This truth drive me, make me into madness. I know I can't stop the pain, it will end if I give up.
The whisper continues to echo.
Don't give in to the pain.
Don't try to hide even though they're screaming your name.
Don't close your eyes, God is always with you.
Whispered voices at my ear saying I must take my revenge.
Because his death was before my eyes.
***
Kilat puluhan lampu kamera dan suara flash itu terus menyorot ke arahku. Hanya satu titik dan satu bidikan, Aku. Incaran media masa, kala mereka telah di janjikan santapan sendok perak.
Saat sebelumnya aku terlalu pengap berada di ruang kotak persegi penuh siksaan. Dengan kasar orang-orang telah siap menyambutku di luar sana bersama makian dan hardikkan atas berbagai pertanyaan yang ku ketahui itu sebuah kertersengajaan di balik rasa sakit tanpa ketransparanan.
Aku hanya membalas menatap tajam ke setiap arah mata kamera saat mereka terus membuatku berada pada puncak poros.
Langkah kaki ku terus terseok, tubuhku terhuyung dengan gelombang pers yang tuli terhadap bentakan dan larangan. Aku tidak peduli, pandangan mataku beralih menyisir ke segala penjuru arah. Saat 259.200 sekon aku terdakwa pada kalimat-kalimat paksaan di dalam sana, aku berharap setidaknya mereka menanti dengan cemas di luaran.
Nyatanya? Aku hanya bisa tersenyum miring.
Kau tetap harus bertahan sendiri.
Kerumunan itu terus memaksa kehendak mereka untuk menggapai mendekat. Hentakan ujung kamera serta tarikan-tarikan tangan berutal membuatku beberapa kali meringis. Namun secepat mungkin sebuah tangan kekar memerangkap tubuhku, menarikku berada pada perlindungannya.
Suara beratnya terus bergema kala ia melawan hadang kerumunan. Kulit putih lembut jemari tangan menghantarkan kalor, menjadi penghangat kedasaran hati. Berulang kali ia membawaku pada tubuh kekarnya— melindungiku.
Aku tidak perlu lagi meronta meminta perhatian, akhirnya aku menemukan sandaran.
Perih memar yang ku derita menjadi sasaran, saat kerumunan bergeming atas hardikkan pria yang terus membekap ku pada pelukannya.
"Minggir....! Beri kami jalan!"
"Apa kau tidak tau undang-undang perlindungan korban?!"
"Apa benar dia korban? Lalu siapa yang telah membunuh gadis malang itu?"
"Benarkah selama ini kau yang menggoda pewaris—"
"Bukankah sebelumnya kau tersangka?"
"Apa kau berencana meminta tebusan atas tindakan penculikan ini?"
"Jika dia kekasihmu, mengapa kau berperilaku keji kepadanya?"
"Kenapa kau tega membunuh temanmu?"
"Siapa saja yang sudah menjadi korbanmu selama ini?"
"Apa kau berencana membunuh kekasihmu juga?"
"DIA BUKAN PEMBUNUH!!"
Dan kalimat itu kembali mengiris ke relung hati. Aku hanya menangkap dua kata sedari menginjakkan tempat yang ku percayai sebagai tempat keadilan tanpa memandang bulu.
Penggoda dan Pembunuh.
Keduanya terus menari dan bernyanyi kencang ke gendang telinga, membuatku semakin pengang.
Aku menutup mata enggan melihat obsidian tajam para kerumunan. Gerak bibir mereka mengganggu indera penglihatan yang menafsirkan tiap suku kata hingga terucap pada pendengaran. Aku terbawa arus pada permainan jahat yang mereka hantarkan melalui lisan.
Pria itu seolah tau dengan apa yang kurasa, ia menutup kedua telinga dan mataku dengan Original jean jacket in raw black stretch denim miliknya. Dia tidak membiarkanku mendengar tiap baris aksara yang menyakitkan. Terus menuntun dan melindungiku menuju Pajero Sport-nya, membawa ku serta merta keluar pada neraka buatan wanita licik itu.
Aku tidak tau bagaimana mendeskripsikan tentang kesialan. Saat semua orang berlomba terlepas dari ikon tersebut, nyatanya aku menjadi salah satu bagian dari lambang kucing hitam yang di takutkan.
Rasanya sudah terlalu berat untuk bernafas, aku kehilangan suara setelah beberapa kali suaraku tidak pernah di dengar. Pria yang sedari awal tidak pernah meninggalkanku, masih berusaha terlihat tenang di balik kemudi kala gurat kesal dan amarah merah mengelilingi dirinya.
Dari pada aku, dialah yang lebih banyak berteriak memaki meminta keadilan untukku. Namun, aku hanya menatap kosong insan berseragam itu. Jika kata muak akan keadaan tidak mampu untuk di jelaskan, lantas apa lagi yang bisa aku ucapkan untuk memberi tahu kalian?
