Anya terus menatap kedua punggung tangannya dengan sendu. Inai di kedua tangannya bahkan belum pudar namun mimpi indahnya mengapa harus begitu cepat pudar?
Mimpi-mimpi indahnya yang seharusnya telah terwujud kini malah berubah menjadi mimpi paling buruk sepanjang hidupnya.
Meski pesta pernikahannya begitu indah dan menuai banyak pujian. Meski banyak orang yang mengagumi indahnya seremonial pernikahan mereka.
Namun semua itu hanyalah tipu daya yang sempurna.
Hanya Anya, Rahma dan Pasha, yang masing-masing tahu dan sama-sama sedang bersembunyi dalam topengnya masing-masing, memerankan perannya masing-masing dalam pesta pernikahan itu. Anya yang berperan sebagai istri ideal, Pasha berperan menjadi suami yang tanpa cela dalam mengucapkan ijab kabul dan Rahma berperan sebagai ibu mertua muda yang tampak tenang dalam diamnya.
Setelah melalui satu demi satu rangkaian pesta pernikahan yang sempurna itu, mereka berdua langsung terbang ke Sumba Nusa Tenggara Timur. Merayakan bulan madu yang telah mereka rencanakan sebelumnya di salah satu hotel terbaik di dunia. Hotel yang terletak di kawasan pantai Nihiwatu Sumba Barat. Tempat pilihan Anya. Tempat yang awalnya sempurna untuk bulan madu mereka berdua.
Anya menghela nafas panjang lagi. Andaikan malam itu Rahma setuju diajak lari oleh Pasha, maka perjalanan bulan madu ke Sumba tidak akan pernah terwujud. Yang ada hanyalah huru-hara besar dalam acara pernikahannya.
Dan kini Anya tidak bisa menilai langkahnya sudah tepat atau keliru. Karena yang ia pikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya menahan badai yang bakal datang memporak-porandakan keluarganya di hari itu. Lantaran Anya tahu, Pasha menikahinya pun hanya untuk menjalankan rencana cadangan setelah rencana utamanya gagal.
Meski hanya sementara...
Setelah perjalanan panjang, dari Lhokseumawe - Medan - transit Bali untuk menuju ke Sumba, akhirnya mereka berdua tiba di sebuah resort terkenal di tepi pantai Nihiwatu. Pantai yang juga terkenal di kalangan para pemburu ombak, peselancar dari mancanegara.
Anya bahkan tak henti-hentinya menatap takjub pada pemandangan senja di depan kamar hotelnya. Matanya langsung disuguhi pemandangan senja di ujung infinity pool keren yang menghadap langsung ke pantai Nihiwatu.
Benar-benar sebuah tempat yang sempurna untuk menghabiskan bulan madu atau menjadi tempat yang sempurna untuk mengakhiri segalanya?
Ditatapnya dengan tajam Pasha yang tampak sedang menelepon seseorang di pinggir kolam renang. Dari roman wajahnya tampak sedang menahan kekesalan. Anya bisa menduga siapa yang menjadi penyebab wajah tampan itu tampak kesal. Siapa lagi jika bukan karena Rahma.
Anya terus mengawasi sosok Pasha sembari memainkan liontin kalungnya dengan muram. Akalnya tengah berkecamuk hebat memikirkan apa yang akan ia lakukan berikutnya.
Jujur, berpikir keras seperti ini untuk mencari cara melepaskan diri dari gurita itu benar-benar melelahkan bagi Anya. Hingga ia sampai tidak menyadari sosok Pasha telah menghilang dari jangkauannya.
Namun lelaki itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Mengulurkan kedua tangannya, menarik Anya masuk ke dalam peluknya dan mengecup pelipisnya sembari berkata, "Suka dengan kamarnya, sayang?"
"Iya. Suka," jawab Anya singkat sambil memutar bola matanya. Muak dengan keterampilan Pasha bersandiwara.
Padahal di malam itu Anya sempat melihat wajah Pasha yang tampak luar biasa kecewa karena Rahma menolaknya mentah-mentah lari bersamanya.
Anya tersenyum miring. Andai saja Pasha tahu...
Anya lalu melirik ranjang yang telah dihias begitu manis oleh pihak hotel. Ranjang serba putih bertaburan kelopak mawar merah segar dan ratusan kuntum mawar segar membentuk hati tepat di tengah ranjang.
Anya lantas menggigit bibirnya karena kecewa. Kini bayangan ia berguling-guling mesra dengan Pasha di ranjang seromantis itu tak lagi menggoda. Ia justru muak dan kian tak sabar untuk mengakhiri segalanya. Apalagi saat Pasha menyingkap rambut panjangnya yang tergerai di punggung dan mulai mengecupi tengkuknya berkali-kali. Tapi alih-alih merasa terhanyut dalam kecupan penuh gairah itu, malah Anya merasa risih dan ingin mendorong lelaki itu hingga jatuh terjengkang sejauh-jauhnya.
Anya yang cukup pandai menguasai emosinya, pelan-pelan melepaskan diri dari pelukan Pasha lalu melangkah menuju meja yang menyediakan aneka camilan dan sebotol wine. Sebuah bagian dari penyambutan pihak hotel untuk sepasang pengantin baru.
