"Kerja, kerjaaaa!" Pak Ranu tiba-tiba lewat sambil menepuk kepala Bhiru dengan gulungan kertas, memotong sorot mata Bhiru sekaligus menyindir karena Bhiru dan Kumala tampak tak melakukan apa-apa selain bengong menatap Jenar.
Bhiru mendengus kesal sambil mengusap kepalanya. Mengingatkan akan dirinya pada situasi canggung dua minggu yang lalu. Ketika ia dan Langit tak sengaja bertemu pak Ranu dan calon istrinya saat melihat-lihat gedung.
"Kamu mau dengar nggak cerita soal pak Ranu, Kum?" ujar Bhiru kemudian membuat Kumala menatap Bhiru dengan penuh rasa ingin tahu.
"Soal apa?"
"Pak Ranu sebentar lagi mau menikah, lho!" Bhiru memelankan suaranya agar tidak ada selain mereka berdua yang mendengar.
Kedua bola mata Kumala spontan melebar.
"Kamu tahu dari mana?" Kumala seolah tak mau percaya dengan apa yang didengarnya dari mulut Bhiru.
Pak Ranu mau menikah? Siapa wanita malang yang tidak beruntung itu?
"Dua minggu lalu, aku nggak sengaja bertemu pak Ranu bersama calon istrinya saat aku dan Langit lagi sedang melihat-lihat gedung untuk resepsi."
Mendengar cerita Bhiru, wajah Kumala tiba-tiba murung.
"Kum...Kum...kenapa muka kamu jadi suram begitu?" Bhiru menatap dua titik airmata yang tia-tiba terbit di kedua pelupuk mata indah Kumala. "Jangan bilang kamu patah hati karena pak Ranu akhirnya akan menikah?"
Kumala mengusap pelupuk matanya sambil tersenyum dan berkata, "iya nih, aku jadi patah hati."
"Jangan sedih begitu Kum. Pak Ranu itu nggak layak ditangisi. Biarkan saja dia menikah. Siapa tahu setelah menikah dia jadi jinak nggak seperti sekarang mirip Voldemort."
Seolah mendengar Bhiru menyebutnya 'Voldemort' si tokoh super jahat dalam novel Harry Potter, pak Ranu melambaikan tangannya ke arah Bhiru dari balik dinding kaca ruangannya. Memanggil Bhiru dan membuat Bhiru gelagapan.
"Jangan bilang kalau pak Ranu punya indera ke enam. Mati aku kalau dia sampai tahu aku katai mirip Voldemort." Bhiru menyambar notesnya sebelum menuju 'aquarium' tempat pak Ranu yang wajahnya jutek mirip ikan fugu.
"Kamu nanti sore ada waktu?" tanya pak Ranu membuat Bhiru berhenti menulis dan mengangkat kepalanya untuk menatap pak Ranu. Atasannya yang terkenal arogan dan konon tahun ini berusia 36 tahun. Usia yang sangat matang bagi pria yang belum juga menikah.
Tapi akhirnya atasannya itu akan menikah juga. Akan menikahi model cantik jelita pula! Bhiru sungguh menyayangkan keberuntungan pak Ranu soal ini. Bahkan mereka akan menggelar resepsi pernikahan di gedung yang juga Bhiru idam-idamkan. Tapi Bhiru sepertinya harus merelakan gedung impiannya karena biaya sewa yang terlalu mahal dan Langit tidak menyetujuinya.
Asalkan ada uang pasti masalahnya tidak akan seperti ini. Bhiru menghela nafas samar mengingat salah satu mimpinya yang sepertinya tak akan terwujud.
"Bapak mau minta saya lembur?" Bhiru balik bertanya pada pak Ranu yang duduk bersandar di kursi besarnya. Menatap Bhiru dengan bola matanya yang memang tajam seperti mata elang. Apalagi ditambah berewok dan kumis yang membuatnya semakin sangar di mata Bhiru.
Ngomong-omong Bhiru sebenarnya sedikit penasaran dengan wajah pak Ranu jika tanpa dihiasi berewok tebal. Berewokan saja sudah terlihat ganteng apalagi tanpa berewok?
"Bukan."
