dokter anak," tambah Amor.
"Syukurlah...kesehatan mereka lebih penting."
"Tapi gue tetep sedih banget nih. Besok kan moment sakral lo Nyaak. Lo kan nggak akan nikah dua kali. Tapi gue nggak bisa ada di sana. Di mana sahabat gue akan mengakhiri kebadungannya dan menjadi istri yang solekha." Amor sengaja menekan kata 'solekha' dengan cengkok Arab.
Anya spontan tertawa mendengar keluh kesah Amor.
"Enak aja nikah dua kali. Gue akan menikah sekali seumur hidup lah! Lo kan bisa datang di acara syukuran pernikahan gue di Jakarta kali Mooy." Anya memutar kedua bola matanya karena gemas.
"Iya sih. Tapi gue penasaran sama acara pernikahan orang Aceh. Prosesinya gimana? Gue udah biasa melihat prosesi pernikahan Jawa, Sunda, Betawi, Makasar, modern ala barat sampai Tionghoa. Adat Aceh aja yang belom."
"Gampaaang. Gue kasih video pernikahan gue nanti. Lo boleh copy yang banyak terus bantu jual di lapak VCD bajakan juga boleh. Soalnya di acara kawinan gue ada orkes gambusnya. Lumayan kan bisa balik modal kawin gue," ujar Anya membuat Amor tertawa keras sampai mengagetkan suaminya dan langsung memberi peringatan dengan menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Gue kira lo bakal undang rombongan dangdut Pantura ke acara kawinan lo," Amor membalas dalam sisa-sisa tawanya membuat Anya memutar kedua matanya.
"Abis itu suruh mereka nyanyi pake rok sejengkal pake stoking jaring-jaring sambil joget-joget manjah gitu? Acara nikah gue nanti bisa-bisa dirazia. Lo tau dong Aceh dengan aturan syariat islamnya..."
"Pokoknya jangan lupa lo kasih video kawinan lo. Mau gue copy lalu gue kasihin ke Artha." Amor tertawa jahil, masih saja menggoda. Karenanya, Anya jadi gemas lalu ingin mencubit kedua pipi tembam Amor. Gara-gara menyebut nama Artha.
"Jangan, Moy. Tega amat lo ama sepupu sendiri," ucap Anya dengan intonasi pelan.
Teringat Artha sebenarnya membuatnya sedih. Rasanya seperti ada cubitan kecil di hatinya.
"Sun jauh buat si kembar ya. Semoga mereka cepet sembuh, Moy."
"Ok, darling. Terima kasih doanya. Gue juga doakan yang terbaik buat lo. Semoga lo mendapat kebahagian yang langgeng sampai kakek nenek."
"Aaamiiiin! Bye Moy. Salam buat Jovan. Assalamualaikum." Anya memencet tombol berakhir sembari menarik nafas panjang. Salah satu sahabat terbaiknya tidak bisa menghadiri pernikahannya. Lumayan sedih tapi harus bagaimana lagi?
Anya menatap jam dindingnya. Sudah pukul sebelas malam. Mengingat ia harus bangun pagi-pagi buta untuk dirias karena acara akad nikahnya besok akan dilaksanakan pukul sembilan pagi. Anya harus bisa tidur nyenyak malam ini. Walau sebenarnya tidak akan mungkin. Apalagi sekarang Pasha mengusiknya dengan video call. Anya menjawabnya dengan cepat.
"Assalamualaikum sayang."
"Waalaikum salam. Kamu kenapa belum tidur?" Pertanyaan Pasha membuat Anya tergelitik. Wajah tampannya tampak terlihat mengantuk. Pasha tampak di dalam ruangan kamarnya.
"Jadi video call aku cuma mau ngecek aku sudah tidur apa belum?"
Pasha tertawa.
"Nggak juga sih. Karna aku kangen kamu," katanya bernada gombal.
Anya senang mendengar Pasha merindukannya.
"Aku juga..." sahut Anya sambil tersenyum malu-malu.
"Besok hari kita sayang. Aku sudah nggak sabar menjabat tangan ayah kamu," ujar Pasha lagi makin membuat perasaan Anya melambung.
"Please...malam ini tidurlah dengan nyenyak. Karena malam ini terakhir kalinya kamu tidur sendiri." Tambahnya makin membuat Anya tersipu malu, membayangkan malam-malam yang akan ia lalui sebagai istri Pasha mulai besok.
