"Kak, udah adzan maghrib. Udah buka." Arini menunjukan suara Adzan maghrib dari ponselnya. Perhatian Anya yang dari tadi melihat keluar jendela terusik.
"Oh...ok. Ayo kita berbuka puasa." Anya mengambil sebutir kurma yang disediakan gratis oleh restoran tempat mereka berdua menunggu berbuka puasa.
Hari ini adalah ketiga kalinya Anya dan Arini buka puasa bersama. Tahun sebelumnya biasanya dengan Amor dan Artha. Tapi kali berbeda. Kali ini hanya ada Arini yang bisa menemaninya. Anak baru yang sebelumnya pernah Anya tidak sukai. Tapi sekarang mereka berdua menjadi lebih akrab seperti anak kembar.
Dulu Anya, Amor dan Artha kerap berbuka puasa bersama. Sejak menikah, Amor fokus dengan keluarga kecilnya sedangkan Artha...
Anya mendesah nafas panjang. Ia dan Artha belum berbaikan. Sejak lelaki itu menyatakan cintanya dan ia malah memilih menerima lamaran resmi Pasha.
Tanpa sengaja ia melihat brokoli man itu lewat di depan restoran dengan seorang gadis.
Baru sebulan setelah Anya mematahkan hati Artha. Kini ia melihat Artha berjalan beriringan sangat dekat dengan seorang gadis belia yang belum pernah Anya lihat sebelumnya. Beriringan sangat dekat, seolah mereka lebih dari sekedar teman.
Anya lalu menatap Arini yang sedang menikmati makananya dengan tatapan heran. Bagaimana dengan Arini. Bukankah keduanya juga dekat? Anya tiba-tiba menggeleng kepalanya. Anya baru sadar sesuatu. Selama ini mendekati Arini hanyalah akal-akalan Artha. Yang diincar mutant brokoli itu sebenarnya adalah dirinya.
Dasar buaya! Mengapa lelaki itu begitu mudah berpindah hati dalam hitungan minggu? Terutama Artha. Rasanya baru kemarin lelaki itu menyatakan cinta, meski pada akhirnya Anya menolaknya.Mendadak Anya jadi menyesal sempat menangis tanpa sebab selepas Artha menyatakan cinta lalu pergi.
Ada tiga alasan yang coba Anya jabarkan dalam benaknya. Mengapa lelaki yang patah hati atau putus cinta sangat mudah menemukan perempuan baru? Pertama, karena ingin sesegera mungkin mencari hati yang baru agar segera move on. Kedua, hampir sama dengan yang pertama, hanya untuk pelarian tapi belum move on. Sekedar kamuflase agar tampak tidak menderita. Ketiga, karena sedang menaikkan harga dirinya, bahwa lelaki itu tetap terlihat laris manis meski ditolak oleh satu wanita. Dan keempat, mencoba membuat cemburu perempuan yang menolak.
Jadi, Artha tipekal lelaki yang mana?Menurut analisa Anya, Artha mencakup semua point.
Namun ada sedikit kebanggaan dalam hati Anya sebenarnya jika Artha hanya sedang membuatnya cemburu. Kenyataannya hal sekecil itu tidak akan membuat Anya terusik. Sekarang ia sedang sibuk-sibuknya mempersiapan segala persiapan untuk pernikahannya setelah perayaan Idul Fitri bulan depan.
Rencana pernikahannya akan digelar dua minggu setelah lebaran di kota kelahirannya, Lhokseumawe. Setelahnya Anya juga berniat mengadakan resepsi di Jakarta, mengundang kerabat dan teman-teman kantornya. Tanpa terkecuali Artha. Meski Anya tidak yakin Artha akan datang menghadirinya atau tidak.
"Kak Artha!" Arini tiba-tiba berdiri sambil melambaikan tangannya. Sementara Anya sibuk mengelap tumpahan juice di roknya. Gara-gara kaget dengan ulah Arini.
Anya menggeleng kesal. Bertemu Artha langsung merusak mood-nya ditambah noda juice pada roknya. Kenapa juga Artha harus muncul di sini. Tidak cukup kah Anya melihatnya di luar jendela resto saja?