"Lantas? Saya lagi nggak punya banyak waktu pak. Saya juga sedang sibuk mempersiapkan pernikahan saya, lho..." Bhiru berlagak jual mahal sambil ujung sebelah sepatunya mengetuk-ketuk lantai dengan tidak sabar.
Pak Ranu tertawa sinis mendengar alasan Bhiru.
"Mau uang tambahan?" tawar pak Ranu lagi tiba-tiba makin aneh bagi Bhiru namun seolah mencerahkan isi otak Bhiru yang sedikit suram sejak dua minggu lalu.
"Mau banget!" sahut Bhiru sontak semangat. Belakangan ini Bhiru memang sedang memikirkan bagaimana dan dari mana ia memperoleh uang tambahan untuk sewa gedung impiannya misalnya...
"Ya sudah. Nanti sore kamu ikut ke rumah saya."
Mendengar pak Ranu memintanya, Bhiru nyaris memekik kaget namun ia tahan dengan menutup bibirnya dengan kedua telapak tangannya.
"Bapak mau saya ngapain?" Pikiran Bhiru tiba-tiba membayangkan hal-hal yang liar bersama pak Ranu. Meski sebenarnya tidak akan mungkin terjadi. Si ikan fugu itu sepertinya tidak akan bertindak semesum itu padanya.
Melihat ekspresi terkejut Bhiru, pak Ranu melanjutkan ucapannya, "jadi guru les keponakan saya." Membuat nafas Bhiru yang tadi tertahan akhirnya kembali lega.
"Saya tahu bahasa Jepang kamu lumayan bagus. Makanya saya menawarkan pekerjaan ini. Soal honor kamu nggak akan menyesal. Saya tahu kamu lagi cari tambahan buat biaya pernikahan. Makanya saya nggak nawarin ke orang lain."
"Serius pak?!" Bhiru tidak menyangka pak Ranu yang ia sebut kejam dan jahat seperti Voldemort akan sebaik ini padanya. Bhiru tiba-tiba menyesal telah menyebut pak Ranu, Voldemort.
"Apa muka saya kelihatan sedang bercanda?" Pak Ranu mengunci tatap mata Bhiru dengan tatapan tajamnya. Tatapan yang entah mengapa membuat sesuatu berdesir aneh di dalam dada Bhiru.
Jujur, Bhiru mulai merasa pak Ranu itu sangat berbakat jadi penakluk wanita, andai sikapnya tak sedingin itu pada setiap wanita. Pak Ranu itu terlalu ganteng, tinggi menjulang seperti galah dan lihai dalam berbisnis. Tapi minusnya lelaki itu jarang tersenyum, keras dan otoriter.
Siapa pun yang menjadi pasangan hidupnya harus siap mental lahir batin! Dalam diam, Bhiru bersyukur memiliki calon pasangan hidup seperti Langit.
"Saya mau pak!" jawab Bhiru semangat hingga sempat membuat pak Ranu terkejut dengan suara lantang Bhiru.
"Pukul delapan malam nanti, saya tunggu di rumah keponakan saya. Jangan terlambat. Ini alamat rumahnya." Pak Ranu menulis alamat di notesnya, menyobek kertasnya lalu mengulurkannya pada Bhiru yang berdiri kurang lebih dua meter di hadapannya.
Bhiru membaca alamat yang diberikan oleh Pak Ranu, sesuai dugaannya rumah itu berada di sebuah perumahan elit.
"Tunggu apa lagi?" suara tegas Pak Ranu mengingatkan Bhiru bahwa ia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.
"Ba-baik, Pak!" Bhiru bergegas keluar dari ruangan.
Tapi sebelum menutup pintunya, kepalanya melongok lagi ke dalam sambil berkata, "maaf, pak?"
"Ya?" Pak Ranu menyahut tanpa melihat ke arah Bhiru.
"Terimakasih sudah memberi pekerjaan sampingan ini," ucap Bhiru sebelum menarik kepalanya dan menutup pintu.
Ranu mengangkat wajahnya setelah pintu ruangannya ditutup. Menatap dengan serius Bhiru yang berlari kegirangan dari balik dinding kaca.