Tidak perlu menunggu hingga Lebaran untuk memperbaiki sebuah hubungan. Artha tahu pertemuan ini adalah moment yang pas untuknya berbaikan dengan Anya. Namun tidak berharap lebih Anya akan berubah pikiran. Kalau setelahnya mendadak Anya berubah pikiran, Artha bakal sujud syukur ke segala penjuru arah atau berlari keliling kampung Ciheulang pakai bakiak.
Dan setelah Anya resmi menjadi istri Pasha, Artha bertekad akan menjauh. Artha berjanji tidak akan merusuhi hidup Anya lagi, kecuali Anya yang memintanya.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian dan meninggalkan rasa gengsi jauh-jauh, Artha menghubungi Anya. Selain berniat mengembalikan gelang juga untuk mengucapkan perpisahan.
Perpisahan untuk apa? Mereka tidak pernah jadi sepasang kekasih. Selama ini mereka lebih sering terlihat seperti kucing dan tikus.
Apakah Artha akan pindah ke luar negeri karena patah hati akutnya? Seperti di drama-drama TV yang sering ia tonton di kala senggang dan bokek.
Tidak.
Melainkan karena Artha akan berpisah pada perasaan cintanya. Artha telah berhenti berharap walau sebenarnya pasti ada secuil harapan. Meski hanya 0,5 % harapan. Maka ia nekat menemui perempuan keras kepala itu. Menunggunya di rooftop gedung kantor Anya.
Sambil menunggu Anya datang di bawah langit senja dan berangin, Artha membaca lagi chat terakhir mereka dua jam yang lalu.
Artha: Kita bisa ketemu hari ini juga?
Anya: Buat apa lagi Tha?
Artha: Ada sesuatu yang penting mau gue kembalikan ke elo.
Anya: Apa itu?
Artha: Nanti lo tau. Ketemu di rooftop kantor lo pukul empat sore, ok.
Anya: Ngapain jumpa di sana?
Artha berhenti membaca. Ia tertawa geli. Pasti Anya mulai paranoid karena ia pernah menciumnya di rooftop.
Artha: Yang pasti gue nggak akan macam-macam ke elo. Gue masih puasa ngapain bohong.
Anya: Ya kali aja lo mau dorong gue dari atas gedung.
Artha: Naudzubillah Nyak. Dosa tau su'udzon ama gue.
Anya: Ok. Gue juga sekalian mau kasih lo undangan.
Jleb! Membaca isi chat Anya yang satu itu, hati Artha bagai ditusuk sesuatu yang tak kasat mata. Tapi ia tetap senang. Anya tidak pernah melupakannya. Masih mengingat namanya untuk diundang sebagai tamu undangan di resepsi pernikahannya.
Artha: Ok.
Pikiran Artha yang sedang melantur hingga ke Wakanda terusik dengan suara batuk buatan Anya. Artha menoleh ke asal suara.
"Hai," Anya melangkah menghampirinya. Bentuk tubuhnya tampak tercetak jelas dibalik setelan kerjanya yang diterpa angin. Wanita itu tampak semakin ramping sejak terakhir kali mereka bertemu. Anya tampak pula menenteng paper bag.
Artha tersenyum sambil menyimpan ponselnya di saku kemejanya. Anya akhirnya berdiri di depannya sambil tersenyum manis meski sebagian rambut panjangnya nyaris menutupi separuh wajahnya karena tertiup angin.
Anya datang terlambat empat puluh lima menit dari kesepakatan. Wanita itu dengan egonya membiarkan pria seperti Artha menunggu begitu lama. Sendirian diejek sekawanan burung yang berpasangan bertengger di segala sudut atap gedung.
Angin kencang yang meniup rambut kribo mengembangnya, membuatnya sedikit kesulitan untuk bersikap cool. Artha berkali-kali merapikan rambutnya yang kini lebih mirip segumpalan Dacron yang digunakan untuk menyumpal bagian dalam boneka.
Sementara Anya menertawakan usahanya yang tampak sia-sia. Namun ternyata Anya tidak sekedar menertawakannya. Anya tiba-tiba mengulurkan karet pengikat rambut pada Artha yang tampak putus asa menjaga rambutnya.
"Ikat gih. Gue takut lo nanti ikutan terbang," guraunya sambil tertawa geli.