Rasanya... Aku kehilangan indera perasa ku.
Kosong.
Masih terlalu asing untuk sekedar bertanya "Bagaimana keadaanmu?". Mata sayu tanpa terpejam menampilkan sisa pembuktian, jika ia sama lelahnya mencari secuil titik terang untuk aku yang penuh noda hitam.
Aku masih tidak percaya tentang ikatan kuat tanpa darah yang melekat. Mungkin semua hanya akan berakhir dengan persinggahan, bukan rumah menetap. Rumah akan selamanya rumah, menerima meski salah. Pintu akan terbuka lebar tanpa perlu memaksa mendobrak, atau aku akan tetap masuk tanpa perlu permisi.
Rumahku tetaplah mereka, Keluarga.
Meski tiap dinding kokoh yang berdiri menjadi pondasi tidak mampu menjadi penghambat angin dingin masuk membekukan diri hingga ketulang belulang, setidaknya rumah akan terasa hangat kala penghuni saling merangkul.
"Kau tidak apa-apa?"
Sepanjang perjalanan hanya kalimat itu yang baru ia ucapkan, sebelumnya ia tidak bertanya saat aku meminta stop di mesin ATM.
Aku hanya membalas senyum tipis atas pertanyaannya. Bohong jika ia tidak tau, keadaan ku tidak baik-baik saja. Kami sama, dua orang yang terluka atas perlakuan tidak adil. Bedanya dia baru di hadapkan para begundal korup. Dan aku, dunia terlalu baik untuk aku dapat mengerti segala permainannya.
Termasuk saat sekarang, ketika aku menerima kenyataan seluruh dunia harus runtuh tidak bersisa. Aku pikir aku hanya akan kembali di asingkan, nyatanya kini aku di buang.
Aku di usir oleh keluargaku sendiri.
Dia membisu, kepalan tangan kekarnya dapat ku lihat. Gurat merah padam telah memenuhi seluruh wajahnya. Bibirnya mengatup kencang kala lagi-lagi ia menyaksikan bagaimana rasanya hidup dalam peperangan.
Dia di takdirkan terlahir dari sendok emas dan sangat tidak bisa baginya untuk mendeskripsikan segala rasa sakit di depan mata. Aku tau ia mengiba dan aku membenci hal itu. Aku benci saat ada yang kembali menatapku lemah.
Selama ini aku telah mengubah, sebuah dunia yang kuciptakan agar mereka merunduk. Aku telah bosan menjadi si pengalah meski tidak salah. Aku mengutuk kenyataan jika aku kembali di pandang sebelah mata.
Rasanya Tuhan sangat tidak adil menggariskan takdir untukku. Ketika semua orang berkata "Sabar, semua akan terbayar suatu saat nanti". Aku tidak mempercayai kalimat itu, bagiku semua tidak akan berubah sebelum aku merubahnya.
Satu langkah kaki ku harus terbayar atas kekecewaaan dan diabaikan. Selama ini aku selalu berdiri di jembatan retak. Ada jurang dan runcing ujung paku yang membuatku harus waspada jika tidak ingin berakhir jatuh di bawah sana.
Sekuat apapun diriku, aku sempat memikirkan beberapa hal yang orang lain anggap itu sesuatu yang menyimpang dan gila. Karna faktanya, aku telah cukup dan sangat gila menerima kenyataan bahwa aku tidak boleh menyerah.
Dia menghentikan, suara berat itu kembali berkumandang. Segala sesuatu harus ada imbalan, termasuk hidup dan nafasku yang menjadi jaminan. Siapa bilang aku terbebas, jika lagi-lagi aku menjadi tawanan. Tidak berhak atas nafas sendiri untuk aku hentikan.
Jika ini sebuah takdir, aku harap semua dapat ku ubah. Tuhan memang telah menggariskan, namun manusia mampu merubah garis jalan. Jika aku harus terbuang dan kembali tersingkir, setidaknya biarkan aku berakhir dengan kepastian.
Karena aku sadar, angkat tidak akan pernah berubah tetap. Pungut, tetaplah pungut, tidak akan berubah menjadi kandung. Takdirku telah berkata, untuk aku menjadi si pengelana.
Aku pengelana, sang pencari Keadilan dan Kejelasan di balik kekuatan keserakahan sang penguasa.
Untuk jati diri yang di renggut paksa. Untuk takdir yang mereka permainkan. Dan untuk setiap nafas yang mereka paksa sendat. Aku masih berdiri disini, berdiri pada rasa sakit tanpa menyerah. Tidak lagi menutup mata dan bersembunyi pada gelapnya lampu. Akan ku buat cahaya sendiri yang menjadi penerang jalanku.
Karena mereka harus membayar, semua darah dan air mata!