"Sayaang...." suara Pasha menarik Anya dari imajinasi liarnya.
"Ya sayang?"
"Kok diam saja?"
"Mmm...aku sedang bayangin acara kita besok pagi."
"Lihat...siapa yang sudah nggak sabaran?"
"Iiiih...emangnya kamu enggak?" Anya membalas tak mau kalah.
"Iya dong." Pasha tersenyum lebar hingga kedua matanya lenyap. Sungguh menggemaskan sekali calon suaminya jika tersenyum seperti itu. Anya jadi ingin mencubit hidung mancungnya jika pria itu ada di depannya sekarang.
"Sayang...Aku bahagia." Ungkapan itu meluncur begitu saja dari bibir Pasha. Begitu mulus seperti perosotan anak di TK. Anya tersenyum mendengarnya ditambah setitik air mata seperti akan jatuh. Anya buru-buru mengusapnya dengan punggung tangannya.
"Aku makin nggak sabar ketemu kamu besok di depan penghulu." Pasha menatap Anya lekat-lekat. Mengunci sorot mata Anya yang sendu.
"Aku juga." Anya membalasnya dengan suara lembut.
"Mata kamu sudah keliatan mengantuk. Sana tidur. Aku nggak ingin calon istriku besok ketiduran saat aku baca ijab kabul."
"Mana ada?" Anya geli membayangkannya. Tertidur saat acara ijab kabul. Yang benar saja?
"Sampai ketemu besok, Anya sayang. Love you much."
"Me too."
"Tidur yang nyenyak ya. Malam ini terakhir kalinya kamu tidur sendirian."
Sekali lagi Pasha membuat Anya tersipu malu. Pasha bukan hanya tampan namun setiap kata-katanya selalu membiusnya. Setelah menjadi istrinya, Anya harus mulai berhati-hati. Ia tidak ingin suaminya nanti sampai dilirik perempuan lain.
"Kamu juga. Good night sayang."
Pasha tersenyum sambil mengakhiri video call-nya setelah Anya melambaikan tangannya.
Sesudahnya, Anya terus tersenyum lebar sambil menatap foto Pasha di layar ponselnya. Mendadak jantungnya berdebar-debar. Video call dari calon suaminya makin membuatnya bakal susah tidur. Semua perasaan campur aduk di dadanya. Gelisah, bahagia, tegang dan juga sedih bercampur jadi satu. Apalagi saat mengingat kata-kata ayahnya kemarin saat ia bersimpuh memohon restu untuk menikah di prosesi adat sungkeman kemarin.
'Nak...kebahagiaan terbesar ayah nantinya adalah saat melihat Cut bahagia. Almarhumah mamak Cut pasti juga merasakan yang sama. Tugas ayah akhirnya selesai...'
Kata-kata ayahnya hingga kini masih terngiang-ngiang di telinga dan membuatnya sedih sekaligus bahagia.
Selama ini ia kurang dekat dengan ayahnya. Kurang memperhatikan perasaan ayahnya. Meski pada akhirnya Anya berhasil memenuhi apa yang menjadi keinginan ayahnya. Menikah dengan Pasha, pria yang sejak awal menjadi pilihan ayahnya juga.
Anya baru menarik selimutnya dan akan mencoba untuk tidur saat mendengar pintu kamarnya diketuk dua kali.
Anya turun dari kasur dan membuka pintu. Mengira paling-paling kak Medina yang kerap datang ke kamarnya untuk mengobrol.
"Ya kak?" Anya membukakan pintu kamarnya dan kemudian tertegun menatap siapa yang kini berdiri di depan pintu kamarnya.
"Cut..."
Rahma yang berdiri di depan pintu kamarnya. Anya menatapnya kesal sekaligus menyesal telah membuka pintu untuknya.
"Mau apa?" tanya Anya dengan nada ketus seperti biasa jika berhadapan dengan Rahma.
Selama berminggu-minggu Rahma memilih mengambil jarak dan diam dari Anya. Tapi malam ini tiba-tiba dengan berani menemui Anya. Wajahnya tampak frustasi seperti sebelumnya. Bola matanya menatap Anya dengan sendu. Membuat wajahnya tampak kian memelas.
"Cut, mari kita bicara di dalam," pintanya.
