Adakah yang lebih menyebalkan dari hati yang mendadak gundah?
Meninggalkan Artha di rooftop, sebenarnya terasa begitu berat bagi Anya. Kakinya mungkin melangkah turun namun hatinya seolah masih tertinggal di sana.
Sesudahnya Anya hanya bisa menatap kosong angka demi angka lantai gedung yang ia lalui di dalam lift. Sosok Artha yang dibalut senja, senyuman getirnya, kata-kata terakhirnya hingga sentuhan tangannya makin membuat Anya tak mengerti. Mengapa sosok itu kini makin membuatnya gelisah. Anya mulai takut dan meragukan isi hatinya. Apakah kini hatinya telah terbagi dua? Setengah yakin setengah ragu. Padahal ia telah bulat memilih Pasha. Lelaki itu nyaris sempurna bagi Anya. Lelaki pilihan ayahnya.
Anya kembali mengurut keningnya yang berdenyut. Ini pasti gara-gara ciuman itu. Peristiwanya sudah lama, namun ingatan tentangnya menempel kuat di otaknya.
Anya menatap gelang emas di pergelangan tangannya. Kali ini mengingat Artha saat memakaikan gelang di tangannya. Setiap sentuhannya dan tatapan matanya membuat Anya tersihir. Pada akhirnya Anya mengakui bahwa pertemuan mereka berdua tadi sebenarnya begitu besar mempengaruhinya.
Kepalanya kini pening. Anya menempelkan dahinya di dinding lift yang terasa dingin. Sesekali tinjunya meninju dinding lift sebagai pelampiasan kekesalannya.
Semua salah Artha! Jeritnya dalam hati. Salah si kribo.
Dua orang lelaki yang juga ada di dalam lift segera bergeser maju dekat pintu lift. Takut wanita di belakangnya yang sedang meninju dinding lift menjadikan mereka sasaran kekesalan berikutnya.
Namun dugaan dua sosok figuran itu meleset. Anya mendadak menekan tombol keluar hendak berpindah ke lift sebelah. Menekan-nekan tombol buka dengan tidak sabar. Lift tidak kunjung terbuka. Anya berlari menuju tangga darurat. Mencopot heels dan berlari menaiki ratusan anak tangga, lantai demi lantai.
Ketika ia sampai, dan berharap masih menjumpainya di rooftop, Anya hanya menemukan senja yang perlahan tenggelam disertai dinginnya hembusan angin.
Artha telah pergi. Ia tak lagi menemukannya di sana.
Anya lalu membungkuk dan dengan kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Nafasnya yang tersengal-sengal terasa begitu mencekik lehernya.
Lelaki itu benar-benar telah membuatnya sinting hingga membuat Anya menertawakan dirinya sendiri.
Ia yang telah memilih mengabaikan perasaan Artha beberapa waktu yang lalu, mengapa kini ia menjadi gundah dan berbalik mengejar lelaki itu hanya untuk memastikan sesuatu.
Lamat-lamat terdengar suara adzan maghrib. Anya tertawa getir. Seharusnya dia telah duduk manis di kubikelnya dan berbuka puasa dengan segelas teh manis hangat. Bukannya seperti orang dungu di atas rooftop seperti sekarang ini.
Ini benar-benar lucu, Nyak! Anya berkali-kali menertawakan dirinya sendiri.
Pelan-pelan Anya melangkah meninggalkan rooftop dengan sisa tenaganya. Ponsel di saku blazer abu-abunya berdering saat ia telah berada di dalam lift turun.
Dari Pasha.
"Waalaikumsalam," Anya membalas dengan nafas yang belum teratur.
"Nafas kamu kenapa tersengal-sengal sayang?" suara Pasha terdengar khawatir.
"Ooh...aku...mmm...abis naik turun tangga," Anya membuat alasan.
"Lho kenapa dengan lift-nya? Macet?"
"Nggak kok. Cuma pengen olahraga doang," Anya berkilah.
"Kamu sudah buka puasa?"
"Belum."
Terdengar suara Pasha tertawa.
"Hebat ya kamu. Belum buka puasa kamu masih semangat olahraga?"
Anya mencoba menghela nafas dalam-dalam. Andai saja Pasha tahu tentang kegilaannya tadi. Lelaki itu pasti akan kecewa.
"Sayang…"
"Ya?"
"Aku minta maaf."
"Untuk apa minta maaf?"
"Hari ini aku nggak bisa temani kamu buka puasa. Pekerjaanku banyak dan belum kelar juga. Kamu nggak apa-apa kan kalo berbuka puasa sendiri?"
"Ok," sahut Anya masih dengan nafas yang belum teratur benar.
"Kamu marah?"
"Nggak kok. Aku ngerti." Anya memejamkan kedua matanya. Entah mengapa ia tidak peduli dengan Pasha yang tiba-tiba membatalkan janji mereka berbuka puasa bersama.
"Makasih sayang. Jangan pulang terlalu malam, ya…"
Pasha menutup teleponnya dan Anya keluar dari lift dengan gontai menuju ruangannya. Sudah tidak ada seorang pun di sana.
Anya menuju kubikelnya, duduk sambil menenggak setengah botol air mineral di mejanya. Bersamaan dengan datangnya chat dari Amor.
Amor: Lo ada acara nggak?
Anya membaca pesan Amor yang baru saja masuk ke dalam ponselnya. Anya membalasnya dengan cepat.
Anya: Nggak ada.
Amor: Baguslah. Lo udah buka puasa?
Anya: Belum. Gue baru mau pulang dari kantor.
Amor: Ya udah, lo ke rumah gue ya sekarang. Kita buka puasa bareng.
Anya: Si kemoceng lo undang juga nggak?
