Esok harinya, hari jumat Artha sengaja ijin tidak masuk kantor. Selain untuk menyembunyikan pipi lebamnya yang bakal menarik perhatian bosnya, juga karena ingin mencuri start lebih dulu menemui Anya di rumah sakit.
Pukul delapan lewat tiga puluh menit, Artha sampai di pelataran parkir rumah sakit. Diliriknya buket bunga mawar merah dan putih untuk Anya yang ia letakan di jok sebelahnya. Sebenarnya Artha agak canggung membawanya. Ini kali pertamanya memberi Anya bunga, membuat jantungnya jadi berdebar-debar kencang tidak karuan. Berharap Anya akan menyukainya.
Pintu kamar Anya ia buka perlahan-lahan. Tampak Anya sedang duduk di tepi ranjang memunggunginya. Sedang menyisir rambut panjangnya yang bergelombang. Artha jadi teringat kibaran rambut indah itu pernah membuatnya terpana lalu akhirnya membuatnya hilang kendali dan jatuh dari motor. Artha ingat betul moment indah itu. Walau pun ia harus merasakan kesakitan setelahnya.
"Pagi, Anya," Artha menyapa sambil perlahan masuk dengan buket bunga yang ia sembunyikan di belakang punggungnya.
Anya menghentikan aktivitasnya, menoleh dengan wajah naturalya. Namun tetap cantik luar biasa menurut Artha, Meskipun jika ia menemukan jejak iler kering di sudut bibir Anya sekali pun.
Anya turun perlahan dari ranjang. Ia tidak lagi mengenakan piyama pink rumah sakit melainkan blouse biru tipis dengan celana kulot khaki sebetis. Tangannya juga sudah tidak diinfus lagi. Anya berjalan menghampiri Artha dan terus menatapnya dengan bola mata coklat bulat besarnya yang tajam.
Artha lalu memberikan buket bunga dari balik punggungnya. Anya sempat sedikit kaget dengan kejutannya dan menerimanya dengan suka cita. Menghirup dalam-dalam harum mawarnya lalu menampar pipi Artha. Tepat di atas bekas lebam semalam.
Artha shock. Tak percaya Anya menamparnya lagi.
"Itu untuk sikap arogan lo pada Pasha semalam!"
Artha menebak lelaki itu pasti telah menceritakan semuanya tentang ulahnya membuat keributan pada Anya.
Dasar lelaki pengadu!
"Gue punya alasan yang harus lo dengar, Nyak. Meski pun setelahnya lo akan membenci gue." Artha berusaha menjelaskan dengan nada putus asa.
"Pasha sudah cerita semuanya di telepon. Lagi-lagi penyebabnya Rahma." Anya mengembalikan kembali buket bunga pada Artha.
"Gue capek banget sama lo Tha..."
"...."
"Berapa kali gue harus bilang, kalo Rahma itu sedang memanfaatkan elo Tha...harus dengan cara apa lagi coba Tha?"
"...."
"Sekali pun lo nggak bisa mengerti, pliss hormati keputusan gue Tha. Gue tetap akan lanjutkan rencana gue dengan Pasha. Gue nggak peduli Rahma pernah jadi masa lalu Pasha. Gue sangat nggak peduli. Sekarang Pasha dan gue saling mencintai."
"...."
"Gue kecewa sama lo Tha. Pliss berhenti menghalangi atau..."
"Atau lo akan benci gue?" Artha menyambung.
"Iya." Anya mengangguk.
"Gue rela lo benci, Nyak. Asal lo tau niat gue tulus. Gue nggak bermaksud membuat lo sedih. Karna gue cinta sama elo Nyak."
Pengakuan itu terlontar begitu saja dari hati Artha yang putus asa. Sederhana namun efeknya luar biasa. Berhasil membuat setetes bulir air mata Anya jatuh meluncur di pipinya. Namun untuk bulir yang berikutnya langsung Anya hapus dengan punggung tangannya sebelum meluncur jatuh dan terlihat oleh Artha.
"It's too late, Tha. Gue tetap pilih Pasha. Gue yakin dia...." Wajah Anya menengadah ke atas. Menghela nafas panjang. "Gue yakin dia jodoh gue."