"Mau bicara apa lagi? Aku sudah ngantok. Mau tidur." Anya tentu saja menolak dan akan menutup pintunya. Namun perempuan itu menahan pintunya dengan kuat.
"Tolong, Cut..." Rahma tetap bersikeras bergerak maju mendorong pintu yang sedari tadi Anya tahan. Memaksa Anya menerimanya masuk ke dalam kamar, bersikeras ingin berbicara empat mata.
Anya menatap tajam Rahma. Apa lagi yang diinginkan istri Ayahnya itu hingga memaksanya untuk mendengarkannya.
"Tolong Cut, beri aku kesempatan ngomong. Setelahnya aku nggak akan ganggu Cut lagi." Rahma terus memohon.
Menatap Rahma yang terus memohon seperti pengemis, Anya pun memutuskan memberi kesempatan Rahma untuk berbicara. Meski Anya yakin perempuan itu hanya akan mengatakan hal-hal omong kosong. Toh niatnya menikah dengan Pasha tidak akan bergeser sedikit pun. Meski Rahma akan mengatakan banyak hal buruk sekali pun tentang Pasha.
Pendirian Anya tidak akan berubah. Kalau perlu, Anya akan memberi sedikit pelajaran jika Rahma melunjak.
"Mau ngomong apa? Jangan lama-lama." Anya pura-pura menguap lebar sambil membiarkan Rahma masuk lebih dalam ke dalam kamarnya. "Aku mau tidur. Paham?"
Rahma mengangguk dan menutup pintu kamar Anya agar tidak ada orang lain selain mereka yang akan mendengar percakapan mereka berdua.
"Aku...aku...ingin bilang..." Rahma bersuara dengan sangat pelan. Bahkan seperti suara tikus yang mencicit.
Anya menatapnya dingin. Kedua tangan ia lipat di dada.
"Karna ini penting. Karna kalo aku nggak bilang, aku akan lebih berdosa sama ayah Cut dan keluarga kita. Aku sudah memohon sama Pasha berkali-ka..."
Anya memutar bola matanya dengan jengah. Kali ini sambil berkacak pinggang dan sengaja makin dekat berhadapan dengan Rahma yang bicaranya malah bertele-tele dan membuat Anya makin jengah dan tidak sabar.
"Intinya aja langsung. Jangan berputar-putar!" Anya memotong begitu saja dengan nada keras namun berbisik. Anya tidak ingin siapa pun apa lagi ayahnya mendengarnya ribut lagi dengan Rahma.
Sontak Rahma tiba-tiba berlutut dan memeluk kaki Anya sambil menangis tersedu-sedu. Anya bahkan bisa merasakan tubuh perempuan itu bergetar hebat.
"Aku mohon Cut jangan menikah dengan Pasha!"
Benar kan? Dugaan Anya tidak meleset. Tanpa tahu malu Rahma kembali berusaha merusak kebahagiaannya. Bahkan begitu tega memintanya di jelang hari pernikahannya. Sungguh begitu busuk hati Rahma.
Anya jelas tidak pernah bisa sabar dengan kelakuan Rahma. Sekuatnya Anya berusaha melepaskan Rahma yang memeluk lututnya begitu kuat. Sampai-sampai Anya harus mempertahankan keseimbangannya agar tidak terjatuh.
"Kenapa lo selalu berusaha merusak kebahagiaan gue?!"
"Maafkan aku Cut..."
"Selalu saja! Nggak dulu nggak sekarang! Mau lo apa sih Rahma?! Gue nggak pernah ganggu hidup lo! Bahkan meski pun gue nggak pernah suka dengan pernikahan lo dengan Ayah. Salah gue apa ke elo?! Gue udah sabar ya selama ini…" Anya meluapkan kekesalan yang selama ini ia simpan dari ia remaja hingga kini.
Rahma benar-benar sudah keterlaluan. Cukup sudah kesabaran Anya selama ini. Anya menarik tangan Rahma yang masih bersimpuh di depannya dan menatapnya dengan bola mata yang terus mengucurkan air mata.
"Keluar dari kamar gue sekarang!" Anya menarik paksa tangan Rahma agar bangkit.
Namun Rahma malah mengulurkan ponsel miliknya pada Anya. Dengan tangan gemetar ia memohon pada Anya agar membaca apa yang ada di dalamnya.