Amor: Hahaha. Iya. Tapi dia bilang nggak bisa datang. Sibuk katanya.
Anya: Oke, gue datang sekarang.
Setelah melaksanakan solat maghrib di musholla kantor, Anya bergegas meluncur dengan mobilnya menuju rumah Amor. Memutuskan menerima undangan sahabatnya yang bisa dibilang cukup mendadak.
***
Amor membuka pintu rumahnya dan menatap sahabatnya dengan tatapan menyelidik.
"Lo baik-baik aja kan?"
Anya mengangguk lemah, meng-iyakan sembari mengikuti Amor masuk langsung menuju ruang makan.
"Tapi kenapa muka lo keliatan suram gitu?"
Anya tertawa getir. Amor tidak boleh sampai tahu kebodohan apa yang telah ia lakukan sebelum datang kemari.
"Gue lemes kale, belum makan apa-apa," Anya berkilah sambil menyalami Jovan dan ibu mertua Amor yang telah menunggunya di meja makan.
"Kirain lo lagi galau," tukas Amor, kata-katanya bagai anak panah yang menembus tepat ke jantung Anya.
"Ngomong-omong masak apaan nih? Aromanya enak." Anya sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Gue masak banyak. Ada pepes ikan mas, nasi liwet, sambal petai, dan masih banyak lagi," Amor menarik kursi untuk Anya duduk.
"Sebenernya sih gue undang Artha juga, tapi dia nggak bisa datang," ujar Amor sambil duduk di samping suaminya. Diam-diam Anya merasa lega dengan tidak adanya Artha di tengah-tengah mereka.
"Ayo kita mulai makannya," ujar Jovan mengawalinya dengan mengulurkan piring kosongnya pada Amor.
Dengan cekatan Amor melayani suaminya mengambilkan nasi dan lauk-pauk. Sementara Anya hanya menatap semua lauk-pauk dengan tatapan sedih. Kini selera makannya pun ikut lenyap.
"Nyak? Kok ngelamun? Ayo dimakan." Suara Amor membuat Anya mengangkat wajahnya dan memaksakan untuk tersenyum.
"Ok." Tangan Anya mulai bergerak mengambil nasi dan lauk-pauknya. Meski tidak ada selera makan, Anya harus tetap makan. Bukan karena agar Amor tidak curiga padanya, tapi karena Anya tidak ingin mati kelaparan gara-gara memikirkan perasaan anehnya pada Artha.
Setelah berbuka puasa bersama Amor dan Jovan sekeluarga, Anya tidak langsung pulang karena kelucuan si kembar menahannya. Sambil duduk santai Amor dan Anya bercengkerama bersama si kembar di ruang keluarga. Sementara Jovan pergi ke masjid untuk salat tarawih.
Amor yang sedari tadi curiga dengan wajah Anya yang murung namun pura-pura bahagia itu kembali bertanya, "Lo baik-baik aja kan?"
Anya tertawa sambil mencubiti pipi Momo dalam pangkuannya. "Gue baik-baik aja, Moy."
"Lo nggak pernah bisa menyimpan rahasia dari gue, Nyak," Amor menatap Anya lekat-lekat. Menunggu Anya akan menjawab tebakannya dengan jujur.
Anya menghela nafas panjang sambil berpikir belakangan ini ia benar-benar boros oksigen. Sebentar-sebentar tarik nafas panjang, sebentar-sebentar hembus nafas panjang.
"Mungkin karna gue ngerasa lagi stress aja, Moy." Anya menatap Amor dengan tatapan murung.
"Tuh kan, bener tebakan gue…"
Anya kembali tertawa getir sambil menepuk-nepuk punggung Momo yang kini minta digendong olehnya.
"Lo cuma stress ringan aja kan? Bukan yang sampe depresi kan?"
"Ya nggak lah!" Anya menangkis. "Gue cuma stress menghadapi hari bahagia gue yang tinggal menghitung hari. Lo tau sendiri kan gimana rasanya? Lo yang udah pernah ngerasain pasti tahu kenapa? Stress banget mikirinnya," ujar Anya berkilah panjang lebar.
Amor menatap Anya lekat-lekat masih merasa Anya tidak sepenuhnya jujur padanya. Tangannya lalu naik untuk membelai rambut Anya sambil berkata, "iya gue tau rasanya."
Tak lama kemudian, terdengar suara berisik yang sangat Anya kenal dari ruang depan. Suara yang lantas membuat jantung Anya mendadak bergeser turun ke perutnya.
Suara Artha!
"Sepadaaaa! Pada kemana sih orang-orang?!"
Amor menoleh ke asal suara dengan cepat sementara Anya masih menunduk sambil mendekap Momo yang masih aktif berusaha memanjat bahunya.
"Ngapain lo kemari, Tha? Udah abis makanannya," seru Amor pada Artha yang sosoknya kemudian muncul dan berjalan ke arahnya bersama Gita di sampingnya.
"Tenang, gue cuma mampir doang. Gue udah makan barusan sama…" Suara Artha berhenti setelah menyadari keberadaan Anya. "Gue udah makan bareng Gita," lanjutnya tepat saat Anya mengangkat wajahnya dan menatap persis ke arahnya yang sedang digamit oleh Gita yang tampak malu-malu.
"Ayo Git, kita pulang ajah sekarang," ujar Artha tiba-tiba.
"Kenapah A? Kita kan baru sampe?" jawab Gita polos.
"Aa mendadak ingat jemuran belum diangkat. Takut hujan," ujar Artha beralasan sambil menarik Gita secepatnya pergi dari ruangan itu. Membuat Amor terperangah kaget dengan tingkah Artha yang aneh, sementara Anya memilih diam. Menahan sesuatu yang sedang berkecamuk di dalam dirinya.