Sakit. Itu yang Artha rasakan di dada. Nyeri lebam di pipinya seolah berpindah ke dadanya. Ganti Artha mengangkat wajahnya ke atas menatap langit-langit kamar. Tepatnya untuk menahan tangis. Jangan sampai laki-laki terlihat cengeng di depan perempuan. Meski pun ingin menangis karena penolakan Anya.
"Kalo dia pilihan lo...gue bisa apa?" Artha meletakan buket bunga di atas meja. Bergabung dengan buket bunga Pasha yang kemarin.
"Gue pulang ya. Setengah jam lagi Pasha jemput kan?" Artha berbalik menuju pintu.
Namun Anya memanggilnya, "Tha."
"Ya?" Artha berbalik lagi.
"Tolong besok jangan muncul di Aceh," pinta Anya terdengar berlebihan. Namun karena ia tahu seperti apa Artha. Lelaki nekat yang sukar ditebak. Lelaki yang serba spontan dalam mengungkapkan apa saja. Seperti pernyataan cintanya tadi. Anya benar-benar tidak menyangka.
"Sure. As your wish." Artha tersenyum lemah sebelum pergi dengan langkah gontai disertai awan mendung menggantung di atas kepalanya. Waktunya telah usai. Artha tidak tahu lagi harus berbuat apa. Berpangku tangan membiarkan Anya dengan pilihannya atau terus berjuang? Yang jelas pilihannya saat ini hanya satu. Pulang ke Bandung untuk menghibur diri..
●○●
Sabtu dan minggu, Artha memilih pulang ke Bandung dan sengaja mematikan ponselnya untuk menghindari rengekan Rahma apalagi untuk mendengar berita-berita tentang lamaran Anya di Aceh. Acaranya pasti meriah. Pak Abdullah Saleh tidak mungkin tidak mengadakan acara lamaran yang megah untuk putri bungsu kesayangannya. Artha yakin itu.
Di rumah orang tuanya di Bandung, Artha merasa cukup tenang karena kediaman keluarganya memang benar-benar tenang. Hanya ada mamah dan papahnya. Kedua adik laki-lakinya sedang tidak ada di rumah. Bima sudah setahun bekerja di Jerman sedangkan Arya masih kuliah di Surabaya.
Ketika jumat malam ia pulang ke Bandung, papah mamahnya sempat shock melihatnya di depan pintu. Bukan karena tumben-tumbennya si sulung pulang namun karena acara papah mamahnya yang mau pacaran berdua di rumah jadi terganggu.
"Kamuh teh lagi sedih nya?" Mamahnya bertanya dengan dialek sunda di depan kolam empang. Siang itu Artha yang bertelanjang dada, jongkok di pinggir kolam sambil memegang kuat-kuat ikan lele besar dan licin di tangannya. Lele tangkapan hasil memancing di kolam papahnya, di belakang rumah.
"Kunaon Tha? Nggak mau curhat sama mamah?"
Artha mengangkat wajahnyanya menatap sang Mamah yang menatapnya.
"Ah...mamah sok tau pisan. Keliatan dari mana aku sedih." Artha tersenyum lebar berusaha menyembunyikan wajah galaunya.
"Mamah liatin dari tadi kamu teh ngalamun wae ngeliatin lele."
Artha melihat lele di tangannya yang mulutnya cuap-cuap tanpa suara seolah sedang menanyakan hal yang sama seperti mamahnya.
"Aku sebenernya lagi belajar bahasa lele mah." Artha berkilah lagi.
"Astagah! Kamu teh ada-ada saja." Kepala Mamahnya geleng-geleng geli hingga rol di poninya ikut goyang-goyang.
"Dari pada ngalamun nggak jelas, mendingan duduk-duduk di teras makan pisang goreng keju buatan Mamah. Ngapain panas-panas ginih mancing. Cidukin ajah pake gayung biar cepet," usul Mamahnya.
"Gayung? Emang kecebong mah." Artha menimpali geli sambil menaruh lele tangkapannya ke dalam ember dan membawanya menuju dapur. Artha berencana memasak lele bakar madu sore nanti.
Dari dapur, Artha bergabung dengan Mamahnya duduk di teras rumah sambil makan pisang goreng keju.
