Chereads / LoveSick / Chapter 23 - Kekacauan Kecil Di Tengah Malam

Chapter 23 - Kekacauan Kecil Di Tengah Malam

Artha memilih pulang ke rumahnya. Setelah sempat melihat adegan sinetron di rumah sakit. Adegan Anya yang manja-manjaan dengan Pasha yang datang dengan buket besar bunga mawar putih. Mengalahkan satu cup teh panas yang ia beli untuk Anya.

Artha langsung melemparkan tubuhnya ke sofa, menyalakan televisi dan malah menemukan acara yang membuatnya galau. Program televisi tentang Karma yang dipandu oleh seorang paranormal dan presenter ganteng.

Program televisi yang semakin membuatnya galau? Artha jadi merasa apakah ia sedang kena karma? Ia hanya dua kali pernah mempermainkan hati perempuan. Itu pun dulu saat ia remaja yang sedang labil-labilnya. Artha mencoba mengingat-ingat dosa masa lalu apalagi yang menyebabkan ia sulit mendapatkan wanita yang ia cintai. Padahal biasanya ia begitu mudah menaklukan hati wanita.

Apakah ini karma akibat menolak Euis, mojang geulis pilihan mamahnya? Tiga tahun yang lalu, mamahnya pernah menjodohkannya dengan Euis, anak gadis tetangga mereka di Bandung. Namun Artha menolaknya mentah-mentah, padahal Euis terang-terangan naksir Artha juga.

Kata mamahnya, Euis patah hati lalu memilih kembali menjadi TKW di Dubai tiga bulan kemudian setelah Artha menolaknya.

Apakah ini Karma? Membuatnya ditolak berkali-kali oleh Anya.

Apalagi yang harus ia lakukan agar Anya batal bertunangan apalagi sampai menikah. Menculik Pasha? Memasukkan lelaki sok keren itu ke dalam peti kemas dan mengirimnya ke Wakanda dengan kapal laut?

Alasan bahwa Pasha adalah mantan kekasih ibu tirinya tidak cukup kuat untuk membuat Anya mengurungkan niatnya. Anya justru makin bersemangat meneruskan niatnya. Entah kenapa Artha merasa lima puluh persen dari niat Anya yang sebenarnya hanyalah untuk membalas Rahma. Mengingat rekam jejak keduanya yang penuh dengan persaingan dalam percintaan dan tikung menikung.

Dan dari persiteruan dua wanita ini yang menjadi korban adalah Artha.

Artha semakin tertekan lahir batin belakangan ini. Yang satu susah digoyahkan pendiriannya yang satunya lagi terus memaksanya untuk mengabulkan permohonannya. Seperti sekarang ini. Di saat otaknya lagi buntu, hatinya lagi panas dan membuatnya sedikit meriang, ponselnya memanggil.

Nama Rahma muncul di layar ponselnya.

Aah...dia lagi.

Artha agak malas menjawabnya. Mengingat setiap perempuan itu meneleponnya hanya untuk memohon dan membuatnya gusar.

Artha memilih mengabaikan. Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar mandi.

Tiga puluh menit kemudian, setelah ia mandi sengaja agak lama, buang air besar sambil melamun lalu mencukur bulu-bulu halus di rahangnya. Setelahnya Artha ke dapur untuk membuat mie instan.

Sambil melahap mie instan rebusnya, Artha kembali mengecek ponselnya. Ada tujuh kali panggilan tak terjawab yang sama dari Rahma dan sebuah pesan. Artha membuka pesan itu.

Pasha mempercepat lamarannya besok lusa. Tolong saya mas Artha!

Artha akhirnya menelepon balik Rahma. Tanpa menunggu lama, Rahma langsung menjawabnya.

"Assalamualaikum. Hallo mas Artha..." suara Rahma terdengar setengah berbisik.

"Waalaikumsalam."

"Mas Artha sudah baca SMS saya?"

Artha menarik nafas panjang. Jujur ia sedikit lemas setelah menerima kabar itu.

"Harus gimana lagi kak...Saya bukan jin timur tengah...Maaf kalo kali ini tidak bisa membantu permintaan kak Rahma."

"Minta tolong sekali lagi mas Artha...saya memohon seperti ini bukan karena saya cemburu Cut dengan Pasha. Tapi karena inilah yang harus saya lakukan." Rahma terus mendesaknya seperti biasa.

"Kak, alasan kakak itu nggak cukup kuat. Ada alasan yang lebih kuat dari pada sekedar Pasha adalah mantan pacar kakak? Misalnya Pasha itu ternyata gembong narkoba, anggota mafia, psikopat, tukang tipu atau apalah. Biar pengorbanan saya kena tampar kena cakar nggak sia-sia begini..."

Rahma terdiam. Artha yakin perempuan itu pasti tersinggung dengan kata-katanya. Artha menunggu Rahma berbicara lagi sambil melahap mienya.

"Mmm...Kalau alasannya karna Pasha memanfaatkan pertunangan itu untuk merusak rumah tangga saya bagaimana?"

Artha nyaris tersedak mendengarnya.

"Serius?"

"Pasha mengancam saya dengan mempercepat acara melamar Cut. Dan saya yakin pernikahan mereka pun tidak akan menunggu lama juga jika saya tetap dengan pendirian saya. Bertahan dengan ayah Cut..."

"Tunggu...apa maksudnya dengan kakak akan bertahan terus dengan ayah Cut? Jangan bilang bahwa acara lamaran besok lusa itu adalah akal bulus Pasha untuk mengancam agar kak Rahma kembali padanya?"

