[ Tinggal 4 jam lagi. Lari denganku, bawa Hanan. ]
[ Aku jemput pukul tiga pagi lewat pintu belakang. ]
Tubuh Anya sontak bergetar hebat setelah membaca pesan dari Pasha di ponsel Rahma.
Apa maksudnya ini? Anya mulai didera gelisah.
[ Kau nggak punya pilihan bertahan di sana Rahma. ]
[ Ikut denganku atau aku terus ganggu hidup kau lewat Anya. ]
[ Ayo Rahma, kita lari bersama. Bertiga kita akan mulai lagi
dari awal. Aku mohon Rahma, aku tunggu. ]
Anya menatap nanar Rahma yang terus menangis tanpa suara dengan kedua tangan ditangkupkan. Terus memohon tanpa suara. Hanya air mata yang terus mengalir di kedua pipinya yang kian tirus.
"Apa…maksudnya…ini?!" Anya mempertanyakannya dengan suara terbata-bata. Anya seolah tidak ingin mempercayainya.
Tapi Rahma terus saja diam dan menangis. Ia bukannya ingin bungkam, Rahma hanya semakin tidak sanggup mengatakannya. Setelah menunjukan alasan kuat penolakannya, Rahma tiba-tiba pingsan di kaki Anya. Benar-benar pingsan.
Tubuh Anya semakin gemetaran hebat. Seperti menggigil. Cucuran air matanya bahkan tak sanggup lagi ia bendung. Bagaimana jika ayahnya tahu? Ayahnya bisa tumbang jika mengetahui yang sebenarnya.
Rahma telah membuat posisinya terasa begitu sulit. Anya tidak mungkin membatalkan acara perrnikahannya begitu saja dan membiarkan ayah beserta keluarga besarnya menanggung malu. Namun jika ia tetap melanjutkan pernikahan pun sama saja dengan menghancurkan dirinya sendiri.
Anya terus berpikir keras. Bagaimana caranya ia menyelamatkan situasi besok?
Yang terpenting, saat ini Ayahnya tidak boleh tahu dulu soal konspirasi Pasha yang melibatkan dirinya dengan Rahma. Anya tidak ingin kemalangannya akan membuat Ayahhnya sedih. Ayahnya bisa jadi tampak kuat dan tegar, namun Anya tahu sebenarnya ayahnya sangat rapuh. Mengingat saat dahulu mamak Anya meninggal dunia, Ayahnya terus mengurung diri di kamar hingga jatuh sakit selama berminggu-minggu.
Anya melihat ke arah jam dinding dengan cemas. Sudah pukul setengah tiga pagi. Pasha pasti sedang bersiap menjemput Rahma.
Dalam kekalutannya, Anya kembali dikejutkan dengan nada pesan masuk dari ponsel Rahma. Anya langsung membukanya. Membaca sebuah pesan terbaru dari Pasha.
[ Jangan lupa kau bawa paspor dan surat-surat penting lainnya. ]
[ Kita bertiga akan ke Medan bikin paspor Hanan, urus VISA lalu
ke Turki. ]
Membaca pesan itu hati Anya bukan hanya sekedar patah. Namun juga hancur. Pasha yang begitu manis dan selalu tampak tulus padanya ternyata telah bertindak curang di belakangnya. Semua perlakuan manisnya, pernyataan cintanya lalu pinangannya di depan keluarga besar ternyata hanya bagian dari sandiwara untuk menekan Rahma.
Bahkan baru tiga jam yang lalu, Pasha merayunya dengan manis lewat video call mereka. Hanya untuk membuat alibi agar Anya dan keluarganya tidak mencurigai niat terselubungnya. Mengingatnya membuat Anya muak.
Anya mulai menjambaki sendiri rambutnya. Kalut.
Pukul tiga pagi. Pasha mengirim pesan lagi. Anya yang terus terpaku menatap Rahma yang belum siuman di lantai, membaca pesan itu.
[ Sayang lon Rahma, aku dah tunggu di belakang rumah. ]
Anya tertawa getir setelahnya. Bahkan cara Pasha menyebut nama Rahma pun begitu manis. Tak seperti panggilan sayang untuknya selama ini yang ternyata palsu.
Anya bergegas bangkit dan berlari dengan kaki telanjang menuju arah pintu belakang rumahnya sekaligus mematikan penerangan di pintu belakang. Anya harus menyaksikannya sendiri dengan kedua mata telanjangnya. Menangkap basah bajingan itu di kala semua penghuni rumahnya masih terlelap.
