Di malam itu setelah perdebatan panjang antara Mahesa dan Jo, semua keadaan kembali hening.
Berisik suara air kran dari kamar mandi seolah menjadi musik latar di kegelapan villa yang terletak di puncak, jauh dari tempat penduduk.
Sebuah villa khusus yang menjadi tempat persembunyianku, setelah accident itu.
Tidak banyak yang mengetahui keberadaan kami selain pengacara keluarga Jo, Mahesa, dan wanita yang sialannya aku benci dan iri akan kemampuannya, Psikolog Bona.
Aku menyesap kembali batang terakhir nikotin yang tergeletak di meja, entah sudah yang keberapa aku menantang mautku melalui hisapan demi hisapan tanpa henti. Mereka sudah menjadi candu, layaknya wangi maskulin beberapa tahun lalu yang kini telah ku benci.
Mereka percaya jika aku sudah sekarat lima kali. Tapi mereka tidak menyadari jika aku berkali-kali sekarat saat mereka memanggil namaku, meski untuk yang terakhir kali.
Bersama kepulan asap rokok berkabut putih yang ku hembus ini, serta puluhan botol laknat yang memabukkan itu, aku menunjukkan ke arogansian diriku.
"Aku gila bukan?" Ucapku saat Jo keluar dari kamar mandi.
"Dan aku jauh lebih gila karena mempertahankanmu." Balasnya sembari menghempaskan tubuh di sampingku.
Tidak banyak frasa ataupun klausa yang dapat menggambarkan kami. Hanya dua orang bodoh, bertemu dan saling terikat karena takdir.
"EL."
Dahiku berkerut saat mendengar ucapannya yang menjadi pemecah hening di antara kami.
"What?"
"E and L." Dia manatapku dalam.
"Enough Love."
Aku hanya tersenyum miring, membuang muka, meremehkan kata-katanya.
"Kenapa? Kau tidak yakin. Aku bisa memberi apapun yang kau mau." Ucapnya dengan yakin.
"Asalkan kau tidak berniat mengakhiri hidupmu lagi."
Kini pandangannya beralih menatap lurus pada titik lukisan The Scream di ruangan tempat kami berada.
"Dengan Uang? Kau tidak bisa membeli hidupku dengan uangmu itu." Dengan nada yang meremehkan aku kembali melempar keras kepala batunya itu.
"Apa serendah itu usahaku selama ini di mata mu?" Dia kembali menatapku dengan dengusan kesalnya.
Aku kembali menghembuskan kepulan asap putih terakhir ke langit-langit ruang.
"Tidak ada yang tidak bisa di lakukan dengan uang bukan? Termasuk menciptakan takdir seseorang."
Aku menyindir atas pilihan Jo dalam mempertahankanku sembari membuang putung rokok yang telah habis pada asbak yang tergeletak di meja.
"Ya... Dengan uang semua orang bisa mendapatkan apa yang mereka mau. Tapi tidak semua dari mereka mendapatkan yang mereka butuhkan." Ia menjawab sindiran dengan tenang sembari melemparkan sebungkus Marlboro di atas meja.
Aku mengambilnya, dan dia memantikkan api untukku. persetan adab merokok diruangan ber-AC, toh dia tidak pernah memprotesku.
"Aku bisa mengubur asal usulmu, tapi aku tidak bisa menghapus namamu begitu saja. Ck-- bahkan nama itu terlalu indah untuk di singkirkan."
Dia mengusak kebelakang surai hitamnya yang mulai panjang sembari mendengus di akhir kalimat.
"Dan nama itu mungkin saja masuk di Guinness World Records jika aku mampu melakukan apa yang tidak bisa orang lain lakukan selama ini". Aku kembali menghembuskan nikotin pada ruangan redup itu.
"Membunuh orang dalam satu waktu?" Tanyanya sembari melirik kearah ku.
"I'm not The Zodiac". Ketusku, dan lagi asap putih itu menjadi pewangi ruangan.
"Bahkan tatapan mu sudah seperti Ted Bundy saat ini. Bersiap menyerangku dengan tangan kosongmu itu". Ia berkata sembari tersenyum miring.
"Hapus namaku, jangan berharap ada seseorang yang akan mencariku." Aku memperingatinya,
"Mereka sudah mati. Bersama matinya aku saat itu." Ucapku dingin.
Ku lirik segurat garis terkejut di wajahnya yang berusaha dia sembunyikan.
Aku mematikan rokok ku yang belum sepenuhnya menghabisi ujung takdirnya. Seperti aku yang berusaha mematikan takdirku yang telah Tuhan gariskan.
Aku juga mempunyai catatan merahku sendiri.
"Kau sendiri sudah tau, sedari dulu aku tidak di inginkan oleh siapapun. Jangan berusaha terlalu keras."
Aku beranjak dari tempat, berdiri meninggalkan sang tuan ke tempat persembunyianku yang nyaman, kamar.
"Mulai sekarang kau tidak perlu menyimpan semua pisau dan benda tajam." Aku kembali melirik kearahnya, "Aku sudah bisa mengendalikan diriku. Dan aku akan hidup untuk membalas kebaikanmu."
"Okeee... Aku tidak akan menyimpan semuanya lagi. Tapi bukan berarti aku akan berhenti tidur di samping mu". Dia berdiri dari kursi.
"Siapa yang bisa menjamin kau tidak membuat keributan di tengah malam tanpa pengawasanku." Membalas tatapan tajamku yang tidak terima dengan usulannya dengan seringaian.
Ia mengikuti ku menuju kamar. Mendekati ranjang, menyalakan lampu padam dan mematikan penerang utama.
Kembali membawaku ke pelukannya. Jemari tangannya bersentuhan dengan surai panjangku. Mengusapnya dengan penuh kasih dan sayang. memberi kecupan lembut nan menenangkan.
Hingga hangat yang asing kembali menjalar. Hangat yang tidak pernah aku rasakan dari sebuah kata yang bisa di eja ke路lu路ar路ga.
Mataku memejam pasrah, pasrah akan hari esok yang akan menjadi awal.
Awal dari seorang EL.
-TOUCH VOTE & COMMENTS PLEASE-
Jangan lupa untuk follow akun Twitter saya, akan ada beberapa AU yang saya selipkan disana.
Dan ada beberapa typo serta kesalahan saya dalam menulis. Saya akan memperbaiki satu persatu chapter di mulai dari Wattpad baru beralih ke WebNovel ini. Jika kalian memiliki Wattpad kalian bisa membaca cerita ini di Watppad saya @El__SCho