Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 9 - Cekcok Kecil ( 1 )

Chapter 9 - Cekcok Kecil ( 1 )

Bhiru berkali-kali melirik arloji di tangan kirinya. Satu setengah jam sudah ia menanti Langit datang menjemputnya. Namun tunangannya itu tidak kunjung menampakan batang hidungnya.

Berkali-kali pula Bhiru mengirim pesan dan menelepon. Namun tak kunjung ada jawaban juga dari Langit. Bhiru paling benci dengan situasi seperti ini. Situasi yang selalu membuat Bhiru mendadak paranoid dan berpikir yang aneh-aneh tentang Langit. Jangan-jangan, Langit kenapa-kenapa? Jangan-jangan, Langit ketiduran? Atau yang terburuk dalam pikirannya, jangan-jangan Langit sedang bersama wanita lain? Bhiru benci jika harus membayangkannya.

Bhiru: Lang, kok lama? Kamu nyasar?

Bhiru: Lang, kenapa teleponku nggak kamu angkat juga?!

Bhiru: Aku sudah menelponmu 20 kali.

Bhiru: Langit Dirgantara! Please, jangan bikin aku cemas!

Bhiru terus menatap cemas pada layar gawainya. Mengabaikan pak Ranu yang sedari tadi berdiri tak jauh dari tempatnya berada, menemaninya di teras rumah kakaknya, menunggu jemputan Langit.

"Sudah jam sebelas malam lho?" suara pak Ranu mengusik lamunan Bhiru dan berhasil membuat gadis 26 tahun itu menoleh sempurna ke arahnya. Bos judesnya yang entah kenapa malam itu rela menemaninya sambil diserbu segerombolan nyamuk.

"Ngusir nih ceritanya?" tukas Bhiru dengan ekspresi kecut sambil memunguti kerikil taman dan melemparkannya secara sembarangan untuk melampiaskan rasa kesalnya.

"Nggak," jawab Ranu. "Cuma mau mengingatkan, kenapa pacar kamu nggak nongol-nongol juga?"

Bhiru menghela nafas kesal. Nada bicara pak Ranu yang terdengar mencibir seperti sedang berusaha memprovokasinya.

"Setengah jam lagi kalau dia nggak datang, lebih baik kamu pesan taksi," katanya lagi sambil masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bhiru sendirian di teras.

Bhiru kembali menatap gawainya dengan resah. Tidak seperti biasanya Langit jauh dari jangkauan radar Bhiru seperti ini. Bhiru berharap tidak ada hal buruk yang sedang menimpa Langit. Minimal karena mendadak ban mobilnya bocor saja, Bhiru sudah bersyukur.

Cesssss....

Tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh ubun-ubunnya, mengejutkan Bhiru yang sedang terkantuk-kantuk menunggu Langit. Reflek wajah Bhiru menengadah ke atas, menatap Ranu yang baru saja menempelkan kaleng minuman dingin di ubun-ubun kepalanya.

Demi dewa monyet, tingkah absurd pak Ranu membuat Bhiru ingin meninju perutnya karena telah mengagetkannya dengan cara seperti itu.

"Biar nggak ngantuk." Ranu mengulurkan minuman kopi kaleng dingin itu pada Bhiru yang tampak kesal menatapnya dan membiarkan uluran tangannya menggantung.

Tak kunjung diterima oleh Bhiru, Ranu malah membukakan kalengnya dan mengulurkannya kembali pada Bhiru dengan tatapan memaksa.

"Makasih pak," ucap Bhiru akhirnya meraih pemberian pak Ranu. Tidak enak menolak niat baik bosnya yang sampai rela membukakan kalengnya. Sepanjang Bhiru bekerja di bawah naungan lelaki itu, mana pernah terdengar apa lagi terlihat pak Ranu memberikan apa lagi sampai membukakan minuman untuk karyawannya. Bhiru yakin dialah yang pertama. Jangan sampai Jenar dan Kumala tahu, mereka akan kejang-kejang karena iri dengki.

Alih-alih merasa besar kepala karena perilaku pak Ranu kepadanya, Bhiru meminum minuman berkafein pemberian pak Ranu itu dengan perlahan. Sampai-sampai ia memejamkan matanya, merasakan aliran kafein membasahi kerongkongannya yang kering. Terasa segar dan ampuh membuat kedua matanya melek seketika.

Pelan-pelan Bhiru melirik bosnya yang sedang berdiri tak jauh darinya. Tampak sedang menjawab sebuah panggilan di gawainya. Sosok yang menjulang tinggi itu benar-benar tidak banyak bicara, bahkan saat sedang menjawab sebuah panggilan yang sepertinya dari calon istrinya, Kania.

Yang sedari tadi Bhiru dengar hanya: hmmm, iya, ok. Padahal cukup lama Kania berbicara dengannya di telepon. Cukup lama pula menjadi tontonan bagi Bhiru yang tampak penasaran dengan apa yang sedang mereka berdua bicarakan di gawai.

"Kamu menguping ya?" tukas Ranu tiba-tiba mengejutkan Bhiru yang sedari tadi diam-diam sedang memasang telinganya.

"Nggak!" Bhiru menimpali dengan nada panik. "Lagi pula menguping juga percuma, nggak tahu bapak lagi ngomongin apa," tambah Bhiru malah makin membuatnya ketahuan telah menguping.

Alih-alih balas menimpali, Ranu malah beralih merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobil.

"Sudah setengah dua belas. Aku antar kamu pulang sekarang," ujarnya tanpa bisa dicegah oleh Bhiru yang tampak putus asa karena Langit yang tak kunjung datang.

Pintu gerbang terbuka dengan otomatis, Ranu masuk ke dalam mobil diikuti Bhiru. Tapi baru saja pak Ranu menstarter mobilnya, mobil Langit datang dan berhenti tepat di depan pintu gerbang. Bersamaan itu pula, terdengar desah lega dari bibir Bhiru.

"Itu mobil Langit. Pak Ranu nggak perlu antar saya," ujar Bhiru dengan nada lega sambil bergegas membuka pintu mobil dan turun dengan cepat. "Makasih sebelumnya, pak. Selamat malam," ujar Bhiru lagi melalui jendela mobil. Ranu hanya mengangguk meng-iya-kan melepas Bhiru pulang.