Dengan jantung berdebar sangat kencang dan nafasnya yang terasa berat ia rasakan di rongga dadanya, perlahan Anya mengintip melalui pintu belakang rumah yang ia buka sedikit.
Dengan bantuan sedikit pencahayaan dari lampu jalan, Anya mendapati SUV hitam yang biasa Pasha pakai di Aceh terparkir tidak jauh dari rumahnya dan seketika hatinya bagai dihantam sesuatu yang tak kasat mata. Menangkap sosok Pasha yang amat ia kenal keluar dari SUV sambil mengamati ke arah rumahnya.
Tiba-tiba ponsel Rahma yang masih Anya genggam bergetar. Pasha menelpon.
Anya sengaja membiarkannya. Pasha terus menelepon berkali-kali.
Tidak kunjung diangkat juga, Pasha akhirnya mengirim pesan.
[ Lama kali kok? Jangan bikin kesabaranku hilang. ]
[ Kita dah sepakat bukan? ]
Anya tercenung menatap pesan itu. Seolah memikirkan sesuatu. Teringat Rahma yang telah memohon sedemikian rupa padanya untuk memutus rantai yang selama ini membelit dirinya.
Anya lalu membalas pesan Pasha. Berpura-pura menjadi Rahma.
[ Pergilah. Aku akan terus bertahan bersama pak Abdullah Saleh. ]
Dan pesan yang dikirimkan Anya langsung mendapat balasan keras dari Pasha.
[ Kalo begitu selanjutnya jangan salahkan aku Rahma!
Aku akan hancurkan hidup kalian!!! ]
Setelah mengirim pesan itu, Pasha yang tampak berang menatap ke arah kediaman Abdullah Saleh kembali masuk ke dalam mobilnya dan bergerak pergi. Anya bersandar di dinding dengan lemas menyaksikan mobil Pasha yang telah pergi dan ditelan kegelapan.
Anya lalu melangkah gontai kembali ke kamarnya. Pikirannya berkecamuk hebat. Bahkan rasanya hampir sinting. Bayangan wajah ayahnya yang tersenyum bahagia saat prosesi meminta restu kemarin terus terputar di benaknya.
Haruskah ia membatalkan pernikahannya untuk menyelamatkan keluarganya? Namun ia akan membuat nama baik Ayahnya menjadi pergunjingan seantero kota. Nmaun jika ia melanjutkannya pun, itu sama saja membiarkan pria jahat itu masuk semakin dalam ke dalam keluarga mereka untuk membuat kekacauan yang lebih besar.
Apa yang harus benar-benar ia lakukan kini?
"Cut? Habis dari mana?" Suara ayah mengejutkan ketika Anya melewati depan musolla di dalam rumahnya sambil melamun.
Tak ingin Ayahnya melihat wajah sedihnya, Anya cepat-cepat menghapus air matanya. Sepertinya ayahnya baru selesai sholat tahajud.
"Cut kenapa menangis?"
"Nggak apa-apa Yah. Cut cuma nggak bisa tidor. Makanya jalan-jalan ke belakang," sahut Anya membuat alasan dan membuat Ayahnya tertawa geli mendengarnya.
"Tidurlah barang sejenak Cut," saran sang Ayah dengan raut wajah khawatir.
"Ya ayah," Cut menyahut lirih sembari melangkah perlahan.
Namun sesaat kemudian dengan cepat Anya berbalik dan berlari untuk memeluk erat Ayahnya membuat pria berkumis tebal itu terkejut. Tak menyangka putrinya yang selama ini selalu bersikap dingin padanya tiba-tiba memeluknya erat sambil terisak pilu.
"Cut sayang ayah!" ucapnya diiringi isak tangis yang berusaha ia tahan di bahu Ayahnya, membuat sang Ayah tak kuasa menitikan air mata haru.
"Iya ayah tahu dari dulu. Ayah juga sayang Cut," ujarnya sambil mengusap-usap punggung putrinya dengan lembut. Ada kebahagiaan besar yang akhirnya ia rasakan kembali. Seolah putri kecilnya yang dulu selalu bersikap manja padanya telah kembali seutuhnya.
