Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 7 - Bertemu Calon Murid ( 1 )

Chapter 7 - Bertemu Calon Murid ( 1 )

Bhiru keluar dari ruangan atasannya dengan ekspresi lega dan berseri-seri. Menarik rasa penasaran Kumala yang sedari tadi menunggunya.

"Kenapa kamu sekarang malah kelihatan senang, Bhi?" Kumala bertanya dengan keheranan. "Kamu habis diapain sama Pak Ranu?"

"Tahu nggak Kum?" Bhiru tersenyum sambil duduk di kubikelnya. "Tadi pak Ranu minta aku agar jadi guru les bahasa Jepang keponakannya," lanjut Bhiru dengan binar gembira di kedua bola matanya.

"Serius?!" Kumala menutup mulutnya yang terperangah tak percaya dengan kedua tangannya. Tidak menyangka pak Ranu akan memberi pekerjaan itu pada Bhiru yang notabene stafnya yang paling bandel dan sering membuat pak Ranu kesal. "Kok bisa sih, Bhi?"

"Aku kira tadinya pak Ranu itu bercanda, Kum. Tapi ternyata beneran." Bhiru menjelaskan dan suaranya yang bersemangat itu terdengar hingga ke kubikel Jenar.

Membuat bola mata Jenar melotot lebar karena kaget mendengarnya.

"Kok bisa?!" Jenar berseru jengkel ke arah Bhiru.

"Bisa dong!" sahut Bhiru tenang, malah sengaja memancing reaksi jengkel Jenar.

"Kemampuan bahasa Jepang kamu jauh di bawahku, Bhi. Tapi bisa-bisa malah kamu yang ditawarin?" Jenar menimpali sambil berdiri berkacak pinggang. Tetapi ekspresi kesalnya bukannya membuat Bhiru gentar tapi malah membuatnya semakin gemas.

"Ya mana aku tahu, Jenaaar! Pak Ranu yang minta aku! Kalau kamu nggak percaya, sana tanya sendiri ke pak Ranu." Bhiru balik menimpali kali ini sambil terkekeh geli karena reaksi Jenar yang kekanak-kanakan. "Aku anggap saja ini rezeki calon pengantin," ujar Bhiru sengaja menggoda Jenar yang kini cemberut di kubikelnya.

Dalam satu divisi exim, Bhiru dan Jenar lah yang paling mahir berbahasa Jepang karena keduanya sama-sama lulusan Sastra Jepang dan menjadi penyambung lidah antara kantor cabang Indonesia dengan kantor pusat di Nagoya, Jepang.

"Gomen ne Jenaru-chan, shikata ga nai yo*," Bhiru mengedipkan sebelah matanya sebelum melanjutkan pekerjaannya. Memeriksa beberapa surel yang masuk dari kantor cabang Bangkok dan Nagoya untuk pak Ranu.

Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, Bhiru keluar dari kantornya hendak menuju ke alamat rumah yang telah diberikan pak Ranu padanya. Dan ia melihat pak Ranu berjalan menuju parkir mobilnya tanpa memperdulikan Bhiru yang berdiri di depan kantor dan sedang memesan taksi online.

"Aku kan mau ke rumah keponakannya. Kenapa nggak nawarin tebengan sih?" Bhiru bersungut-sungut sambil menatap layar gawainya. Menunggu taksi online yang telah dipesannya datang.

Belum sampai lima menit, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Bhiru mengangkat wajahnya dengan sumringah, taksi online pesanannya datang sangat cepat tidak sesuai perkiraan di aplikasi pemesanannya.

Tetapi senyum Bhiru seketika rontok begitu tahu siapa pemilik mobil hitam itu.

"Masuk," seru Ranu meminta Bhiru melalui jendela kaca mobilnya yang setengah dibuka.

"Tapi saya udah pesan taksi online, pak. Sebentar lagi datang," Bhiru beralasan dengan kesal. Kenapa tidak dari tadi pak Ranu menawarinya tumpangan?

"Cancel saja!" perintah Ranu dengan nada tidak sabar. "Ayo masuk!"

Menghadapi arogansi bapak Ranu bukan yang pertama kalinya bagi Bhiru. Tapi tetap saja menyebalkan. Dari pada ribet, Bhiru terpaksa menuruti pak Ranu dan membatalkan pesanan taksi online-nya.

Dengan agak kesusahan, Bhiru memanjat naik ke mobil pak Ranu yang besar dan gagah. Membuat Bhiru bagai seekor monyet yang sedang berusaha memanjat pohon.

Setelah berhasil memanjat alias duduk manis di kursi belakang mobil, Bhiru menutup pintu mobil lalu menghela nafas lega. Namun pak Ranu malah memelototinya lewat spion.

"Kenapa kamu duduk di belakang?!" tanyanya gusar.

"Lhaa? Tadi bapak yang suruh kan?" Bhiru menyahut untuk membela diri.

"Tapi saya nggak suruh kamu duduk di belakang. Saya bukan sopir taksi online!" sembur pak Ranu kesal dengan untaian kata-katanya yang seolah menoyor kepala Bhiru dengan keras untuk menyadarkannya.

Bhiru yang telah sadar akan kesalahannya, meringis malu sambil keluar mobil untuk pindah ke kursi depan mobil.

Setelah Bhiru duduk di sebelah bosnya dengan manis dan tak lupa memasang sabuk pengamannya, tanpa bicara lagi bosnya itu menjalankan mobilnya.

Di dalam perjalanan yang begitu hening dan terasa panjang baginya, karena pak Ranu lebih senang memutar setir mobilnya dalam diam ketimbang memutar musik di tape mobilnya atau berbasa-basi dengannya.

Dan itu adalah sebuah situasi canggung yang membuat Bhiru kaku seperti ikan mati yang mengambang di atas air.

Bhiru lalu teringat ia harus memberi tahu Langit apa yang akan ia lakukan. Bhiru membuka gawainya dan mengirimkan pesan pada Langit.

Bhiru: Lang, nanti tolong jemput aku ya.

Langit: Oke. Satu jam lagi aku jemput kamu di kantor.

Bhiru: Jangan ke kantor. Jemput aku di rumah keponakan pak Ranu. Nanti aku share lokasinya.

Langit: ???

Bhiru: Aku ada kerja tambahan. Nanti aku ceritain deh. Believe me...

Langit: OK.

Bhiru: ( Mengirimkan emoticon mencium )

Bhiru tersenyum menatap layar gawainya. Menatap percakapan antara ia dan Langit. Lelaki yang selama lima tahun menyertainya. Lelaki yang selalu mempercayainya dan sebaliknya Bhiru pun mempercayainya sepenuhnya.

Tanpa Bhiru sadari, pak Ranu sedang mengamati tingkahnya dari sudut matanya yang tajam.