"Iya." Suara Rahma terdengar lemah.

"Kenapa kak Rahma nggak mencoba lagi menghubungi Anya secara langsung? Jelaskan semuanya."

Terdengar hela nafas putus asa Rahma.

"Mas, apa dia masih mau dengerin apa kata saya? Saya sudah diblokir baik lewat telepon mau pun social media."

"Kak Rahma punya bukti kuat untuk ucapan kakak? Seperti rekaman atau sejenisnya?"

○●○

Seperti orang gila. Itu lah yang Artha alami sekarang. Pukul sebelas malam nekat ke rumah sakit untuk menemui Anya yang sengaja tidak mau mengangkat teleponnya yang belasan kali.

Tapi security rumah sakit yang kelewat berpikir sehat, menghadangnya di pintu masuk.

"Pak, pliss ijinkan saya masuk..."

"Maaf pak, ini sudah larut malam dan di luar jam besuk. Bapak silahkan kemari besok pagi saja."

"Dooh...pak! Masalahnya ini urgent pak. Ada kepentingan mendesak. Menyangkut masa depan paaak. Saya harus bertemu dengan salah satu pasien di dalam sekarang juga!"

"Anda kok ngeyel? Peraturan rumah sakit tetap tidak boleh dilanggar," tegas security berkumis tebal itu. Sebal dengan Artha yang memaksa masuk.

"Pak tolong laaah!" Artha makin memaksa dengan merangsek masuk bahkan kepalanya nekat menyeruduk perut si security.

Membuat security akhirnya mendadak mundur. Menatap Artha dengan tatapan curiga. Memindai tubuh Artha dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Anda mencurigakan sekali. Ngotot membesuk di jam tidak wajar begini. Jangan-jangan anda teroris!" Sambil mundur beberapa langkah lagi dan menodongkan pentungan hitamnya ke arah Artha.

Duh gusti...

Berita tentang teroris yang marak beberapa hari ini, membuat banyak orang menjadi paranoid. Tanpa terkecuali bapak security ini. Masa iya lelaki tampan rupawan seperti Artha tampak seperti teroris? Bahkan terduga teroris yang tertangkap beberapa hari yang lalu yang menurut berita dikenal tampan pun masih kalah tampan dengan Artha.

"Saya bukan teroris pak. Sumpaaah demi Allah Yang Maha Esa!"

"Jangan maju. Buka jaket anda. Siapa tahu anda bawa bom pinggang!"

Artha mendesah kesal lalu mengalah membuka reseleting jaket hoodie-nya. Menanggalkannya ke lantai.

Seolah masih belum puas. Security kembali meminta, "angkat kaosnya!"

Artha lalu mengangkat ujung bawah t'shirt-nya. Memperlihatkan perut, pinggang dan sebagian dadanya. Tidak ada apa-apa sudah pasti.

"Mau lihat isi celana saya juga?!" tantang Artha lagi dengan jengkel, bersiap membuka reseleting celana jeansnya.

"Tidak perlu! Saya mau lihat isi kantongnya saja. Keluarkan semua!"

Artha menarik keluar dompet di saku belakang, kunci mobil di saku depan kanan, kertas parkir dan beberapa uang recehan di saku kiri. Artha memperlihatkan semua pada security.

"Sekarang apa lagi pak?"

"Sekarang lompat-lompat!"

Huffft....

Artha seolah kembali ke masa lalu saat ia masih menjadi mahasiswa baru yang sedang diospek senior. Artha melompat beberapa kali hingga security percaya ia tidak menyembunyikan apa-apa.

"Cukup! Saya minta maaf. Saya keliru. Silahkan anda pulang dan kembali besok."

Aaarrgghhhh!

"Pliss paaak...." Artha tetap memohon sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. "Kalo bapak nggak percaya, bapak boleh antar saya sampai ke kamar pasien."

"Sekali lagi maaf. Silahkan datang besok pagi," jawab security sambil tersenyum lebar.

Artha akhirnya mundur dan menyerah. Kalau tahu sesulit ini menemui Anya, Artha jadi menyesal karena telah membawa Anya ke rumah sakit swasta paling terkenal elit dan ketat bukannya ke puskesmas saja.

Artha melangkah gontai sambil menatap layar ponselnya. Artha mencoba menelepon Anya lagi. Kali ini diangkat meski cukup lama menunggu.

"Hallo, Nyak."

"Lo tau udah jam berapa ini?" Suara Anya terdengar gusar.

"Dua belas. Sorry..."

"So? Ada yang penting sampai lo ganggu gue? Pasien yang lagi butuh banget waktu istirahat buat recovery."

Artha tidak langsung menjawab. Menimbang-nimbang apakah ia harus menceritakannya sekarang atau menunggu besok? Kalau cerita sekarang juga, Artha mendadak tidak tega mengingat Anya sedang masa pemulihan.

"Mmm...sebenarnya ada hal penting yang mau gue sampaikan ke elo. Tapi besok saja gue datang lagi."

"Nggak perlu, Tha. Kata dokter, besok gue boleh pulang."

"Ok, besok gue yang jemput lo."

Terdengar Anya tertawa.

"Nggak usah, Tha. Besok jam sepuluh Pasha yang jemput gue. Anyway...makasih banyak ya sebelumnya."

Anya menutup teleponnya.

Donkey Shit!

Artha menjambak-jambak gemas rambutnya sendiri. Rambut yang mulai memanjang dan mengembang lebih besar dari pada sebelumnya.