"Cut sayang ayaaaah!" Anya kembali mengucapkannya dengan tangis yang kian pecah. "Sayaaang sekali! Sayang sekali! Sayaaang sekali!" raungnya dengan sedih makin membuat Ayahnya terharu.
Pada akhirnya, ia harus membuat keputusan. Meski itu sama saja menghancurkan dirinya.
Ia tetap akan menikah dengan Pasha. Meski pun ia tahu Pasha hanya berpura-pura. Meski pun tujuan Pasha hanya lah demi Rahma dan Hanan putra biologisnya.
Demi kebahagiaan ayahnya, Anya bertekad akan mengorbankan diri. Meski Anya tahu Rahma pasti akan terpukul dan tidak bisa menerimanya. Karena jika harus memilih antara membahagiakan Ayah atau memenuhi keinginan Rahma, maka Anya memilih Ayahnya.
Namun dalam hatinya, Anya telah bertekad. Pasha pun tidak akan ia biarkan begitu saja.
○●○
Saat kembali ke kamarnya , sosok Rahma masih ada di sana. Duduk di lantai yang dingin sambil memeluk kedua lututnya. Tatapannya tampak kosong.
Anya tertawa getir menatapnya. Kasihan, pikirnya. Tadinya ia benci setengah mati hingga sampai ke pembuluh darahnya. Tapi kini ia berbalik iba padanya sekaligus muak pada Pasha yang telah menipunya.
Selama ini Anya tidak pernah bisa menang dari Rahma. Keberadaan perempuan itu bahkan seperti mimpi buruk baginya.
Anya beralih menatap cermin di meja riasnya, wajahnya kini jelas tampak seperti orang yang tidak tidur sepanjang malam. Anya berharap penata riasnya nanti pandai menutup wajah kuyunya dengan make-up.
Anya lalu memutar tubuhnya memandang sekeliling kamarnya yang telah dihias sangat cantik sejak kemarin. Ia kembali tersenyum getir. Mengapa nasibnya begitu buruk jika bersinggungan dengan Rahma.
Perempuan yang juga pernah menjadi teman masa kecilnya.
Andai saja dulu ia bersikeras menolak Rahma masuk ke dalam lingkaran keluarga mereka, mungkin nasib Anya tidak akan setragis ini.
Tapi kini ia harus menghadapinya dan membiarkan Rahma bercerita panjang lebar tentang Pasha.
"Gue ingin dengar semuanya dengan lengkap."
Rahma mengangkat wajahnya dan menatap Anya dengan sorot mata seolah menemukan harapan.
Dengan perlahan ia pun bercerita. Tentang awal pertemuannya dengan Pasha bertahun-tahun yang lalu di Medan. Saat Rahma berkuliah di sana dan berkenalan dengan lelaki itu. Ketika mereka berdua saling jatuh cinta, menjalin hubungan intim hingga Rahma hamil dan tiba-tiba saja ditinggalkan Pasha yang lebih memilih kariernya. Ditinggalkan sendirian dan dibuang oleh keluarga besarnya yang malu punya anak perempuan hamil di luar nikah.
Hingga Rahma bertemu kembali dengan pak Abdullah Saleh yang selama ini sangat baik dengan keluarganya. Pak Abdullah Saleh yang saat itu kebetulan sedang singgah di sebuah kedai kopi di Medan. Melihat anak bekas pekerjanya, Rahma menjadi pelayan kedai kopi sambil menggendong anak balita berusia satu tahun di punggungnya. Seorang balita laki-laki tanpa ayah yang harus ia hidupi mati-matian. Membuat pak Abdullah Saleh akhirnya jatuh iba lalu melamarnya. Menikahinya untuk melindunginya, memberinya naungan dan mencurahkan kasih sayang untuk Rahma dan putranya.
Dan Anya kian dibuat geram saat Rahma menceritakan bagian Pasha yang tiba-tiba mencari Rahma setelah bertahun-tahun lamanya hingga ke Takengon dan menemukan dirinya telah menikah dengan pria lain. Namun tidak menyurutkan niat Pasha untuk membuatnya kembali meski Rahma berkali-kali menolaknya. Bahkan Rahma tidak menyangka Pasha akan menggunakan Anya untuk memaksanya dengan ancaman akan menikahi Anya dan membuat keluarganya berantakan.
Itulah sebabnya mengapa Rahma begitu bersikeras menghalangi hubungan Anya dengan Pasha yang selama ini hanya memperalatnya saja.