Artha meraih karet pengikat rambut itu tanpa malu-malu dan langsung mengikat rambutnya ke atas seperti kemoceng. Mengingatkan Anya akan Artha di masa lalu. Artha yang pernah ia taksir di masa lalu. Yang tak pernah absen menggodanya dan selalu memberinya dukungan di setiap saat.
"Thank's," ucap Artha lirih.
"Begitu lebih baik," ujar Anya lalu bersandar pada dinding pembatas rooftop. Artha lalu ikut bersandar di sebelahnya. Kedua tangannya sengaja ia masukan di saku celana.
"Apa kabar Gita?" Anya tiba-tiba membuka obrolan dengan basa-basi tentang Gita.
"Gita? Uhm...dia baik," jawab Artha kalem.
"Cantik ya dia. Cocok sama elo."
"Masa sih?"
"Iya, gue liat kalian berdua cocok aja."
"Nggak keliatan kayak keponakan sama om?"
"Nggak sih. Lebih mirip kayak anak majikan sama sopirnya."
"Et daaah! Mulut lo masih nyinyir aja, Nyak." Artha tertawa menunduk menatap sepatunya sejenak.
"Tha..."
Artha kembali menatap sempurna wajah oval Anya yang tampak lebih tipis dari biasanya.
"Gue...minta maaf ya buat yang dulu-dulu," ucap Anya dengan nada sedih. Terdengar tulus kali ini. Tanpa nada judes apalagi permusuhan.
"Nggak ada yang perlu dimaafkan Nyak. Gue yang salah," Artha menyahut sambil menengadahkan wajahnya menatap langit sore.
"Gue yang salah karena terlambat bilang cinta ke elo," tambah Artha sambil tersenyum getir menatap Anya yang kini menatapnya dengan tatapan kehilangan.
"Tha...jangan dibahas lagi. Please..."
"Sorry...gue nggak bermaksud bikin lo nggak enak hati. Gue cuma pengen jujur saat ini. Gue menyesal kenapa selama kita bersama, gue kebanyakan bercanda dari pada serius. Hingga melewatkan elo," ujar Artha panjang lebar.
Anya diam sambil menengadahkan wajahnya ke atas untuk menahan airmatanya yang hampir terbit. Mengapa setiap kata-kata Artha selalu berhasil memancing air matanya.
"Ini buat lo." Anya menyodorkan undangan berwarna merah yang pernah Artha lihat dulu di rumah Amor. Benda yang dari tadi ia bawa di dalam paper bag-nya.
Artha tidak langsung menerima. Memperlihatkan wajah yang seolah berkata 'ough...you hurt me!'
Artha sengaja membiarkan tangan Anya menggantung bersama undangan sialan itu. Artha sudah pernah melihatnya saat di rumah Amor. Namun melihat Anya mengulurkannya padanya, sungguh terasa menyakitkan. Ingin rasanya Artha berteriak, untuk apa lo beri gue undangan?! Untuk dijadikan mouse pad? Atau tatakan gelas?
Nyatanya Artha hanya bisa menarik nafas panjang dan berusaha menabahkan hatinya. Menguatkan diri untuk menerima undangan itu.
"Gue nggak berharap lo datang ke Aceh. Lo datang aja di resepsi pernikahan gue di Jakarta," ujar Anya menegaskan. Rupanya Anya masih saja menyimpan kekhawatiran Artha tiba-tiba saja nekat terbang ke Aceh dan mengacaukan pernikahannya.
Artha tersenyum getir.
"Gue nggak akan datang ke Aceh. Tenang aja," jawab Artha akhirnya sambil tangannya menerima kartu undangan itu dan membolak-baliknya. "Sayang ongkosnya," tambahnya sambil terkekeh.
"Sialan lo!" Anya tiba-tiba meninju pelan lengan Artha. Lalu jemari tangannya naik menyentuh rambut kribo Artha yang telah diikat. Seolah-olah sedang menyentuh bola permen kapas. Artha diam menikmati sentuhan itu. Artha anggap sebagai bonus selain mendapat undangan.
"Potong gih!" kata Anya tiba-tiba sambil mendorong kepala Artha. Merusak moment syahdu yang tadi.
"Nanti gue akan gundul sekalian!" balas Artha sewot. Hanya pura-pura. Mana mungkin ia marah dengan Anya.
"Gue harus balik ke ruangan." Anya memberi tahu hendak kembali. Namun dengan cepat Artha mencekal tangannya.