"Happy Wedding Mr and Mrs. Iskandar." Anya membaca isi kartu ucapan yang tersemat diantara camilan lalu membuangnya langsung ke tempat sampah. "Sempurna," gumamnya sinis.
Namun di dalam hatinya, Anya berteriak, Bullshit!
Tanpa basa-basi, Anya lalu membuka botol wine itu dan menenggaknya langsung. Hanya untuk dirinya sendiri. Tanpa memperdulikan ekspresi Pasha yang tampak terkejut dengan perubahan sikap Anya yang tiba-tiba menjadi urakan. Jauh dari tingkah laku anggun Anya yang sebelumnya diperlihatkan.
"Sayang, jangan seperti itu minumnya." Pasha menegur, menggeleng dengan wajah kecewa berusaha merebut botol wine dari tangan Anya yang malah menepis tangannya dengan keras.
Anya berhenti minum lalu tertawa sinis sambil meletakan botol wine itu dengan keras di atas meja hingga terdengar suara benturan yang membuat Pasha semakin tidak suka.
"Gimana kalo kita langsung aja," ujar Anya sambil menarik nafas panjang, melangkah pelan mendekati Pasha. Diusapnya dada bidang yang dibalut jas navy dan kemeja biru itu perlahan-lahan sambil menatap tajam kedua bola mata Pasha.
"Kamu sudah nggak sabar ya?" Pasha makin menarik lebih dekat tubuh Anya hingga tak berjarak, menempel di dadanya. Menggesekan hidung mancungnya pada hidung Anya dengan lembut, hingga cukup untuk membuat dada Anya berdesir.
Anya lalu menempelkan kepalanya di dada Pasha. Ingin mendengarkan detak jantung dari pemiliknya yang munafik. Ia tidak akan membiarkan lelaki brengsek ini mengambil keuntungan lebih banyak darinya.
Masih dengan telinga menempel di dada Pasha, Anya terkekeh cukup keras. Pengaruh alkohol jelas telah menguasainya. Jujur, Anya bukan peminum hebat dan sudah bertahun-tahun yang lalu Anya menjauhi segala minuman keras. Tapi kali ini pengecualian. Anya nekat meminumnya agar memiliki lebih banyak keberanian.
"Kamu mabuk, sayang." Pasha mengusap pipi kemerahan Anya dengan lembut namun sorot matanya tak pernah lepas dari bibir merah Anya yang merekah seolah sedang mengundang mangsa untuk masuk ke dalamnya.
"Tidaaaaak..." ucap Anya sambil dengan sengaja memutar-mutar telunjuknya pada dada Pasha.
"Kamu mabuk, sayaaang."
Anya terkekeh sambil memaksa melepaskan pelukan Pasha. Melangkah mundur sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Pasha.
"Siapa bilang aku mabuk, hah?"
"Lihat saja tingkahmu di cermin?"
Anya lalu bergerak menuju cermin dan melihat pantulan dirinya yang tampak kacau, frustasi dan menyedihkan dalam balutan blouse floral yang cantik.
"Aku nggak mabuk," gumamnya sedih. "Hanya tampak sangat menyedihkan." Anya menyentuh wajahnya yang tampak di cermin.
"Sayaaang, kamu sepertinya lelah deh. Gimana kalo kita rebahan berdua di ranjang."
Pasha lalu mengulurkan tangannya untuk meraih Anya. Namun Anya menghindar dan membuat Pasha menghela nafas untuk menahan diri.
Hingga Anya tiba-tiba dengan lantang menyebut namanya, "Pasha Iskandar!"
"Iya, istriku sayang?" sahut Pasha dengan suara lembut. Mengingatkan Anya bagaimana cara Pasha memanggil Rahma dengan begitu manis tanpa kepura-puraan. Kian menguatkan tekad Anya untuk melepaskan diri dari Pasha.
"Ayo kita akhiri semuanya dan bercerai!" pinta Anya tiba-tiba dengan mengejutkan sembari melepaskan cincin kawinnya dan meletakannya di atas meja, membuat bibir Pasha spontan terperangah lebar seolah tak percaya dengan apa yang diucapkan istrinya barusan.
Inilah saatnya. Tidak perlu membuang waktu lebih lama untuk mengakhiri sebuah hubungan dengan pria penuh toxic seperti Pasha. Anya telah memutuskannya.
"Aku ingin kita cerai," Anya mengulang permintaannya dengan mantap. Tanpa keraguan sedikit pun namun tetap saja ia merasa hatinya ikut patah saat mengucapkanya.
"Kamu jangan bercanda, sayang..." Pasha berkacak pinggang menatap Anya dengan tatapan tak mengerti.
"Aku serius," Anya menyahut sembari menatap wajah tampan Pasha lekat-lekat hingga dengan jelas terlihat di matanya, lelaki itu mulai kehilangan kesabarannya.
Sepertinya Anya mulai berhasil memancing ular berbisa itu keluar dari lubang persembunyiannya.