"Sudah terlambat," ujar Anya sambil menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangannya.
"Gue akan tetap menikahi Pasha."
"Tapi Cut?" Rahma masih tak mengerti mengapa Anya tetap nekat melanjutkannya meski ia telah mengetahui seluruh kebenarannya.
"Tolong berhenti menghalangi gue, Rahma. Gue lebih tau apa yang harus gue lakukan nantinya."
"Cut…"
"Pergilah, gue ingin sendiri," pinta Anya tanpa dengan suara keras berhasil membuat Rahma akhirnya keluar dari kamarnya.
Sepeninggal Rahma, Anya lalu menghapus semua foto Pasha sekaligus. Memejamkan matanya sejenak, berharap sedikit bebannya terangkat sejenak dari bahunya. Meski hanya sementara. Anya sadar jalan yang ia pilih dan ia putuskan tidak akan mudah.
Lamat-lamat di telinganya terdengar adzan subuh. Anya bangkit dengan gontai menuju kamar mandi untuk mandi sekaligus berwudhu. Setelah sholat subuh ia akan memohon satu hal kepada sang penggenggam nasib. Memohon sebuah kekuatan besar untuk melalui semuanya.
"Cut..." Suara Medina memanggil dari balik pintu.
"Masuk kak," Anya menyahut. Ia masih mengenakan mukena dan duduk bersimpuh di atas sajadah.
"Penata riasnya sudah datang." Kepala Medina muncul dari balik pintu. Senyum Medina mengembang melihat Anya yang baru selesai sholat subuh.
"Iya kak."
"Cut seperti kurang tidor? Nggak bisa tidor ya semalam?" Medina bertanya dengan nada menggodanya.
Anya tertawa getir sebelum menjawab, "iya nih kak."
"Wajar Cut. Aku dah pernah merasakannya. Campur aduk rasanya." Medina melangkah masuk. "Aku bikinin susu hangat mau?"
Anya mengangguk.
"Tunggu ya."
"Tapi kak, aku mau nitip ponsel Rahma. Tolong kembalikan ke dia."
"Ponsel Rahma?" Medina jelas heran. Mengingat hubungan Anya dan Rahma bagai air dan api.
"Tadi dia kemari. Ponselnya ketinggalan."
"Ok." Medina menerima ponsel dalam uluran tangan Anya.
Selepas Medina pergi, Anya mencopot mukenanya dan keluar menyambut tim penata riasnya. Keluarganya juga telah bangun dan bersiap menyambut hari bahagia Anya.
Untuk akad nikahnya, Anya mengenakan gaun terusan warna putih yang tampak mewah dengan kerlap-kerlip batu swaroski. Dengan make-up dan hijab yang senada, Anya sebenarnya luar biasa cantik pagi itu. Sebelum ia melangkah bersama ayah dan keluarga besarnya menuju sebuah masjid yang terletak kurang lebih lima ratus meter dari kediaman mereka, Anya mengambil foto selfie dan mengirimkannya pada Amor dan Pasha.
Khusus untuk Pasha ia sematkan sebuah pesan sindiran.
Anya: Aku mempelaimu yang tercantik bukan?
Pasha: Yes my dear. Sudah tidak sabar lagi ketemu kamu.
Anya tertawa sinis membacanya. Anya yakin Pasha belum menyadari topengnya telah dibuka oleh Rahma. Anya yakin pula saat ini lelaki itu pasti sedang merasa patah hati karena telah gagal melarikan perempuan dan putranya yang pasti ia kasihi.
Tapi semua itu tetap tidak sebanding dengan hati Anya yang kini telah hancur.
Saat memasuki pelataran masjid, Anya bertukar tatap dengan Pasha yang telah menunggunya. Lelaki itu tetap tampak tampan dengan setelan jas putihnya. Tidak tampak kesedihan di wajahnya. Bahkan senyumnya tampak begitu alami saat melihatnya datang. Lelaki itu sungguh pandai berpura-pura. Anya makin muak melihatnya.
Anya lalu duduk bersimpuh di antara rombongan keluarganya. Menyaksikan sang Ayah yang sangat ia cintai menerima langsung tangan Pasha. Menjabatnya dengan erat dan menatap Pasha yang mulai mengucapkan ijab kabul dengan begitu lancar.
Kembali Anya merasakan ada genangan air mata di pipinya. Air mata yang justru disangka air mata bahagia oleh sanak keluarganya.