"Tunggu!" Artha merogoh saku kanannya, sementara tangan kirinya begitu erat memegang pergelangan tangan Anya.
"Punya lo." Artha menunjukan gelang rantai emas berinisial C milik Anya.
Bola mata Anya sampai terbelalak lebar. Cukup senang menemukan gelangnya yang hilang.
"Lo temukan di mana?"
"Gita yang temukan di bawah kaki kursi. Waktu lo pergi karna cemburu," ujar Artha membuat bibir merah Anya mencebik.
"Balikin sini gelang gue!"
"Bilang apa dulu?"
"Makasih ya."
"Ugh...kurang tulus!"
Anya memutar bola mata besarnya.
"Makasih ya Raden Bagus Arthayaksa yang baik."
Artha tertawa kecil.
"Lumayan lah. Cukup merdu di telinga gue."
Anya mengulurkan tangannya yang bebas, menunggu Artha kembalikan gelangnya. Tapi Artha malah menggeleng, alih-alih melepaskan tangan Anya, Artha malah memakaikan gelang itu di pergelangan tangan Anya.
Anya sengaja membiarkannya. Memperhatikan posisi wajah Artha yang menunduk di depannya. Ada aroma harum segar namun tipis yang tercium dari rambut kribo kemocengnya.
Saat Artha mengangkat wajahnya dan menangkap basah Anya sedang mengamatinya, lelaki itu tersenyum dan balas menatapnya. Dengan jarak sedekat ini, Anya dan Artha seolah lebih leluasa saling menatap wajah satu sama lain.
"Ingat, kalo si Pasha Joni Iskandar itu sampai nyakitin lo...jangan ragu bilang ke gue. Biar nanti gue yang balas," ujar Artha kemudian tampak sangat serius dengan ucapannya. Ia tak gentar dengan Pasha apalagi dengan bodyguard-nya yang kekar mirip Thanos. Orang yang pernah melemparnya ke jalanan hingga nyaris mencium aspal.
"Masih aja lo nggak suka dia Tha...Pasha itu nggak seperti yang lo kira selama ini. Gue akan baik-baik saja," Anya mendesah kesal sambil menatap Artha dengan tatapan yang selalu bisa membuat Artha luluh.
Artha tersenyum getir sambil terus menatap manik mata Anya yang mulai gelisah dengan ulahnya. Andai ia tidak ingat dengan janjinya di chat terakhir, Anya akan ia cium detik ini juga.
"Selesai. Jangan sampai jatuh lagi." Artha selesai memasangkan gelang Anya namun tidak langsung dilepaskan. Digenggamnya jemari tangan Anya yang tak seperti biasanya menurut begitu saja tanpa perlawanan. Seolah Anya mengerti, ini terakhir kalinya buat ia dan Artha.
"Kembali sana ke ruangan lo," tak disangka Artha malah mengusirnya setelah cukup puas menatap tangan Anya dalam genggamannya. Melepaskannya perlahan, meski begitu berat baginya. Artha sadar Anya bukan miliknya.
"Kita nggak turun sama-sama?"
Artha tertawa. Geli mendengar Anya menyebut 'kita'.
Kita yang tidak akan pernah berakhir bersama di pelaminan.
"Lo aja. Gue nanti."
"Ok, gue duluan. Gue ingetin jangan lompat," ujar Anya bercanda dengan serius sebelum ia melangkah pergi.
"Nggak akan." Artha memaksa bibirnya tersenyum meski getir sambil mengangkat tangan memberi isyarat mengusir Anya.
Anya terpana sesaat sebelum akhirnya pergi berlalu bersama dengan senja. Meninggalkan Artha dengan semburat jingga menyelubungi sosok dan wajahnya yang tak kuasa menyembunyikan luka.
Artha lalu melihat ke bawah gedung melalui tembok beton keliling sebatas dadanya. Terasa mengerikan jika ia sampai nekat melompat ke bawah sana. Spesies ganteng seperti dirinya yang sangat langka bakalan musnah jika ia sampai nekat melakukannya.
Sebelum turun dari rooftop, ponselnya tiba-tiba berdenting. Chat dari Gita.
GitaKetawa: Lembur a'? Buka puasa bareng yuk!
Artha membalas dengan cepat.
Artha: Nggak. Ayok!
Dunia belum berakhir.