"Nggak apa-apa kan kak, kalo kak Artha gabung sama kita?" Arini meringis geli melihat Anya yang cemberut sambil membersihkan tumpahan juice di roknya.
"Kak Artha sama siapa?" sapa Arini riang saat Artha mendekat. Gadis di samping Artha tampak tersenyum malu-malu.
"Oh kenalkan ini Gita," tanpa basa-basi Artha memperkenalkan gadis manis di sampingnya.
Arini langsung menyambut uluran tangan Gita yang malu-malu. Menyusul Anya yang seperti biasa acuh tak acuh.
"Ciyee..." Siku Arini menyodok lengan Artha. Meledeknya, "akhirnya kak Artha punya pacar."
Artha meringis menanggapi ledekan Arini. Matanya lalu beralih menatap Anya yang tampak canggung di kursinya.
"Hai," Artha menyapa sambil memilih tempat duduk di depan Anya yang tampak canggung. Setelah hari itu di rumah sakit, mana bisa Anya bersikap biasa lagi? Meski kini telah resmi menjadi tunangan Pasha.
"Hai," Anya menyahut pelan sambil menyesap juice-nya yang masih tersisa.
"Gue sama Gita boleh gabung di sini? Kita nggak kebagian meja nih," pinta Artha.
"Boleh dong kak." Arini mempersilahkan dengan riang mengabaikan ekspresi Anya yang seolah ingin memukul pantat Arini saat itu juga.
Anya menghela nafas dalam-dalam. Ingin marah tapi bukan salah Arini juga. Arini hanya sedang bersikap sangat ramah seperti biasa.
Sambil menunggu pesanan Artha dan Gita datang, Arini mengobrol akrab dengan Gita. Dari situ Anya mengetahui bahwa Gita baru lulus kuliah dan langsung mendapat pekerjaan di Jakarta. Gita ternyata anak teman Mamahnya Artha dan ternyata bukan kekasih Artha. Kenyataan yang lantas membuat Anya sedikit merasa lega. Aneh, tapi itu yang Anya rasakan diam-diam. Ternyata Artha hanya sedang membantu menjaga gadis itu selama di Jakarta.
Saat tatapnya beradu dengan mata Artha, lelaki itu tersenyum tulus tanpa dendam. Sebulan tidak bertemu, rambut Artha dibiarkan tumbuh mengembang subur namun kurang terurus seperti habis ditaburi pupuk. Anya jadi gemas ingin menjambaknya dengan satu tangannya lalu mengikatnya menjadi seperti kemoceng.
Anya kembali menghela nafas panjang. Duduk berhadap-hadapan dengan Artha membuatnya boros penggunaan oksigen.
"Ngomong-omong....selamat ya." Artha tiba-tiba mengucapkannya meski terdengar canggung.
"Untuk?" Anya berpura-pura.
"Acara lamarannya."
"Seharusnya nggak perlu." Anya menarik paksa bibirnya untuk tersenyum. Entah kenapa ia tidak senang Artha mengucapkan selamat padanya.
"Eh...iya gue lupa. Baru lamaran belum nikahan. Masih bisa mendadak batal kapan aja ka?," tambah Artha tiba-tiba sambil tertawa namun cukup menohok. Meski ia hanya bermaksud bercanda.
Anya menegang. Di bawah meja ia meremas-remas tissue untuk melampiaskan kekesalannya.
"Iih...kak Artha kok malah doain yang jelek sih?" Arini menimpali.
"Nggak gitu." Artha nyengir lebar. "Cuma jadi ingat kasusnya Amoy aja." Artha membela diri sambil mencomot kurma di meja, memakannya dengan cepat.
"Betul," Anya membalasnya sambil tersenyum namun dalam hati ia mengeluarkan sumpah serapahnya untuk Artha.
"Kak Amoy siapa kak?" Arini jelas belum mengenal sepupu Artha yang juga sahabat Anya.