Iseng-iseng Artha melirik ponselnya di atas meja. Kebiasaan manusia jaman sekarang, ponsel sudah seperti anggota tubuh sendiri. Tidak terpisahkan dan berkali-kali dilihat meski pun dalam keadaan senyap. Sebelumnya Artha sudah bertekad tidak akan mengintip ponselnya dan menenangkan diri. Tapi malah nyatanya malah membuatnya semakin tidak tenang karena penasaran.
Tanpa ragu lagi dengan sebelah tangan yang menjepit pisang goreng, Artha menyalakan ponselnya yang telah tidur nyenyak dari kemarin. Jemarinya dengan lincah sleding sana-sini. Buka social media ini itu, cek apakah ada berita baru yang heboh. Bahkan Artha sempat mampir ke akun instagram Anya dan tidak menemukan apa-apa selain postingan foto terakhir beberapa minggu yang lalu.
Baguslah. Artha sedikit lega. Paling tidak hari ini ia tidak perlu melihat apa-apa di dunia maya. Lebih baik memandang sang Mamah yang makin lebar di usia 55 tahun sambil mengunyah pisang.
Tiba-tiba aktivitas mengunyah Artha terhenti. Ada pesan masuk dari sepupunya, Amor.
AmoriaMercedes: Lo kemaren nggak masuk kantor, sakit?
Mau mengetik balasan 'iya sakit' nanti malah merembet kemana-mana pertanyaannya. Artha mengetik balasan.
Artha: Nggak. Gue pulang ke Bandung.
AmoriaMercedes: Tumben anak durhaka pulang. Tante sama Oom sehat?
Gue yang sakit dodol! Ingin rasanya Artha mengatakannya.
Artha: Mereka semua sehat. Gue lagi bantuin panen lele. Mau?
AmoriaMercedes: Ogah. Gue geli sama lele. Btw, mau liat sesuatu nggak?
Amor sepupunya lalu mengirimkan foto lamaran Anya dan Pasha di Aceh. Tampak berbahagia. Terutama wajah pak Abdullah Saleh, yang paling lebar senyumnya. Namun tanpa Rahma di antara mereka.
Artha: Sungguh kejamnya dikau wahai sepupuku yang durjana!
AmoriaMercedes: Hahaha…maapin gue ya Tha. Sumpah gue salah kirim. Sebenarnya gue mau kirim fotonya si kembar yang lagi lomba makan belepotan. Ucul banget.
Artha: Alasan aja lo marmut!
Amor kembali mengirim gambar. Kali ini benar foto si kembar yang lagi lomba makan dengan mulut hingga pipi belepotan bubur.
Artha tersenyum menatap si kembar. Lumayan buat hiburan. Ketimbang menatap lama-lama foto lamaran Anya dan Pasha yang membuatnya perih.
Senyum Artha langsung pudar saat sebuah pesan singkat dari Rahma diterima ponselnya.
Sudah ditentukan. Dua bulan lagi habis lebaran mereka menikah. Aku ingin mati saja!
Artha langsung me-non aktifkan ponselnya tanpa membalasnya. Ia sudah muak dengan semuanya. Rahma, Anya dan Pasha.
"Tha..." Suara mamahnya mengalihkan perhatiannya.
"Ya mah?"
"Si Gita, anak temen mamah nu geulis ingat teu?"
"Yang pendek itu?"
"Menurut mamah sih nggak pendek-pendek amat. Mamah teh kemaren ketemu Gita di pasar. Sekarang meuni geulis pisan nya?* Rambutna panjang lurus sebahu. Baru lulus kuliah hukum ceunah."
"Emang kunaon mah?"
"Kamuh teu hoyong gaduh pendamping?*"
"Hoyong mamah..." jawabnya nelangsa. Teringat satu-satunya wanita yang ia inginkan menjadi istrinya akan segera menjadi istri orang.
Menatap wajah Artha yang tampak galau, membuat sang Mamah mengira putra sulungnya ini sepertinya ingin segera dinikahkan.
"Ya udah...nanti mamah minta nomor hapenya si Gita ke mamahnya."
"Terserah mamah aja lah." Artha merebahkan tubuhnya lalu memejamkan kedua matanya
.
Keterangan:*meuni geulis pisan nya? = cantik banget ya?
*...teu hoyong gaduh pendamping? = nggak ingin punya pendamping?