"Kak Amoy itu yang posisinya kamu gantikan sekarang dek," Anya menjawab.
"Tapi pada akhirnya menikah kah?" tanya Arini lagi.
"Iya, tapi dengan orang lain. Bukan dengan tunangannya yang pertama," sahut Artha.
"Ooh...perkara jodoh emang susah ditebak ya kak." Arini tertawa geli. Anya makin kuat meremas tissue di bawah meja hingga hancur. Artha tersenyum menatap Anya yang kini wajahnya tampak kaku seperti kanebo kering.
Anya lalu membalasnya dengan tatapan yang seolah berkata, 'rese lo!'
"Aah...makanannya udah datang." Artha sumringah pelayan datang meletakan pesanannya dan Gita.
"Ayo neng dimakan." Artha mengangkat sendok garpunya mengajak Gita makan dengan tatapan yang dibuat-buat seperti mesra. Gita hanya mengangguk malu-malu.
Bahkan saat bibir Gita belepotan, Artha begitu over acting mengusap bibir gadis itu dengan tissue. Lalu keduanya ngobrol dengan bahasa sunda yang sama sekali Anya dan Arini tidak mengerti. Anya yakin Artha hanya berpura-pura sok mesra dengan Gita hanya untuk membuatnya cemburu.
Anya tersenyum tipis melihat tingkah Artha. Percuma saja, ia tidak akan terusik.
Anya membersihkan sudut bibirnya dengan tissue. Ia menyudahi acara makannya.
"Yok dek, kita udahan," katanya cepat.
"Lho, kok buru-buru?" Artha tampak terusik dengan Anya yang tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Kami mau sholat maghrib, kak," Arini menimpali.
"Kami duluan ya. Gita senang kenalan sama kamu." Anya menyalami Gita sekali lagi sebelum pergi. Namun sempat melayangkan tatapan kesal pada Artha.
"Sama-sama teh." Gita tersenyum manis.
"Sampai ketemu lagi." Artha menambahi, dengan sengaja tangannya memegang tangan Gita di atas meja. Tampaknya Artha masih ingin menunjukan pada Anya. Seolah ia telah melupakan tragedi penolakan itu.
"Maaf ya Git." Artha melepaskan tangannya setelah Anya dan Arini pergi.
Sementara gadis itu tampak malu-malu sambil mengangguk.
Artha kembali melahap makanannya, namun pikiran tentang Anya masih mengganggunya.
Waktu pulang ke Bandung, Artha menyetujui usulan Mamahnya berkenalan dengan Gita. Lagi pula Gita manis dan menyenangkan. Lumayan dijadikan pengalihan dari rasa sakit hati. Namun orangtua Gita rupanya sedikit memanfaatkan Artha karena Gita butuh sosok yang akan menjaganya selama di Jakarta.
Jadi selama dua minggu ini, Artha semakin dekat dengan Gita dan sering mengantar jemput Gita di kos-kosannya. Mereka berdua jugaa jadi lebih sering keluar makan bersama. Sejauh ini Artha cukup nyaman dengan hubungan tanpa status dengan Gita. Hingga bertemu Anya lagi, ketenangan hatinya kembali terusik.
Selama sebulan sengaja menghindari bertemu Anya membuatnya kerap diserang rindu. Meski Anya begitu keras kepala tidak mau mendengarkan pendapatnya sekaligus telah menolaknya dengan kejam. Penolakan yang membuat Artha nyaris kehilangan kepercayaan diri, menyendiri dan memilih mengomel dengan lele di empang ayahnya. Lelenya saat itu entah kenapa jadi mirip Anya.
Terus terang Artha sedikit terhibur saat melihat Anya tampak gelisah dengan adanya Gita. Namun tetap saja Artha tidak merasa lebih baik.
"A' ini punya siapa ya? Punya teh Anya atau teh Arini?" Gita menunjukan sebuah benda yang ia pungut di dekat kaki kursi. Sebuah gelang rantai emas dengan liontin inisial C.
Artha meraihnya. Tersenyum. Artha tahu siapa pemiliknya.